Seminar Nasional Nikah Siri di Masa Pandemi, Solusi atau Alibi

SINAR-Kamis (25/3), Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam IAIN Surakarta (PUSKOHIS) gelar Seminar Nasional berjudul “Nikah Siri Saat Pandemi, Solusi atau Alibi?”. Kegiatan dihadiri para pakar hukum, akademisi, politisi, mahasiswa , praktisi dan masyarakat umum.

Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam IAIN Surakarta yaitu R. Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, S.H., M.H, mengatakan, seminar ini diharapkan akan menghasilkan rekomendasi dan solusi atas permasalahan nikah sirri yang merebak di Indonesia, khususnya dimasa pandemi.

“PUSKOHIS akan selalu mengawal kebijakan pemerintah, dan akan selalu memberikan usul,  rekomendasi atau masukan kepeda Pemerintah, DPR maupun lembaga kehakiman demi memberikan kebahagiaan hukum bagi masyarakat semua.” Terangnya.

Selaku Keynote Speaker yang disampaikan oleh pakar Hukum Islam, Ainun Yudistira, M.Si., mengatakan bahwa latar belakang diangkatnya tema nikah siri saat pandemi solusi atau alibi antara lain kita melihat di awal-awal pandemi covid 19 April 2020, dimana semua aspek kehidupan terdampak yang salah satunya tentang pernikahan.  “Menurut hukum Islam nikah siri dinperboleh kan asal syarat dan rukunya terpenuhi.” Imbuhnya.

Lebih lanjut, Dr. Arsyad Aldyan, S.H.,M.H., pakar Hukum Perdata yang dihadirkan dalam seminar ini mengatakan bahwa nikah sirri telah terjadi baik dimasa pandemi maupun diluar masa pandemi, menurutnya nikah sirri bukan solusi. Karena ketika orang melakukan nikah siri maka ada dampak buruk. Misalnya tidak adanya pengakuan dari negara atas anak yang dilahirkan, sehingga anak tersebut nasabnya hanya bisa bersambung kepada ibunya saja.

Menurut Ketua LPBH NU ini, jika orang melakukan nikah siri tidak ada instrumen hukum yang bisa dipakai ketika terjadi masalah hukum dalam berkeluarga.

Sementara itu beberapa faktor orang memilih nikah siri disampaikan oleh Roykhatun Ni’mah, M. H., pakar Hukum Keluarga yakni: 1. Pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan masih sangat kurang. 2. Adanya kekhawatiran dari seseorang akan kehilangan hak pensiun janda apabila perkawinan baru didaftarkan pada pejabat pencatat nikah. 3. Tidak ada izin istri atau istri-istrinya dan Pengadilan Agama bagi orang yang bermaksud kawin lebih dari satu orang. 4. Adanya kekhawatiran orang tua terhadap anaknya yang bergaul rapat dengan calon istri / suami, sehingga dikhawatirkan terjadi hal-hal negatif yang tidak diinginkan, dan dikawinkan secara diam-diam serta tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. 5. Karena sulitnya aturan berpoligami. 6. Menurut Gusdur dipicu oleh faktor sosial politik dan sosial ekonomi.

Terakhir, Fathurrahman Husein, M.S.I, pakar Hukum Islam mengungkapkan bahwa nikah siri jika dilihat dari perspektif fikih maka perlu dikontekstualkan dengan kondisi saat ini. Sebab secara istilahnya saja, nikah siri yang dimaksud dalam fikih klasik (disebutkan dalam hadis kisah Umar bin Kattab) yaitu pernikahan yang tidak memenuhi rukun saksinya, yang demikian adalah terlarang. Sepakat jumhur ulama bahwa pernikahan harus memenuhi rukun dan syaratnya. Lebih konkret, nikah siri (dianggap memenuhi rukun dan syarat secara fikih klasik) dalam perspektif maqasid syariah yang ‘fresh ijtihad’ (meminjam istilah Prof. Amin Abdullah) maka ‘pencatatan nikah’ bisa masuk dalam kategori rukun atau syarat nikah, tentu dipertimbangkan dengan dalil-dali terkait. Artinya jika disepakati maka bisa dianggap tidak sah nikah sirri dalam pandangan fikih kontemporer.

Rektor IAIN Surakarta Prof. Dr. Mudofir, memberikan apresiasi dan dukungan atas acara terselenggaranya acara ini, dan berharap PUSKOHIS IAIN Surakarta selalu produktif dalam melakukan kajian-kajian ilmiah khususnya dibidang Konstitusi dan Hukum. (Gus/ Humas Publikasi)