BEBERAPA CATATAN PENTING DARI DUA TAMU

munadi editt

Dr. Muhammad Munadi, S.Pd., M.Pd
Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan

Dua tamu istimewa yang berkunjung ke IAIN Surakarta beberapa hari lalu memberikan beberapa catatan penting tentang pengembangan IAIN Surakarta. Tamu pertama mengharapkan munculnya dua kompetitor PTKI harus disikapi dengan bijak oleh pengelola PTKIS/PTKIN. Dua kompetitor tersebut adalah UIII (Universitas Islam Internasional Indonesia) dan Ma’had Aly Jalur Formal. Dua jenis perguruan tinggi ini semakin menyemarakkan kajian Islam walaupun pangsa pasar jelas berbeda.

Ma’had Aly Jalur Formal (selanjutnya disebut MAF) merupakan implementasi Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Secara lebih operasional MAF diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 71 tahun 2015 tentang Ma’had Aly. Ma’had Aly ini menurut peraturan yang ada memberikan pengertian sebagai berikut: Ma’had Aly adalah perguruan tinggi keagamaan Islam yang menyelenggarakan pendidikan akademik dalam bidang penguasaan ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) berbasis kitab kuning yang diselenggarakan oleh pondok pesantren (Pasal 1). Pernyataan ini menunjukkan bahwa lembaga ini penyelenggaranya adalah pesantren. Ini bermakna bahwa pesantren “melahirkan” ma’had aly, bukan sebaliknya. Hal ini berbeda dengan PTKI. Perbedaan berikutnya pada pasal 9 dinyatakan bahwa rumpun ilmu yang dikembangkan oleh Ma’had Aly merupakan ilmu agama Islam dengan pendalaman kekhususan (takhasus) disiplin ilmu keislaman tertentu. Ma’had Aly hanya menyelenggarakan 1 (satu) Program Studi meliputi: Al-Quran dan Ilmu Al-Quran (al-qur’an wa ‘ulumuhu); Tafsir dan Ilmu Tafsir (tafsirwa ‘ulumuhu); Hadits dan Ilmu Hadits (hadits wa ‘ulumuhu); Fiqh dan Ushul Fiqh (fiqh wa ushuluhu); Akidah dan Filsafat Islam (‘aqidah islamiyyah wa falsafatuha); Tasawuf dan Tarekat (tashawwufwa thariqatuhu); Ilmu Falak (‘ilmu falak); Sejarah dan Peradaban Islam (tarikh islamy wa tsaqafatuhu); atau Bahasa dan Sastra Arab (lughah ‘arabiyyah wa adabuha). Paparan ini menunjukkan bahwa Ma’had Aly akan sangat berbeda dengan PTKI yang selama ini ada.

Sampai saat ini Pemerintah sudah menetapkan 13 Ma’had Aly yang telah mengantongi izin pendirian dan nomor statistik tersebut, yaitu:

  1. Ma’had Aly Saidusshiddiqiyyah, Pondok Pesantren As-Shiddiqiyah Kebon Jeruk (DKI Jakarta) dengan program takhasus (spesialisasi) “Sejarah dan Peradaban Islam” (Tarikh Islami wa Tsaqafatuhu);
  2. Ma’had Aly Syekh Ibrahim Al Jambi, Pondok Pesantren Al As’ad Kota Jambi (Jambi), dengan program takhasus “Fiqh dan Ushul Fiqh” (Fiqh wa Ushuluhu);
  3. Ma’had Aly Sumatera Thawalib Parabek, Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek, Agam (Sumatera Barat), dengan program takhasus “Fiqh dan Ushul Fiqh” (Fiqh wa Ushuluhu);
  4. Ma’had Aly MUDI Mesjid Raya, Pondok Pesantren Ma’hadul ‘Ulum Ad Diniyyah Al Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya, Bireun (Aceh), dengan program takhasus “Fiqh dan Ushul Fiqh” (Fiqh wa Ushuluhu);
  5. Ma’had Aly As’adiyah, Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang (Sulsel), dengan program takhasus “Tafsir dan Ilmu Tafsir” (Tafsir wa Ulumuhu);
  6. Ma’had Aly Rasyidiyah Khalidiyah, Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai (Kalsel), dengan program takhasus “Aqidah dan Filsafat Islam” (Aqidah wa Falsafatuhu);
  7. Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo (Jatim), dengan program takhasus “Fiqh dan Ushul Fiqh” (Fiqh wa Ushuluhu);
  8. Ma’had Aly Hasyim Al-Asy’ary, Pondok PesantrenTebuireng Jombang (Jatim), dengan program takhasus “Hadits dan Ilmu Hadits” (Hadits wa Ulumuhu);
  9. Ma’had Aly At-Tarmasi, Pondok Pesantren Tremas (Jatim), dengan program takhasus “Fiqh dan Ushul Fiqh” (Fiqh wa Ushuluhu);
  10. Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda fi Ushul al-Fiqh, Pondok Pesantren Maslakul Huda Kajen Pati (Jateng), dengan program takhasus “Fiqh dan Ushul Fiqh” (Fiqh wa Ushuluhu);
  11. Ma’had Aly PP Iqna ath-Thalibin, Pondok Pesantren Al Anwar Sarang Rembang (Jateng), dengan program takhasus “Tasawwuf dan Tarekat” (Tashawwuf wa Thariqatuhu);
  12. Ma’had Aly Al Hikamussalafiyah, Pondok Pesantren Madrasah Hikamussalafiyah (MHS) Cirebon (Jabar), dengan program takhasus “Fiqh dan Ushul Fiqh” (Fiqh wa Ushuluhu); dan
  13. Ma’had Aly Miftahul Huda, Pondok Pesantren Manonjaya Ciamis (Jabar), dengan program takhasus “Aqidah dan Filsafat Islam” (Aqidah wa Falsafatuhu).( http://kampungdoa.net/akhirnya-pemerintah-resmikan-legalitas-13-mahad-aly/)

Ketiga belas MAF di atas terlihat seperti college untuk studi Islam karena kajiannya hanya tunggal. MAF hanya memiliki satu program studi kajian Islam. MAF yang memiliki kajian Hadits dan Ilmu Hadits semestinya tidak membuka kajian lain sehingga memang mereka yang belajar dan mengajar di tempat itu hanya mendalami satu keilmuan tersebut. Hal ini akan memunculkan centre of excellence sehingga perspektif kelimuannya juga akan berbeda dengan PTKIN/PTKIS yang ada. Ini menjadi tantangan sekaligus peluang tersendiri bagi PTKI yang ada untuk bisa saling bekerjasama (cooperation), kolaborasi, serta membangun comparative and competitive advantage dengan Ma’had Aly.   Dalam bahasa Cak Nun (Emha Ainun Najib) bahwa PT akan bisa dipermisalkan: satu tujuan banyak pintu atau satu pintu banyak tujuan, atau lebih jauh lagi seperti yang pernah ditulis oleh Cak Nur (Nurcolish Madjid)  bisa saja Pesantren Termas menjadi Universitas Termas, dan lain-lain.

Berdirinya   UIII (Universitas Islam Internasional Indonesia) juga menjadi kompetitor bagi PTKI yang ada. Perguruan tinggi ini berbeda dengan PTKI yang ada karena memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan kakak kandungnya sesama PTKI. Keunikan tersebut meliputi:  langsung memiliki luas lahan sekitar 142 hektar di Cimanggsi depok, langsung memiliki status Perguruan Tinggi Badan Hukum (tanpa melalui proses PT PNBP, dan BLU), 75 persen total mahasiswa yang ada diperuntukkan untuk mahasiswa luar negeri, dan hanya menerima mahasiswa jenjang S2 dan S3 (Peraturan Presiden No. 57 Tahun 2016 Pasal 2).

PTKI yang ada masih bisa bernafas lega karena UIII baru akan beroperasi tahun 2018 dan hanya menerima mahasiswa strata 2 dan strata 3.  Namun ketika benar-benar berdiri maka akan menjadi tantangan bagi PTKI yang menyelenggarakan program yang mirip baik di strata 2 maupun strata 3.

Tamu kedua sangat istimewa karena pernah menulis buku tentang PTKI yang berjudul Islamic Higher Education in Indonesia Continuity and Conflict yaitu: Ronald A. Lukens-Bull. Buku ini diterbitkan oleh Palgrave pada tahun 2013. Pesan yang disampaikan narasumber (di IAIN Surakarta) ini akan dimulai dengan pernyataan yang sangat menarik di bukunya:

One morning during breakfast, I spoke briefly with the rector (president) of one institution. Starting in 2005, it had been transformed from an exclusively religion-oriented institution into a full-fledged university by adding nonreligious divisions ( fakultas 2 ), including science and technology and health sciences. He told me that his goal was that his university become like Harvard and completely leave behind its religiouscharacter. I had never heard this story told as pointing to a laudable goal.(Luken-Bull, 2013:1).

Luken-bull memberikan nasehat kepada lembaga ini bahwa ketika mentransoformasikan IAIN/STAIN menjadi UIN harus bisa  menegaskan ke-khas-annya dibandingkan Universitas dibawah Kementerian Ristek Dikti. Terutama para pengajarnya harus bisa membaca al Qur’an dengan benar pada semua fakultas umum (nonreligious faculty). Apalagi mahasiswa dan alumninya juga harus bisa membaca al Qur’an dengan benar. Hal ini  dirasionalkan oleh Luken-Bull bahwa masyarakat tidak memandang darimana program studi dosen dan mahasiswa/alumni berasal tetapi karena berada di Univeristas Islam itu yang awalnya IAIN/STAIN maka harus bisa membaca al Qur’an secara baik dan benar.

Nasehat berikutnya, narasumber menyatakan bahwa untuk menangani program studi langka peminat di Fakultas-fakultas Agama (religious faculty) ketika transformasi IAIN/STAIN diperlukan terobosan kurikulum. Ada mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh mahasiswa pada nonreligious faculty dan pengajarnya diambilkan dari dosen religious faculty.

Pesan terakhir seperti yang juga disampaikan dalam bukunya, perlu ada An important way some PTAIN seek to maintain an Islamic environment has been to draw on aspects of the pesantren tradition (Luken-Bull, 2013:143). Pesan ini bisa dengan beragam cara implementasinya. Pertama bisa menggandeng pesantren untuk berkontribusi dalam input. Kedua ikut memproses mahasiswa nonreligious faculty dan religious faculty untuk bisa mengkaji kitab kuning di dalam ataupun di luar kampus. Hal ini dilakukan agar alumninya tidak seperti yang ditulis oleh Luken-Bull bahwa IAIN graduates were not able to read the traditional religious commentaries (kitab kuning) atau minimalnya all graduates would be able to publicly recite the Quran effectively. Atau yang lebih ekstrim seperti yang diinisiasi pertama kali  oleh UIN Maliki Malang, yaitu mendirikan pesantren sendiri yang kemudian diikuti oleh PTKI lainnya.  

Wallahu a’lam.

#BanggaIAINSurakarta