Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Tambah Doktor Baru

Dosen Fahmi 20160728_165213SINAR – Dalam rangka memperbaiki kualitas mutu akademik serta peningkatan sumber daya dosen, maka banyak dosen IAIN Surakarta yang melanjutkan proses studi doktoral. Begitu pula dengan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah (FUD), juga ada  tambahan doktor baru, yakni Dr. Muhammad Fahmi, M.Si.

Kamis (28/7), Muhammad Fahmi, salah satu dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah (FUD) resmi mendapat gelar akademik Doktor setelah melaksanakan sidang terbuka di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Dosen yang mengampu mata kuliah Sosiologi Agama, Sosiologi Pedesaan dan Perkotaan ini menyelesaikan studinya doktornya pada Prodi Kajian Budaya dan Media, di Pascasarjana UGM. Karena cuti 2,5 tahun, sehingga gelar Doktor baru berhasil disandang setelah 6,5 tahun. Muhammad Fahmi mulai masuk program doktor tahun 2009 dan selesai pada tahun 2016. Adapun Indeks Prestasi (IP) yang diperoleh oleh Muhammad Fahmi adalah 3,75 dengan menyandang predikat cumlaude. “Untuk masuk kategori cumlaude harus lulus tidak lebih dari 5 tahun,” imbuhnya.

Terkait disertasi,  Fahmi menjelaskan lebih jauh bahwa ia mengangkat judul “Representasi Islam Dalam Media di Surakarta”. Disertasi Muhammad Fahmi memiliki beberapa manfaat. “Penelitian ini memberi sumbangan akademik dalam studi media. Terutama dalam melihat dimana media-media yang ada di Surakarta itu mempresentasikan Islam,” jelasnya saat ditemui SINAR.

Fahmi menambahkan bahwa Islam seperti apa yang sebenarnya sedang direpresentasikan oleh media di Surakarta. Dalam konteks ini, ideologi apa yang sedang beroperasi dalam media tersebut. Hasil dari disertasi yang didapatkan adalah mengambil bagaimana media-media di Surakarta mempresentasikan Islam. Fahmi mengambil pendekatan tematik kemudian dipilihlah case-case tertentu. Pada saat menulis disertasi Muhammad Fahmi melihat kasus Charlie Hedbo. surat kabar mingguan satir Prancis, menampilkan kartun, laporan, polemik dan lelucon. Secara nyaring non-konformis dalam penyuaraan, publikasi memiliki kecondongan sangat antireligius, sayap kiri dan anarkis, seperti membuat karikatur nabi Muhammad yang membuat umat Islam berang, hingga terjadinya tragedi pada tanggal 7 Januari 2015 sekitar pukul 11:00 CET yang menewaskan sekitar 17 orang,.

Dalam kasus ini, Fahmi memandang media Surakarta itu netral dikarenakan media sendiri memang seharusnya bersikap netral akan hal yang masih belum jelas adanya. Kasus Charlie Hedbo memiliki dua pandangan, yang pertama pandangan dari Barat sedangkan yang kedua pandangan dari Islam dari pihak barat dengan adanya kasus ini semakin menjustifykasi-kan Islam akan hal-hal buruk. Adapun mengapa Muhammad Fahmi mengambil Surakarta sebagai rujukan disertasi dikarenakan Surakarta adalah salah satu pelopor media di Indonesia, yang mana memiliki khas tersendiri terutama dalam bidang pencetakan bahasa Pribumi pada saat pertama kali diterbitkan. Karena sejarah yang panjang inilah maka di bangunlah Monumen pers di Surakarta.

Media di Surakarta sendiri memiliki sekitar seratus lebih media sejak pertama kali berdiri. selain itu Surakarta sendiri identik dengan terorisme dan gerakan-gerakan radikal apalagi dengan adanya kasus bom Bali maka media-media semakin getol melihat Surakarta ditambah dengan adanya tokoh seperti Abu Bakar Baasyir. Selain itu dengan adanya Serikat Islam (SI) di Surakarta dan dalam sektor ekonomi di kuasai oleh orang Cina. Maka mereka seperti ingin melakukan perlawanan selain gerakan-gerakan yang disebut di atas ada pula gerakan yang bernama totalism.

“Tiga prinsip nilai yaitu Islam dalam aspek agama Islam dalam aspek sosial dan Islam dalam aspek negara. Hasil dari disertasi saya ini terbagi menjadi tiga discourse media. Pertama, Islam sebagai agama moderat yang mana media Surakarta meng-cover setiap ada kejadian terorism atau radikal itu bukan termasuk bentuk dari Islam. Islam sejatinya menentang kekerasan. Kedua, Islam adalah korban dari terorisme yang mana Islam adalah korban profokasi dari majalah tersebut. Terakhir, Islam agama teroris hal ini dilakukan sebagaimana kode etik media yang mana media tidak boleh memihak. Akan tetapi hal ini tidak lebih kuat. Yang dua tadi ini tidak lepas dari Surakarta sebagai tempat aliran-aliran garis keras,” pungkasnya. (MgZaqi-Yin/Humas Publikasi)