Baca Buku Ini, Ingin Saleh Boleh-Merasa Saleh Jangan

SINAR- Ingin Saleh Boleh, Merasa Saleh Jangan merupakan buku bunga rampai yang ditulis keroyokan oleh lima Dosen UIN Raden Mas Said dari berbagai latar belakang keilmuan dan konsentrasi bidang berbeda-beda.

Ada Abdul Halim dengan konsentrasi keilmuan Kajian Alquran dan Hadis, Nur Rohman dengan konsentrasi Ilmu Tafsir, Abraham Zakky Zulhazmi dengan konsentrasi ilmu komunikasi dan kajian media, Nur Tanfidiyah dengan konsentrasi Tafsir Alquran, sampai Alfin Miftakhul Khairi dengan konsentrasi Konseling.

Secara garis besar buku ini merupakan kumpulan respons terhadap masifnya gerakan-gerakan takfiri atau eksklusif yang mengalienasi kelompok berbeda. Kelompok yang dalam kurun dekade terakhir ini mulai muncul di segala lini. Baik secara offline; melalui pengajian-pengajian, maupun yang secara online; melalui postingan-postingan media sosial.

Kehadiran kelompok Islam eksklusif ini dianggap berisiko memberikan pemahaman Islam dengan cara yang kaku dan keras. Apalagi sampai membuat agama bisa dipolitisasi, dimaknai dengan tafsir tunggal absolute, sampai dengan menciptakan embrio ketegangan di tengah-tengah masyarakat.

Ada banyak esai yang menggilitik dalam buku Ingin Saleh Boleh, Merasa Saleh Jangan ini. Salah satunya seperti esai Abraham Zakky Zulhazmi dengan judul “Dokter, Kiai, dan Cara Belajar Agama Zaman Digital”.

Di esai tersebut, Zakky menjelaskan bagaimana pentingnya melakukan seleksi untuk menentukan sosok yang bisa jadi rujukan. Seleksi yang menjadi komponen penting agar kita tidak hanya terpatok hanya pada popularitas, tapi juga soal kepakaran.

Esai ini pada mulanya diawali dari cerita di kelas. Zakky menganalogikan suatu situasi, “Andai kan saja kalian sakit keras, sampai harus operasi, apakah kalian mengizinkan saya mengoperasi kalian?”

Uniknya, semua mahasiswa di dalam kelas menjawab tidak mau. Alasannya sederhana; si dosen dianggap tidak punya kompentensi untuk melakukan operasi. Mahasiswa tidak peduli meski si dosen adalah orang terkenal, punya followers banyak, diikuti pandangannya oleh banyak orang, pendapatnya selalu gampang viral dan dibicarakan banyak orang.

Bagi mahasiswa, urusan kesehatan dan keselamatan nyawa harus benar-benar diserahkan pada ahlinya. Dalam hal ini tentu yang dimaksud “ahli” adalah dokter, bukan orang yang terkenal.

Hal inilah yang kemudian—menurut Zakky—perlu untuk diterapkan juga untuk memilih pakar di bidang agama. Entah dalam wujud ustaz, kiai, atau ulama, perlu kiranya untuk menentukannya melalui kepakaran, bukan semata-mata kepopuleran.

Di esai yang lain, yang menjadi judul sekaligus tema besar dari buku ini, “Ingin Saleh Boleh, Merasa Saleh Jangan”, yang ditulis oleh Abdul Halim, turut serta menjelaskan tentang fenomena hijrah yang dibarengi dengan laku eksklusif. Merasa diri lebih saleh, merasa lebih saleh, dan orang yang tidak ikut fenomena tersebut (baca: hijrah) akan dianggap belum menemukan pencerahan.

Di akhir tulisannya, Abdul Halim bahkan mengutip Gus Mus ketika ketika bercerita bahwa, “Saya lebih orang salat kesiangan tapi merasa bersalah di hadapan Allah, ketimbang beribadah semalam suntuk tapi lantas merasa mulia dan sombong.”

Sebuah pesan yang sama persis dengan judul bunga rampai ini, dan menjadi pamungkas yang ditulis oleh Abdul Halim. Pesan sederhana yang bisa menjadi refleksi bagi umat Islam di mana saja: “Ingin saleh itu boleh-boleh saja—harus bahkan, tapi kalau merasa (paling) saleh, ya jangan.” (Nughy/ Humas Publikasi)

Sumber: Safa