IAIN Surakarta Launching Pusat Studi Pancasila dan Kebangsaan

SINAR- IAIN Surakarta mengadakan acara launching Pusat Studi Pancasila dan Kebangsaan. Acara dikemas dengan Webinar (Web Seminar) dengan tema 75 Tahun Kelahiran Pancasila, Meneguhkan Nilai Pancasila dalam Menghadapi Pandemi Corona. Acara kegiatan launching diadakan pada hari Kamis, 4 Juni 2020 pukul 09.00 s/d 12.00 WIB dengan memakai zoom cloud meeting. Peserta Webinar yang mengikuti seminar sebanyak 295 peserta dari berbagai wilayah di Indonesia, seperti Medan, Makasar, Sulteng, Bali, Lombok, hingga Papua. Bertindak sebagai Keynote Speaker adalah Rektor IAIN Surakarta, Prof. Dr. H. Mudhofir Abdullah, S.Ag., M.Pd. Beliau mengungkapkan bahwa selama tujuh puluh lima tahun, Pancasila menjadi pemersatu bangsa, menjadi satu bangsa, satu bahasa, dan satu tujuan, yaitu Republik Indonesia. Karena itu, Pancasila merupakan sebuah keajaiban dan kesaktian yang dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Beliau juga mengutip Ben Anderson yang mengatakan bahwa Bangsa Indonesia bagaikan Imagined Community (Masyarakat yang hanya ada dalam angan-angan), dengan sebab Pancasila, Bangsa Indonesia yang dipandang sebagai bangsa yang hanya ada dalam angan-angan, dapat menjadi kenyataan. Hal ini menjadikan Pancasila sebagai way of live bagi segenap bangsa Indonesia yang mempersatukan berbagai suku, etnis, dan agama. Tentunya hal ini dijembatani oleh kemauan para elit pemerintah yang memiliki rasa cinta tanah air terhadap bangsanya. Sehingga Indonesia menjadi Negara yang besar dan bersatu hingga kini dengan dasar Pancasila. Terakhir, beliau memberikan apresiasi atas Lounching Pusat Studi Pancasila dan Kebangsaan, beliau berharap PSPK menjadi ruang tumbuhnya generasi muda yang cerdas dalam mengkaji Pancasila.

Selanjutnya, Kegiatan inti Webinar Pancasila menghadirkan tiga Narasumber, yaitu Prof. Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd. Guru Besar sekaligus Ketua Pusat Studi Pengamalan Pancasila LP2M UNS Surakarta, Arif Subekti, S.Pd., M.A., Dosen Sejarah dan Anggota Tim Pengembang UPT Pengkajian Pancasila Universitas Negeri Malang, dan Kalis Mardiasih, seorang penulis produktif dan pengamat media social.

Prof. Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd. menyatakan bahwa Pancasila merupakan kemerdekaan politik bagi Bangsa Indonesia, karena itu masyarakat Indonesia wajib bergandengan tangan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Gotong royng merupakan Living Value (Nilai kehidupan) yang telah ada di masyarakat sejak dulu. Kini kita memerlukan inovasi gotong royong berupa sikap toleransi, saling menghargai, bersatu dan mampu menghasilkan generasi yang memiki talenta dalam kebudayaan, khususnya dalam menghadapi industrialisasi pangan di masa depan.

Dalam menghadapi Pandemi Covid-19, beliau berpendapat bahwa hal ini merupakan kehendak Allah yang maha Kuasa, yang mengakibatkan kesulitan dalam berbagai sektor, termasuk dalam hal ekonomi. Yang perlu kita apresiasi adalah kita tidak stress dalam menghadapi virus tersebut, satu hal yang perlu kita lakukan adalah saling gotong royong dan saling membantu terhadap sesama, mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Narasumber selanjutnya, Arif Subekti menjelaskan Pancasila dari aspek historis. Pancasila yang kita kenal saat ini adalah Pancasila konstitusional yang menjadi sumber hukum dari segenap bangsa Indonesia, namun terdapat Pancasila yang belum kita kenal sebelumnya, yaitu pancasila yang digodok oleh BPUPK (Pancasila historis). Pancasila historis ini melihat dari pidato para perancang pancasila seperti Muhammad Yamin yang mengusulkan pancasila secara tertulis dengan urutan, 1) Ketuhanan Yang Mahaesa, 2) Persatuan Indonesia, 3) Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya oleh Supomo yang tertulis dalam narasi sejarah nasional adalah (1) Ketuhanan, (2) Kemanusiaan, (3) Persatuan, (4) Permusyawaratan, (5) Keadilan/Kesejahteraan. Terakhir dari Soekarno, Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 tentang Pancasila memuat: 1. Nasionalisme/ Kebangsaan Indonesia; satu negara nasional. 2. Internasionalisme/Peri Kemanusiaan, menuju pada kekeluargaan bangsa-bangsa. 3. Mufakat/Demokrasi; Negara yang semua buat semua. 4. Kesejahteraan Sosial; tidak ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. dan 5 Ketuhanan yang berkebudayaan; berbudi pekerti luhur dan saling menghormati.

Soekarno sadar saat itu masyarakat Indonesia tidak siap untuk merdeka. Kemudian Soekarno menyampaikan pidato, “Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak dysentrie, banyak penyakit hungerudeem, banyak ini banyak itu. Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka”.

“Didalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita, agar supaya menjadi kuat, didalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud dengan perkataan “jembatan”. Diseberang jembatan, jembatan emas, inilah baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi.”. Bahwa dalam pidatonya sudah menyinggung permasalah terkait covid-19, yaitu dengan sehat jasmani dan rokhani. Selanjutnya Arif Subekti menjelaskan bahwa untuk menghadapi virus Covid-19 adalah dengan gotong royong dan membantu terhadap sesama.

Narasumber ketiga, Kalis Mardiasih, memilih tema hijrah tidak masalah, asalkan tidak menarik diri dari lingkungan dan menganggap orang yang berbeda salah. Masalah pertama yang ia bicarakan adalah stereotype generasi milenial. Saat ini stereotype generasi milenial adalah anak muda yang suka nongkrong di kafe, memiliki smartphone, melek dengan teknologi, dan identik dengan kemajuan. Padahal menurut riset global tentang anak milenial, bahwa 30 % anak milenial di dunia tidak sekolah sama sekali bahkan tercatat yang bersekolah di SMP 8%, SMA 5% dan melanjutkan kuliah hanya 0,6 %. Jadi, sebenarnya tidak ada bedanya antara milenial dengan orang-orang yang sebelumnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa 74,9% wanita muslim saat ini telah memakai jilbab, sedangkan yang tidak memakai jilbab sebanyak 25,1%. Namun realita naiknya angka wanita berjilbab tidak disertai dengan kondisi keluarga yang harmonis di tengah keluarga. Karena ada 30% wanita Janda yang saat ini menjadi kepala keluarga, sehingga keadaan saat ini semakin mundur dibanding beberapa dekade sebelumnya. Hal ini disebabkan munculnya otoritas Islam baru yang mendominasi layar televisi menggantikan otoritas lama yang sebetulnya lebih ahli. Ia mencontohkan seperti pamor Prof. Quroish Syihab, ahli tafsir yang diakui di Asia tenggara yang hanya berada di urutan 8 dari 10 ustadz favorit di Indonesia. Karena itu Ia memberikan solusi kepada generasi muda untuk membawa perubahan sesuai dengan civil Islam, yaitu spirit keagamaan Islam yang mampu beradaptasi dengan nilai modern, seperti demokrasi, pluralism, dan kemajemukan. Sehingga akan menghasilkan Islam yang beradab. Ia juga mengatakan bahwa 98% orang Indonesia itu percaya agama dan butuh agama, karena itu ia mewanti-wanti agar gerakan perubahan social menuju peradaban harus dengan agama, agar perubahan social berjalan dengan lancar. Demikian seminar 75 tahun kelahiran pancasila dan Launching PSPK IAIN Surakarta yang berjalan lancar hingga akhir. (Gus/ Humas Publikasi)