Sisi Positif Valentine’s Day??


Oleh: Nur Afni Sedyowati
(Mahasiwa IAIN Surakarta Prodi Sejarah Peradaban Islam dan Santri PT Syifa’ul Qur’an IAIN Surakarta)

14 Februari merupakan hari yang penuh polemik untuk masyarakat dunia.  14 Februari menjadi hari yang ditunggu-tunggu oleh sebagian besar anak muda untuk merayakan apa yang mereka sebut sebagai Hari Valentine atau biasa disebut hari kasih sayang. Valentine’s day bukanlah suatu hal yang asing di telinga masyarakat dunia, apalagi kalangan anak muda sedang terjangkit virus merah jambu. Urusan yang satu ini memang tidak ada habisnya setiap tahun, hegemoni budaya yang telah menjalar liar bahkan mengakar kuat  dikalangan anak muda zaman now ini tak dapat terhindarkan.

Perayaan hari valentine setiap tahun esensinya adalah sebagai suatu hari atau simbol untuk mencurahkan kasih sayang dan merayakan hari cinta dalam bentuk apapun untuk mengungkapkan rasa kepada orang yang disayanginya dengan pernak-pernik khas nuansa merah jambu yang menjadi simbol perayaan ini, seakan serasa tercipta “bahagia dunia ini hanya milik berdua, yang lain ngontrak”, ini bagi mereka yang pro akan perayaan hari kasih sayang ini. Namun, tak jarang acara-acara yang digelar dalam peringatan hari kasih sayang tersebut menjerumus pada lembah positif, positif mengarah pada kenegatifan seperti seks bebas, seperti berita-berita tahun lalu yang salah satunya dilansir oleh Sindonews.com 14 Februari 2017 : ” Malam Valentine, Satpol PP Jombang Tangkap Tujuh Pasangan Mesum”. Mereka mengartikan hari kasih sayang sebagai sebagai wadah untuk bercinta. Hal ini sungguh ironis bukan?

Saya banyak menemui orang-orang yang kontra terhadap peringatan ini, mereka menganggap bahwa budaya dan tradisi peringatan valentine mengandung unsur-unsur kemusyrikan yang akan mengundang kemurkaan Allah. Sebab, secara umum jika dilihat dari barita-berita yang telah menyebar luas dikalangan masyarakat Indonesia praktik perayaan ini telah melenceng jauh dari budaya ketimuran, apalagi bila dipandang dalam agama Islam. Bagi  kalangan  mereka terdoktrin peringatan acara ini menjadi moment yang sudah menjadi tradisi tahunan untuk berbuat maksiat yang bisa merusak moralitas kemanusiaan manusia.

Sebagaimana yang telah diketahui oleh sebagian orang-orang yang kontra terhadap peringatan valentine day’s karena mereka tidak mau mengikuti budaya barat atau budaya Romawi itu karena telah mengetahui awal muawal perayaan itu walaupun memang belum bisa dilacak secara akurat mengenai keoutentikan history of valentine day dan siapa yang dahulunya memulai budaya yang popular menjalar subur di bumi nusantara bahkan dunia. Romawi menjadi dasar peradaban barat hidup dengan suatu adat yang esensinya hanya suka memandang secara fisik.

Namun, ironisnya dari kebanyakan mereka yang merayakan hari kasih sayang tersebut hanya bermodal ikut-ikutan tanpa mengetahui history of valentine day’s. Sebagai generasi penurus bangsa Indonesia yang berkarakter, berakal , dan berpendidikan seharusnya wajib mengetahui asal muasal peristiwa tersebut sebelum memutuskan untuk mengikutinya. Tentu saja ini sangat dikhawatirkan orang-orang Indonesia, terutama mereka yang kontra dengan budaya ini dengan dalil masih peduli budaya identitas berbangsa dan beragama.

Sisi  Positif Valentine’s Day Dengan Memperkaya Asing

Menjelang perayaan valentine’s day pada tanggal 14 Februari, pasti banyak produk yang sudah ditawarkan diberbagai instansi untuk merealisasikan kebutuhan konsumen mengenai apa saja yang harus mereka butuhkan untuk bisa mengikuti perayaan valentine’s day seperti salah satu contohnya adalah maraknya cokelat di pasaran, seperti gambar tersebut diatas yang saya ambil 11 Februari 2019 ketika kebetulan saya mampir Atm di salah satu minimarket di pinggir jalan Surakarta. Ekspresi cinta yang hanya disetarakan atau diidentikkan dengan sebatang cokelat (bukan akat loh ya……) dan bunga mawar yang terselip kartu ucapan dengan secarik kata gombal mukiyo bak pujangga kerajaan untuk membuat romansa indah agar bisa melayang terbang ke atas awan. Positifkan? Iya, positif terserang virus rayuan buaya.

 “Cokelat Valentine”, siapa yang tak suka dengan cokelat? Walau di Indonesia selalu ada pro-kontra mengenai perayaan hari valentine, namun cokelat tetap punya penggemar setia. Seperti keterangan yang di unggah oleh akun watchdoc_insta : Rebecca Scritchfield penulis “Body Kidness” mengakatakan bahwa jika cokelat memilki senyawa flavonoid yang memiliki sifat anti oksidan. Antioksidan ini berfungsi sebagai penurun kolestrol dan memperlancar aliran darah. Cerita ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan beberapa negara seperti Skandinavia, Austria, Inggris, Jerman, dan Perancis yang dimuat The New England Journal of Medicine. Artikelnya berjudul “Chocolate Consumption, Cognitive Function and Nobel Laureates” itu menunjukkan ada hubungan erat antara konsumsi cokelat per kapita dengan jumlah penerima hadiah Nobel per 10 juta orang di 23 negara. Jadi, semakin besar dunia mengkonsumsi cokelat, maka makin besar juga pendapatan kaum kapitalis hedonis.

Berdasarkan tahun-tahun sebelumnya banyak juga berita mengenai melonjaknya penjualan kondom, minimarket jual paket cokelat-kondom, alat kontrasepsi dan berbagai produk dan pelayanan lainnya. Untuk bisa merayakan hari itu tidaklah sedikit biaya yang dikeluarkan untuk bisa mendapatkan paket komplit nan istimewa. Beberapa produk hasil impor digembor-gemborkan di bumi nusantara. Hal ini membawa dampak yang sangat positif bagi kaum hegemoni kapitalis. Kelompok yang paling diuntungkan dalam perayaan hari valentine adalah kaum kapitalis hedonis. Kapitalis adalah kelompok yang memiliki alat-alat produksi (modal atau tanah) dan mempunyai kekuasaan untuk menjalankan roda ekonomi yang strategis. Apalagi di Indonesia yang selama ini lebih mengagung-agungkan produk-produk impor dibanding lokal. Hal ini menjadikan salah satu faktor tersaingnya eksistensi produk lokal, dari sini bisa terlihat siapa yang akan sangat  teruntungkan akan perayaan tradisi hari valentine yang sudah merebak luas ke seluruh penjuru dunia. Wowwww…