Datangkan Para Pemuka Agama, IAIN Surakarta Kemas Talkshow Toleransi Umat Beragama Berpadu Festival Band

SINAR- Senin (14/10) GAS 21 IAIN Surakarta melaksanakan kegiatan Talk Show Dan Festival Band dengan menghadirkan lima pembicara dengan tema “Memperkuat Toleransi Menyambut Bonus Demografi” dalam Festival Of Diversity.

Dalam sambutannya Dr. H. Syamsul Bakri, S.Ag., M.Ag. selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama dan juga sebagai salah satu narasumber dalam talkshow tersebut menyampaikan bahwa IAIN Surakarta tidak mengizinkan pemikiran radikal-destruktif dengan tidak akan memberi ruang bagi radikalisme. Radikalisme terjadi karena kesalahan mencari guru yang menyebabkan adanya tindakan radikal dalam toleransi”, ucapnya.

Lebih lanjut, pimpinan Pondok Pesantren Draul Afkar Institute itupun juga mengatakan bahwa intoleransi adalah masalah klasik di Indonesia ataupun di dunia secara luas. Penyebab utama terorisme disulut dari konflik suku, agama, ras, dan golongan. Pemahaman agama yang salah menjadi salah satu penyebab utama terorisme karena pada dasarnya semua agama mengajarkan toleransi  dan kerukunan sesama umat manusia. Yang mana historitas Islam tentang toleransi telah diajarkan sejak zaman kenabian. Rasulullah SAW pun tidak pernah mengajarkan intoleran kepada umatnya. Banyak orang menjadi intoleran dikarenakan salah penafsiran ilmu agama. Debat antar agama  justru bisa memantik konflik antar agama.

Dialog antar umat beragama malah lebih penting dari perdebatan”, tuturnya. Untuk itu diharapkan IAIN Surakarta menjadi kampus yang mengedepankan toleransi antar umat beragama, sehingga mahasiswa IAIN Surakarta dapat menjadi pilar kebangsaan dan keagamaan”, pungkas ia.

Narasumber yang lain dari perwakilan dari tokoh Agama Budha yakni Dr. Hesti Sadtyadi, SE, M. Si menyampaikan bahwa toleransi bukan untuk menyeragamkan, tetapi keragaman yang membuat toleransi itu menjadi indah, dimana perbedaan menjadi salah satu unsur keindahan. Sebab toleransi bukanlah sesuatu yang harus membuat persamaan tetapi justru dari perbedaan itulah kita bisa menjadi fakta yang harmonis. “ Sebagai contoh adalah bagaimana kita bersikap sehari-hari kepada teman, saudara, tetangga, atau bahkan mungkin kepada orang yang kita tidak kenal” ucap beliau.

I Wayan Sahoplartha, AMK. SE selaku perwakilan dari tokoh Agama Hindu juga menyampaikan bahwa setiap ada intoleransi pasti ada konflik didalamnya. Catur warna (kasta) yang bisa berjalan analog untuk menuju good will-nya, atau menuju ketuhanan. Kenduri sebagai contoh dasar toleransi meski berbeda “kasta” ketika berlangsung  di Jawa. Kasus khusus di Bali adalah keberadaan kasta. I Wayan Sahoplartha pernah berkata, “Engkau adalah aku, dan aku adalah engkau”. kalimat ini dapat dijadikan sebagai dasar yang diaplikasikan sebagai toleransi. Menurutnya sebaiknya sekolah TK lebih baik menjadi satu warna saja, tidak ada TK Islam, kristen, dan lain-lain karena kita harus mengajarkan sebuah perbedaan sedini mungkin.

Seto Wijaya S.Sos selaku perwakilan dari Agama Khatolik menceritakan pengalamannya yang tinggal bersama secara harmonis di tempat tinggalnya yang sebagian besar beragama Islam. Menurutnya membicarakan toleransi bisa lebih baik disampaiakan dengan cara yang humor. Sehingga dengan cara itu orang akan lebih mudah menerimanya. “Generasi milenial saat ini mengalami semakin sedikitnya perjumpaan karena banyak yang berakhir di komunitas sosial media sehingga ajakan untuk intoleran kebanyakan berasal dari ajakan dari sosial media yang tidak disikapi dengan bijak,” ungkapnya.

Sedangkan Pdt. Krisapndaru, S. Min selaku perwakilan dari Agama Kristen menyampaikan ketegaan apa yang membuat orang-orang menciderai kebhinekaan. Kebersamaan sangatlah diperlukan untuk menumbuhkan keharmonisan dengan sesama. Konflik tidak melulu hadir dari orang-orang besar atau pejabat bahkan penguasa. Tapi sangat mungkin sekali muncul dari orang-orang kecil atau tetangga. “Misalnya ketika ada gereja di rusak saya tidak langsung menyalahkan yang merusak tetapi mempertanyakan dahulu gereja tersebut, bisa jadi pengelola atau jemaat gerejanya yang kurang toleran terhadap masyarakat sekitar” ungkapnya. Yang terpenting dalam bermasyarakat setidaknya ada 3 hal yaitu ; sosialisasi, edukasi, komunikasi”, pungkas ia.

Toleransi bukan hanya perintah Tuhan. Musuh toleransi ada 2 , yaitu sectarian dan Islamophobia. Jangan terjebak dalam stereotype, seperti cengkorong, jidat hitam, jenggot. Jangan terus menuduh orang yang memang jahat, karena ia bisa makin radikal. Memutus mata rantai terorisme, agar yang semi radikal tidak menjadi radikal dengan cara dialog. Sesama manusia bisa saling membumikan toleransi antar umat manusia,”, tutup Dr. Syamsul Bakri. (Gie/Humas Publikasi)