Dari Mapala SPECTA menuju Temu Wicara Kenal Medan, Ada Apa di Temu Wicara Kenal Medan XXXI?

Oleh: Fajar R Saputro (Mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam)
Dari kiri: Ni’matul dan Fajar R Saputro, mewakili UKM Specta IAIN Surakarta dalam TWKM XXXI

Sebagian orang mungkin tidak mengenal TWKM, sebagian lagi bahkan tidak menyadari jika ada sebuah kegiatan bernama TWKM. Jika ditilik lebih jauh, kegiatan TWKM adalah kegiatan eksklusif milik Mahasiswa Pencinta Alam tingkat Perguruan Tinggi se-Indonesia. Bagi anggota Mapala, mendengar kata TWKM atau Temu Wicara dan Kenal Medan pasti sudah tak asing lagi. Bukan apa-apa, TWKM bisa dikatakan forum berkumpulnya seluruh Anggota Mapala Tingkat Perguruan Tinggi se-Indonesia yang digelar tiap tahun.

Sejarah TWKM bermula pada sebuah kegiatan kemah bhakti atau camping ceria mapala se-Jawa – Bali pada tahun 1987yang dilaksanakan oleh MPL Unsoed. Pada kegiatan tersebut juga dihadiri oleh perwakilan Bidang Kemahasiswaan Dikti. Disana, beliau menyampaikan adanya anggaran yang disediakan untuk kegiatan kemahasiswaan yang berskala nasional. Mulai dari situ beliau memberi tantangan kepada mapala pada zaman itu untuk mengadakan suatu kegiatan berskala nasional.

Tantangan itu akhirnya dijawab dengan pelaksanaan TWKM untuk pertama kalinya. Konsep pertama TWKM dicetuskan oleh Zamri Khusaini dan Budi Tri Siwanto dengan ketua pelaksana Lik Memed. Kesemua orang tersebut adalah anggota mapala Madawirna IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta). Akhirnya TWKM dilaksanakan pertama kali di Madawirna IKIP Yogyakarta pada tahun 1988.

Kegiatan TWKM pertama hingga keempat dilaksanakan dengan konsep Temu Wicara yang merupakan agenda utama TWKM dan dihadiri oleh petinggi organisasi dalam satu forum sidang yang membahas dan mencari solusi dari permasalahan lingkungan di Indonesia serta persoalan internal dan eksternal organisasi Mahasiswa Pencinta Alam. Kemudian dilanjutkan agenda Kenal Medan, yakni sebuah bentuk kegiatan kepetualangan yang mencakup beberapa divisi diantara lain Gunung Hutan, Susur Gua, Panjat Tebing, Arung Jeram, Diving, hingga Lingkungan Hidup yang keseluruhan dimuatkan materi dasar hingga materi lanjutan oleh pemateri yang bersertifikasi di bidangnya.

Selanjutnya pada kegiatan tahun kelima hingga tahun ke 31 ini agenda Temu Wicara dan Kenal Medan dilaksanakan secara bersamaan.

31 tahun TWKM berjalan dengan penyelenggara dan tim perangkat yang berbeda pada setiap tahunnya. Namun selama kurun waktu 31 tahun TWKM dihelat, tujuan itu terasa semakin jauh dari pelupuk mata. Alih-alih menghasilkan tindakan yang bisa membawa pada kelestarian alam, justru gaung Mapala tak terdengar lagi dari hiruk pikuk perjuangan lingkungan yang semakin mengalami degradasi luar biasa dari tahun ke tahun.

Beberapa Mapala justru lebih rajin ke gunung, sungai atau tebing ketimbang menentang Undang-undang yang berimplikasi merusak alam, atau berdiri digarda paling depan melawan korporasi yang merusak lingkungan, atau mungkin dari hal kecil yakni diskusi mengenai politik lingkungan.

Wajar saja jika khalayak ramai mendiskreditkan Mapala sebagai organisasi yang anggotanya hanya berisikan kegiatan petualangan.

Seharusnya problematika semacam inilah yang harus disuarakan di TWKM yang kemudian melahirkan rekomendasi-rekomendasi seperti Aksi Serentak, testimoni, atau bahkan mengambil langkah-langkah pendampingan terhadap berlangsungnya persoalan lingkungan.

Tahun ini, TWKM XXXI dihelat pada 21-27 Oktober 2019 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan dan MAPALA Meratus UIN Antasari Banjarmasin bertindak selaku tuan rumah. Kegiatan nasional TWKM XXXI ini sedikitnya 380 mahasiswa pecinta alam se-Indonesia dari berbagai Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta ikut dalam kegaiatan tahunan ini. Termasuk delegasi dari Mapala SPECTA IAIN Surakarta yang wakili oleh Fajar R. Saputro (Sejawat Langes) sebagai peserta Temu Wicara dan Ni’matul Mufidah (Sejawat Gaplek) sebagai peserta Kenal Medan Caving atau Susur Gua.

TWKM XXXI kali ini mengangkat #SaveMeratus sebagai isu nasional. Sebuah langkah maju dan progresif ditengah-tengah degradasi nilai di Mapala Indonesia. Alhasil, ratusan anggota MAPALA Se-Indonesia menyatakan dukungan yang diaktualisasikan dalam deklarasi dan penandatanganan petisi terhadap gerakan #SaveMeratus sebagai upaya penyelamatan Pegunungan Meratus dari ancaman pertambangan batu bara.

Jika seluruh peserta TWKM bersatu dan melawan aktor perusak lingkungan. Bukan tidak mungkin, stigma negatif terhadap Mapala lambat laun terkikis dan akan tergantikan dengan Mapala yang menjadi organisasi pelopor dalam perjuangan-perjuangan lingkungan di Indonesia. Mapala yang terlibat aktif dalam berbagai kasus-kasus lingkungan di Indonesia. Mapala yang mengecam keras tindakan penegak hukum yang mengkriminalisasi aktivis lingkungan. Semoga, hasil dari TWKM XXXI ini bisa lebih nyata dan membawa pada kelestarian alam untuk generasi mendatang. Kembali membawa kepada rel tujuan yang selama ini telah diimpikan yaitu Menumbuhkan kesadaran dan sikap kritis mahasiswa pencinta alam Indonesia terhadap permasalahan lingkungan.