Aksi Cor Kaki-Dibalik Aspirasi Srikandi Kendeng

Oleh: Nurul Hidayah
(Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam-Bidikmisi 2015)

#BanggaIAINSurakarta

Kisah Mahabarata dalam lakon  pewanyangan Jawa, menceritakan lima ksatria istimewa. Di balik itu semua ada kisah lain yang selayaknya menjadi bagian yang tak kalah membuat kita terkesima. Bukan ksatria namun sosok wanita yang luar biasa. Dewi Srikandi, salah satu tokoh wanita dalam pewayangan Jawa ini berwatakan budi pekerti luhur dan pemberani.

Dewi Srikandi menjadi suri teladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kasatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayudha, Dewi Srikandi tampil sebagai panglima perang Pandawa menggantikan Resi Seta, Ksatria Wirata yang telah gugur dalam menghadapi Bisma, Senapati agung bala tentara Kurawa.

Srikandi dari Kendeng-Aksi cor kaki para ibu

Kendeng adalah Madukara bagi Srikandi-Srikandi Kendeng ini. Berjuang mempertahankan Kendeng sampai darah penghabisan adalah suatu keniscayaan bagi mereka. Bagi warga Kendeng, Bukit Karst Kendeng adalah sumber kehidupan bagi mereka. Bersama dan berdampingan dengan alam yang telah mereka lakoni selama berabad-abad lamanya. Kini, terusik dengan hadirnya pabrik semen yang menduduki posisi sentral kehidupan masyarakat Kendeng. Maka, sejak saat itulah warga bergerak menolak mati-matian adanya pabrik semen. Melihat realita di pemerintahan yang tidak memihak pada wong cilik. Akhirnya, warga Kendeng bergerak dengan kesadaran hati nurani mereka untuk menjaga lestarinya Kendeng, juga menolak adanya eksploitasi terhadapnya.

Maret 2017 Kembali bergolak Setelah kebijakan baru akan izin pabrik muncul kembali lewat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo Nomor 660.1/6 Tahun 2017. Rakyat Kendeng segera mencari keadilan atas alam yang seharusnya dijaga kelestariannya. Bergerak menuju Jakarta untuk menyalurkan aspirasi mereka untuk kedua kalinya.

Aksi cor kaki ibu-ibu dari daerah sekitar pegunungan Kendeng di depan Istana Negara ini, merupakan wujud tidakan dalam menyikapi kebjakan yang tidak merakyat, kebijakan yang kabur dan sulit untuk diterima akal sehat terkait izin yang kembali diberikan kepada perusahaan semen di Rembang.

Kebijakan yang cukup ngawur dan srampangan dalam memutuskannya. Pasalnya, pegunungan Kasrt di tanah Jawa yang seharusnya dijaga namun pada realisasinya hanyalah suatu kepalsuan, dimana investasi besar-besaran dari pihak asing ke Indonesia membuat kabur tujuan pembangunan bangsa yang sebenarnya. Membuat kabur tujuan untuk kesejahteraan rakyat.

Perlu kita pahami bersama bahwa kesejahteraan suatu masyarakat bukan terletak pada kadar gelimpangan materi yang dimiliki, tetapi rasa nyaman, aman dan kecukupan dalam hidup mereka adalah suatu kesejahteraan. Bagi warga Kendeng, berdampingan dengan alamlah yang mereka dambakan.

Menolak lupa akan upaya ibu-ibu dari Kendeng saat menutut ketegasan presiden Jokowi setahun yang lalu. Seolah itu hanyalah sebuah angin lalu yang tidak berbekas. Maka, sudah bukan suatu yang aneh bila masyarakat Kendeng “marah” melihat realita yang ada saat ini.

Deforestasi yang dilakukan PT. Semen Indonesia, dan pabrik semen yang ada di sekitarnya merupakan ironi. Pasalnya, hutan di Jawa sudah sangat sempit dan semakin menyemempit. Sedang, kebutuhan akan suber daya alam hayati sangatlah dibutuhkan. Melihat jumlah penduduk di Jawa yang semakin meledak pertumbuhannya.

Saat masyarakat berupaya untuk menjaga alam namun pemerintah malah memberikan izin “perusakan” alam. Melihat kondisi demografi di pegunungan Kendeng yang memiliki CAT (Cekungan Air Tanah) sebagai salah satu bumper area di pulau Jawa, yang mampu menampung air untuk cadangan air di daerah sekita pegunungan Kendeng. Kearifan lokal yang sudah turun temurun terjaga kini mulai terusik.  Air yang notabene adalah suatu kebutuhan mendasar dalam kehidupan, akan hilang dengan penambangan semen di sekitar pegunungan tersebut. Hal itu nantinya yang akan menyebabkan kekeringan dan kerusakan ekologi di sekitar Kendeng khususnya dan di pulau Jawa sendiri pada umumnya.

Lekat dalam ingatan akan hasil gugatan peninjauan kembali (PK) dari petani Kendeng dikabulkan, yakni dalam putusan PK Mahkamah Agung Nomor 99 PK/TUN/2016 tertanggal 5 Oktober 2016. Namun, ironinya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menerbitkan izin untuk PT. Semen Indonesia, yang ditandatangani lewat Keputusan Gubernur Nomor 660.1/6 Tahun 2017 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan dan Pembangunan Pabrik Semen PT. Semen Indonesia di Kabupaten Rembang.  Hal itu menyulut api “amarah” warga Kendeng yang kini kian membara.

Perjuangan panjang menolak adanya pabrik semen sudah tepatri dalam relung jiwa masyarakat Kendeng Utara. Tertanggal Senin, 20 maret 2017, Salah satu Srikandi Kendeng yang ikut memasung kakinya selama lima hari, telah gugur. Malam itu (20/3) Patmi (48) ini meninggal dunia usai pemasungan kaki dengan cor semen selama lima hari itu. Srikandi asal Pati, Jawa Tengah ini turut menyuarakan dengan gigih atas penolakan pabrik semen di daerahnya. Patmi, adalah bukti nyata bahwa kelestarian bumi dimana ia berpijak harus dijaga. Menjaga kearifan lokal adalah suatu hal yang seharusnya diupayakan sampai akhir hayat.

Perjuangan Patmi semoga tidak sia-sia. Tumbuh harapan besar akan rekomendasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) pada hari Rabu, 12 April 2017 terkait rekomendasi untuk tidak menambang area CAT (Cekungan Air Tanah) Watuputih bukan sebatas wacana dan janji-janji belaka.

Harapan begitu besar kepada penengak hukum agar benar-benar mengatasi masalah kebijakan yang ringkih akan transparansi ini, bukan larut dalam negosiasi pada investasi kekuatan kapitalis yang mulai menggerogoti kemakmuran negeri. Jangan sampai materi menjadi tabir tugas para abdi negara.  Saat euforia investasi membungkam kemiskinan yang akan terjadi dikemudian hari.

Melalui narasi ini tersematkan harapan besar pada penguasa negeri untuk berkaca kembali, menelisik dan mengkaji lagi. Memberi solusi dengan hati nurani. Membiarkan srikandi-srikandi ini hidup berdampingan dengan alam lestari. Membiarkannya sejahtera bersama kearifal lokal yang ada. Membiarkan mereka mengadu bakti pada bunda pertiwi.