Apa Kabar Perekonomian Umat di Era Revolusi Industri 4.0 ?

Oleh: Dewi Arsita
(Mahasiswa Prodi Manajemen Bisnis Syariah FEBI IAIN Surakarta)

            Prof. Klaus Martin Schwab, teknisi dan ekonom Jerman, yang juga pendiri dan Executive Chairman World Economic Forum, yang pertama kali memperkenalkan revolusi industri 4.0. Dalam bukunya ia The Fourth Industrial Revolution (2017), ia menyebutkan bahwa saat ini kita berada pada wal sebuah revolusi yang secara mendasar mengubah cara hidup, bekerja dan berhubungan satu sama lain. Perubahan itu sangat dramatis dan terjadi pada kecepatan eksponensial. Sebelumnya terdapat perubahan yang kompleks dan berkesinambungan. Pada revolusi Industri 1.0, maraknya energi  berbasis uap dan air sehingga tenaga manusia tergantikan dengan adanya mesin. Revolusi 1.0 meningkatkan perekonomian pendapatan perkapita yang berlipat-lipat.

            Revolusi Industri 2.0 ditandai dengan berkembangnya energi listrik dan motor penggerak. Pesawat terbang salah satu contoh hasil tertinggi. Dengan seiring berjalannya waktu perubahan cukup cepat terjadi revolusi Industri 3.0 dengan munculnya Industri berbasis elektronika, teknologi informasi, robotik. Internet merupakan salah satu contoh pencapaian era ini. Revolusi Industri 4.0 meruapakan fase keempat dari perjalanan sejarah revolusi Industri (Muhammad, 2018). Perubahan terjadi cepat kembali dengan ditandai dengan maraknya kecerdasan buatan, cetak tiga dimensi. Kehadirannya sangat berpotensi dan memunculkan inovasi baru yaitu inovasi transportasi Go-jek, Grab. Kemajuan teknologi memungkinkan terjadinya otomatisasi hampir di semua bidang. Teknologi dan pendekatan baru yang menggabungkan dunia fisik, digital dan biologi secara fundamental akan mengubah pola hidup dan interaksi manusia (Tjandrawinata, 2016).

            Namun demikian, revolusi Industri ini juga menimbulkan dampak negatif dalam bentuk pengangguran massal (Schwab, 2017). Menurut Prof Dwikorita Karnawati (2017), revolusi Industri 4.0 dalam lima tahun mendatang akan menghapus 35 persen jenis pekerjaan. Dan bahkan pada 10 tahun yang akan datang jenis pekerjaan yang akan hilang akan bertambah menjadi 75 persen. Hal ini disebabkan pekerjaan yang diperankan oleh manusia setahap demi setahap digantikan dengan teknologi digitalisasi program. Dampaknya, proses produksi menjadi lebih cepat dikerjakan dan lebih mudah didistribusikan secara masif dengan keterlibatan manusia yang minim. Di Amerika Serikat, misalnya dengan berkembangnya sistem online perbankan telah memudahkan proses transaksi layanan perbankan. Akibatnya, 48.000 teller bank menghadapi pemutusan hubungan kerja karena alasan efisiensi.

Bahkan menurut survey McKinsey, sebuah korporasi konsultan manajemen multinasional, di Indonesia sebanyak 52,6 juta lapangan berpotenssi digantikan dengan sistem digital. Dengan kata lain, 52 persen angkatan kerja atau mempresentasikan 52,6 juta orang akan kehilangan pekerjaan.

Pemetaan tantangan dan peluang industri 4.0 untuk mencegah berbagai dampak dalam kehidupan masyarakat, salah satunya adalah masalah penggangguran. Work Employment and Social Outlook Trend 2017 memprediksi jumlah orangyang menganggur secara global pada 2018 diperkirakan akan mencapai angka 204 jiwa dengan kenaikan tambahan 2,7 juta. Hampir sama dengan kondisi yang dialami negara barat, Indonesia juga diprediksi mengalami hal yang sama. Pengangguran juga masih menjadi tantangan bahkan cenderung menjadi ancaman. Tingkat pengangguran terbuka Indonesia pada Februari 2017 sebesar 5,33% atau 7, 01 juta jiwa dari total 131,55 juta orang angkatan kerja (sumber: BPS 2017). Permasalahan pengangguran merupakan tantangan yang nyata bagi Indonesia yang harus terpecahkan. Oleh karenanya, pemerintah perlu adanya kontribusi antara pendidikan kejuruan dan pekerjaan untuk memecahkan persoalan yang ada, tantangan, dan peluang era industri 4.0 dengan tetap memperhatikan aspek kemanusiaan (humanities). Tantangan pendidikan kejuruan semakin kompleks dengan industri 4.0.Menjawab tantangan industri 4.0, Bukit (2014) menjelaskan bahwa pendidikan kejuruan (vocational education) sebagai pendidikan yang berbeda dari jenis pendidikan lainnya harus memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) berorientasi pada kinerja individu dalam dunia kerja; 2) justifikasi khusus pada kebutuhan nyata di lapangan; 3) fokus kurikulum pada aspek￾aspek psikomotorik, afektif, dan kognitif; 4) tolok ukur keberhasilan tidak hanya terbatas di sekolah; 5) kepekaan terhadap perkembangan dunia kerja; 6) memerlukan sarana dan prasarana yang memadai; dan 7) adanya dukungan masyarakat.                    Brown, Kirpal, & Rauner (2007) menambahkan bahwa pelatihan kejuruan dan akuisisi keterampilan sangat mempengaruhi pengembangan identitas seseorang terkait dengan pekerjaan. Selanjutnya, Lomovtseva, Edmond dan Oluiyi (2014) menjelaskan pendidikan kejuruan merupakan tempat menempa kematangan dan keterampilan seseorang sehingga tidak bisa hanya dibebankan kepada suatu kelompok melainkan menjadi tanggung jawab bersama.Pendidikan kejuruan juga diarahkan untuk meningkatkan kemandirian individu dalam berwirausaha sesuai dengan kompetensi yang dimiliki (Kennedy, 2011).