Balai Bahasa Jawa Tengah Kenalkan Pengadilan Puisi Era 1970-an Kepada MahasiswaTBI: Beragam Ungkapan Kritikus pada Masa itu

SINAR- Seri kuliah umum sastra Prodi Tadris Bahasa Indonesia dengan Balai Bahasa Jawa Tengah kembali digelar secara daring melalui platform Zoom Meeting pada Rabu, (16/06). Kegiatan ini diikuti oleh seluruh mahasiswa TBI semester 2 yang mengambil mata kuliah sejarah sastra yang diampu oleh Sri Lestari, M.Pd. Tak berbeda dengan seri sebelumnya, pemateri seri kedua ini masih dari Balai Bahasa Jawa Tengah, yakni Dian Respati Pranawengtyas, S.S., M.Pd. selaku ahli analisis kata dan istilah BBJT dan dimoderatori langsung oleh dosen sastra TBI, Kurniasih Fajarwati, M.Pd.

Dalam kuliah umum tersebut, pemateri membagikan pengetahuannya tentang sejarah sastra, khususnya pengadilan puisi era 1970-an. Materi diawali dengan penjelasan tentang periodisasi sastra menurut beberapa ahli, mulai H. B Jassin, Buyung Saleh, hingga Nugroho Notosusanto. Dalam buku yang ditulis Zuber Usman dengan judul “Kesusastraan Baru Indonesia” (1956) dinyatakan periodisasi sastra Indonesia dibagi dalam 4 zaman, yakni Zaman Balai Pustaka (1908), Zaman Pujangga Baru (1933), Zaman Jepang (1942), Zaman Angkatan 45 (1945).

Zuber Usman menggunakan kriteria intrinsik dalam membuat periodisasinya karena nama Balai Pustaka, Pujangga Baru, Jepang, dan Angkatan 45 adalah nama-nama di luar sastra. Nama-nama badan penerbit Balai Pustaka, gerakan kebudayaan atau nama majalah kebudayaan Pujangga Baru, penjajahan Jepang, dan generasi pejuang kemerdekaan angkatan 45 dianggap Zuber Usman telah mempengaruhi perkembangan karya sastra.

“Dulu, sastra hanya sekadar membaca kemudian selesai. Kalau sekarang sudah dikembangkan dengan berbagai plot. Apalagi pada tahun 1920-an, cerpen masih dianggap sebagai cerita penghibur semata, bukan sebagai bagian dari ekspresi sastra” jelasnya.

Lebih lanjut, pemateri mulai mengenalkan apa itu pengadilan puisi kepada mahasiswa. Pengadilan puisi, tepatnya “Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir” diselenggarakan Yayasan Arena. Acara ini diadakan di Aula Universitas Parahyangan, Bandung, 8 September 1974 dan diikuti oleh sejumlah pengarang Indonesia.  Slamet Kirnanto yang bertindak sebagai “jaksa” membacakan tuntutannya yang berjudul “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-Akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”.

Tuntutan Darmanto Jt dan Slamet Kirnanto secara tidak langsung memang terasa di dalam ketidakpuasaan terhadap kehidupan puisi Indonesia pada saat itu, yakni menyangkut sistem penilaian terhadap puisi Indonesia, kritikus sastra Indonesia, media yang memuat karya sastra Indonesia, dan beberapa penyair Indonesia yang dianggap “mapan”. Pada kesempatan ini hadir pula dosen UNS, Dr. Sugit Zulianto, M.Pd, dan dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Bahtiar, M.Pd. yang semakin menambah keaktifan diskusi siang itu. (Nughy/ Humas Publikasi)

Sumber: Tiya Agustina