MUSIM IBADAH DI MUSIM PANDEMI

Oleh: Dr. H. Syamsul Bakri, M.Ag
(Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama)

Umat Islam sedang memasuki bulan suci Ramadhan 1441. Bagi umat Islam, Ramadhan adalah bulan yang suci dan dimuliakan karenma di bulan tersebut, kitab The Holy Qur’an diturunkan, baik dalam pengertian diturunkan dari Lauh Mahfudz ke langit dunia pada malam lailat al-qadr, maupun diturunkan secara bertahap kepada Nabi pada 17 Ramadhan, yang dikenal dengan malam nuzul al-Qur’an. Di bulan suci inilah, puasa diwajibkan, serta pintu-pintu surge dibuka bagi umat yang memperbanyak amal salih.

Tentu umat Islam menjadikan momentum Ramadhan sebagai moment mengamalkan ajaran al-Qur’an yang menjadi way of li e bagi setiap orang yang mengaku pengikut Muhammad. Semanngat ibadah juga muncul karena di dalam bulan Ramadhan terkandung banyak  fadhilah dan keutamaan, sepuluh hari pertama penuh dengan rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan sepuluh hari terakhir adalah pembebasan dari api neraka. Pesta keagamaan dan spiritualitas pun digelar dalam berbagai bentuk dan model ritual, seperti tarawih berjama’ah, buka dan sahur bersama, tadarus bersama, dan berbagai macam bentuk kajian dan pengajian. Setiap muslim ingin menjadi se-salih mungkin di bulan Ramadhan.

Namun demikian, tanpa mengurangi kesucian Ramadhan, umat Islam perlu disadarkan bahwa Ramadhan 1441 H ini berada di musim pandemi covid-19, di mana  menurut protocol kesehatan WHO, segala macam bentuk kumpul-kumpul (Jawa: kemruyuk) seharusnya dihindarkan, baik kumpul=kumpul dalam rangka ibadah maupun acara sosial, lebih-lebih acara yang sifatnya hiburan.

Pandemi covid-19 ini sepertinya masih panjang, sedangkan banyak masyarakat sudah mulai bosan, dan tidak tahan lagi untuk stay at home, work from home, dan pray for home. Dengan berbagai alas an, baik alas an ekonomi, ataupun alasan keagamaan. Setiap hari grafik kasus selalu bertambah, tetapi masyarakat semakin ceroboh dan gegabah. Sang waktu, makhluk Tuhan yang paling perkasa pun kewalahan dln menghentikan gerak vovid-19 yang lajunya begitu kencang. Ini karena pemerintah kurang cekatan, masyarakatnya pun ngeyelan, walaupun sudah tahu banyak yang menjadi korban.

Otoritas Keagamaan di Indonesia, baik Kementerian Agama, MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan ormas lainnya, sudah mengeluarkan Surat Edaran dan atau himbauan supaya umat Islam tarawih, tadarus, buka dan sahur bersama di rumah, serta meniadakan pengajian umum di musoim ibadah tahun ini karena badai covid-19 belum berlalu. Himbauan adalah benar dan baik serta sudah mendedepanksn kemaslahatan bangsa manusia.

Himbauan tersebut jangan sampai dimaknai larangan beribadah. Ini persepsi yang tidak ilmiah. Himbauan tersebut didasarkan pada kaidah fikih “Dar’u al-mafâsid muqaddam[un] ‘alâ jalbi al-mashâlih”, atau dengan redaksi lain, ” dar’ul mafâsid aulâ min jalbi al-mashôlih”, yang artinya mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mengupayakan kemaslahatan.

Al-Mafâsid artinya berbagai hal yang merusak atau dapat merusak, berbagai bahaya atau yang dapat menimbulkan bahaya, berbagai hal yang menciptakan petaka, lesulitan, penularan penyakit atau dampak buruk lainnya baik pada diri seseorang, dan atau berdampak pada masyarakat luas.

Berbagai bentuk kumpul-kumpul, terutama yang tidak mengindahkan social distancing maupun physical distancing, adalah nyata-nyata merupakan al-mafsadat yang harus dihindari. Ini lebih penting daripada tetap menjalankan ritual ramadhan dengan kumpul-kumpul, walaupun dengan tujuan yang mulia. Jadi dalam konteks ini, menghindari penyebarluasan dan penularan virus corona dengan tidak melakukan pesta keagamaan ramadhan di masjid atau temnpat umum, harus lebih diutamakan ketimbang mencari keutamaan dan manfaat ibadah berjama’ah (dengan kumpul-kumpul)

Beragama memang harus rasional dan tidak perlu termehek-mehek, apalagi penuh dengan nafsu. Beragama itu dengan hati dan pikiran yang rasional. Jangan sampai kecintaan kepada ramadhan menjadi sebuah api nafsu yangg membara, yang dapat membakar kesejukan iman dan tauhid. Mengendalikan “nafsu” dalam ibadah dengan tidak mengadakan acara kumpul-kumpul, dan menggantinya dengan pray for home adalah perilaku beragama yang rasional. Rasionalitasnya terletak bahwa pray from home adalah tindakan yang bermanfaat dalam memutus mata rantai penyebaran covid-19. Pray from home pun menjadi ibadah yang sangat mulia, yang keutamaannya tidak dapat diukur dengan angka-angka.

Beragama harus mengindahkan sains dan teknologi. Pemikiran keagamaan tidak cukup hanya berbasis pada teologi dan metafisika, tetapi juga harus berpijak pada teori empiric-positivistik yang dilahirkan dari riset terhadap hukum alam (sunnatullah). Dengan mengindahkan protocol kesehatan, berarti sudah mempercayai kebenaran ilmu pengetahuan. Begitu banyak dalil menunjukkan bahwa beribadah tanpa ilmu adalah kejahilan. Jangan sampai ibadah dilakukan dengan pikiran sempit dan bodoh dengan menolak ilmu pengetahuan.

Masih banyak ibadah yang bisa dilakukan dan dapat menambah kualitas ibadah Ramadhan, yakni berderma (shodaqah), apalagi di musim pandemi di mana roda ekonomi berjalan lambat sehingga banyak masyarakat kecil membutuhkan uluran tangan. Bahkan, di dalam kondisi sulit seperti ini, berbuat baik bagi masyarakat terdampak pandemi, walaupun niatnya untuk pamer atau ada motif duniawi lainnya, itu tetap saja bermanfaat. Jika toh perbuatannya tidak ada nilai ibadah, tetapi doa org-orang yang ditolong itu akan  didengar langit. Hal ini lebih baik daripada hanya banyak bicara (baca: kemrutuk) tanpa melakukan apa-apa.

Setiap oramg tentu berharap, badai pandemi covid-19 ini segera berlalu. Seluruh penduduk planet bumi berharap gerak roda kehidupan dunia segera normal kembali. Bagi setiap muslim tentu berharap covid-19 berakhir sebelum Ramadhan dan Idul Fitri tahun ini. Tetapi jika sampai Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri badai covid-19 belum belum berakhir, maka harus ridha atas ketetapan Tuhan. Ridha adalah sikap batin paling terpuji dan  maqam tertinggi dalam tasawuf sunni pada umumnya. Berdoa tentu diaanjrkan, bahkan diwajibkan. Namun demikian berdoa itu beda dengan afirmasi (perintah), berbbeda dengan ngatur-ngatur Tuhan. Jangan sampai seorang muslim berdoa tetapi diksi dan intonasinya malah mendikte Tuhan. Jangan sampai bersikap termehek-mehek dalam beragama, apalagi kemudian “membentak” Tuhan dalam untaian ucapan dan do’anya, akibat nafsu beribadah yang tidak disertai dengan ilmu.

Musim ibadah di musim pandemi, memerlukan kecakapan psiko-spiritual dan nalar yang lurus. Ini penting agar ibadah yang dilakukan tidak malah ikut berpartisipasi dalam menyumpang angka penularan covid-19. Agama mestinya menjadi rahmat bagi seru sekalian alam. Keinginan kuat dalam menjalankan doktrin agama yang tidak mengindahkan protokol kesehatan adalah perilaku yang melewati batas, dan hal ini justru akan menciptakan malapetaka bagi orang lain. Pray from home menjadi keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar, kualitas ibadah tetap dijaga, dan pada saat yang sama sudah melakukan jihad  melawan mafsadat.

Penulis adalah Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama IAIN Surakarta dan Pengasuh Ponpes Darul Afkar Ceper Klaten