IAIN SURAKARTA, QUO VADIS?

Dr. Syamsul Bakri, M.Ag-ed

Dr. Syamsul Bakri, M.Ag
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta yang sudah berumur 24 tahun pada 2016 ini telah mengalami metamorfosa sebanyak tiga kali. Sejak didirikan oleh Menteri Agama, Munawir Syadzali tahun 1992 dengan nama IAIN Walisongo Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Syari’ah Surakarta, kehidupan intelektual Islam di kota Surakarta mulai menggairahkan. Apalagi program Menag waktu itu adalah untuk mencetak kader ulama intelektual yang sudah dinilai langka. Dinamika yang terjadi di Kementrian Agama kemudian memaksa kedua fakultas tersebut menjadi sebuah lembaga tersendiri, STAIN Surakarta (tahun 1997), dan naik maqam birokrasi menjadi IAIN pada 1-1-2011.

Perkembangan yang terjadi di IAIN Surakarta, dari berbagai sisi, cukup pesat. Dari tahun ke tahun, grafik kualitas dan kuantitas menunjukkan garis me-naik. Jumlah mahasiswa yang tahun 2016 menembus angka 12.000 dengan jumlah dosen dan karyawan 400 orang adalah merupakan potensi pokok yang dimiliki, tentu dikaitkan dengan kualitas civitas akademika yang semakin baik. Belum lagi support IT dan fasilitas pembelajaran yang semakin canggih.

Dalam masa pertumbuhan ini, apa yang harus dipahami adalah bahwa IAIN Surakarta masih dalam “proses menjadi”, dari posisi institusi baligh menjadi institusi yang dewasa. Cara berfikir eksistensialisme ini penting untuk menggugah kepenasaran civitas akademika tentang masa depan IAIN Surakarta, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi bagi lembaga yang masih perlu vitamin lebih banyak ini.

Adapun beberapa potensi yang dapat dikembangkan antara lain:

Pertama, IAIN Surakarta perlu mengembangkan keilmuan “lokal” sebagai identitas dan core of exellent, yakni kajian Islamic studies yang terkait dengan kebudayaan Islam Jawa, sebagai sub kultur dari varian kebudayaan Islam di nusantara, atau meminjam istilah Sayyed Hossein Nashr, Islam Melayu. Posisi geografis IAIN Surakarta yang terletak di pusat budaya Nagari Agung (eks Mataram Islam) sangat mendukung upaya pengembangan ini. Surakarta merupakan kota tradisional yang menyimpan jejak-jejak sejarah perkembangan Islam, di samping sejarah nasional Indonesia. Banyak naskah-naskah keislaman klasik (setara dengan naskah-naskah Timur Tengah) produk ulama nusantara di Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran, Sono Budoyo Kasunanan, Perpustakaan Monumen Pers, Perpustakaan Museum Sri Wedari, Perpustakaan Masjid Agung, dan lain-lain yang belum banyak dijamah. Padahal di perpustakaan tersebut menyimpan banyak sumber pengetahuan yang “tersembunyi”. IAIN Surakarta perlu fokus untuk melakukan reproduksi makna dari sumber-sumber sejarah dan khazanah ulumuddin hasil karya ulama nusantara tersebut.

Kedua, fakultas yang ada sekarang sudah saatnya melakukan pembelahan sel, sehingga menjadi dua atau lebih fakultas. Oleh karena itu maka fakultas perlu membuka jurusan-jurusan baru yang marketable agar proses pembelahan sel (mitosis) nanti membawa berkah, dan masing –masing fakultas dapat memproduk anak sendiri-sendiri berupa varian keilmuan dan skill yang khas. Pembelahan sel yang dilakukan Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam menjadi Fakultas Syariah dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam perlu segera diikuti pembelahan sel di Fakultas Ushuluddin dan Dakwah serta Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Hal ini sekaligus menciptakan pra kondisi dalam rangka upgrade status menjadi UIN pada tahun 2019.

Ketiga, perlu dilakukan dekonstruksi kurikulum (bukan hanya rekonstruksi), untuk membuang mata kuliah status quo dan tidak fungsional, kecuali beberapa mata kuliah ortodoksi Islam yang harus dijadikan cagar vudaya keilmuan.

Keempat, perlu sertifikasi bagi mahasiwa dalam tiga komponen, yaitu bahasa asing (Bahasa Arab dan Inggris), baca tulis al-Qur’an, serta praktek ibadah tingkat dasar.

Kelima, perlunya peningkatan mutu civitas akademika yang ditandai dengan banyaknya produk penelitian berkualitas dan tulisan yang layak baca. Karya-karya akademik, baik berupa karya ilmiah scholar (dari akademisi untuk akademisi), maupun karya ilmiah popular (dari akademisi untuk publik) perlu mendapat tempat untuk dikembangkan. Mutu dan profesionalitas tenaga kependidikan juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari hal ini.

Keenam, perlunya international office dalam rangka penguatan kelembagaan dan kerjasama. Ketujuh, mempersiapkan embrio tenaga pendidikan dalam berbagai bidang keahlian ilmu sosial, ilmu alam dan humaniora sebagai cikal bakal pembentukan fakultas sain.

Kedelapan, menjalin hubungan dan kerjasama yang baik dan berkelanjutan dengan pondok pesantren sebagai pusat kajian ulumuddin, sebagai bagian dari upaya memperoleh input mahasiswa yang berkualitas dan menjadi rekan dalam memajukan kajian Islamic studies.

Kesembilan, mendorong mahasiswa dalam mengikuti perhelatan internasional, baik dalam bidang penalaran keilmuan maupun dalam bidang minat dan bakat.

Akan tetapi, upaya pengembangan ini juga harus dibarengi dengan pembacaan yang jenius tentang induk keilmuan IAIN, dan historisitas kesejarahan IAIN. Dua fakultas “anak sulung” IAIN Surakarta, yakni Syari’ah dan Ushuluddin, yang saat ini menjadi jurusan yang langka peminat, perlu mendapat perhatian dari seluruh pimpinan di IAIN Surakarta. Pasalnya, kedua jenis keilmuan tersebut konon penampilannya sudah tidak menarik bagi masyarakat yang berfikir praktis-pragmatis. Karena di dalam perut kedua keilmuan tersebut mengandung ilmu babon, maka perlu penyelamatan dan cagar budaya dalam pengertian yang dinamis, agar ilmu ushuluddin dan syari’ah tidak termuseumkan oleh gerak pragmatisme, dan juga tidak sekedar menjadi cagar budaya yang statis.

Kesemuanya ini penting untuk memprsiapkan diri dan sekaligus pasang kuda-kuda dalam rangka menyongsong alih status IAIN menjadi UIN di tahun 2019 atau lebih cepat, dan yang lebih penting lagi adalah menjadi pusat kajian keislaman dan peradaban yang memiliki corak Surakartan, tanpa kehilangan universalitas keilmuan dan keislaman. Hanya beralih status ke UIN, institusi ini dapat survive, bertahan hidup di masa depan.