Filosofi Gong dan Tahun Baru di Solo

Oleh: Abdul Ghofur, S.Pd.I.
(Staf Akademik FITK IAIN Surakarta)

#BanggaIAINSurakarta

Suasana Pemukulan Gong di Salah Satu Titik di Solo CFN.(Foto: Ghofur)

Minggu (31/12) ribuan warga terlihat memadati area Car Free Night (CFN) di Jalan Slamet Riyadi Solo, Jawa Tengah. CFN merupakan salah satu upaya Pemkot Surakarta dalam mengisi malam pergantian tahun. Melalui even tersebut sebagai sarana bagi masyarakat untuk lebih mengakrabkan diri sebagai sesama Wong Solo. Pemkot juga menyediakan lima panggung hiburan bertempat di Diamond, Solo Grand Mall, Sriwedari, Ngarsopuro, dan Bundaran Gladag.

Namun, ada yang berbeda pada gelaran peringatan tahun baru 2018 kali ini, yaitu adanya surat edaran tentang larangan membunyikan petasan pada pergantian malam tahun baru. Sebagai penggantinya Pemkot menyediakan 75 gong yang dibunyikan pada detik-detik pergantian tahun di beberapa titik. Terobosan ini menurut Pemkot merupakan sebagai sarana untuk nguri-nguri budaya Jawa.

 

Gong; Sebuah Makna Filosofis

Menurut FX Hadi Rudyatmo, Walikota Solo, filosofi gong ini adalah agar gaung Kota Solo bisa sampai di seluruh Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Adapun berkenaan jumlahnya yaitu 75 gong, di situ terdapat unsur angka tujuh yang dalam bahasa Jawa disebut pitu berarti pitulungan atau pertolongan. Maksudnya agar Kota Solo selalu aman dan tenteram mendapatkan pertolongan dari Tuhan.

Bila menilik sejarah Indonesia, kita bisa melihat salah satu peran Walisongo dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Utamanya Sunan Kalijaga dengan pendekatan budayanya, di antaranya melalui seni musik dan lukis. Sehingga ketika Islam datang dapat diterima dengan mudah dan tanpa paksaan oleh masyarakat.

Gong atau secara lengkap include dalam peralatan yang disebut gamelan merupakan salah satu medium yang digunakan oleh Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam. Gong bermakna agung atau besar, mengandung arti bahwa Tuhan itu, Allah itu Maha Besar, segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Setiap peristiwa yang terjadi sebagai pengingat kita terhadap kebesaran Allah yang tersimbolkan dalam gong yang merupakan alat paling besar dalam seperangkat gamelan. Gamelan secara lengkap ditambah dengan kendhang, bonang, saron, gambang, demung, suling, dan lainnya.

Sunan Kalijaga meramu apa yang disebut Gong Sekaten yang mempunyai falsafah mengajak orang/masyarakat untuk masuk Islam. Kesatuan gamelan bila dibunyikan secara bersamaan akan menghasilkan bunyi: Nong-ning nong kana nong kene pumpung mumpung-mumpung pul-pul-pul ndang-ndang-ndang, endang-endang tak ndang-ndang tandang nggur, jegurrr. Artinya ialah: di sana di situ di sini, mumpung masih ada waktu atau masih hidup, berkumpulah dan cepat-cepat masuk agama Islam.

Sungguh luar biasa apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga, mejadikan budaya sebagai medium mengislamkan orang, berbeda dengan kondisi sekarang yang memiliki kecenderungan mengkafirkan orang yang sudah Islam hanya karena berbeda pandangan, na’udzubillah. Maka dari itu layak diapresiasi apa yang dilakukan oleh Pemkot Solo, menjadikan elemen budaya yang adiluhung sebagai sarana untuk mempersatukan masyarakat dalam bingkai perbedaan di tengah zaman yang serba modern. Semoga di tahun baru 2018 ini, Kota Solo menjadi kota yang semakin aman, tenteram, dan berseri (bersih, sehat, rapi, indah). Amiin.