Islam dan Budaya Jawa

Indonesia adalah Negara berpenduduk muslim terbesar didunia, ini menjadi suatu prestasi besar bagi sebuah Negara yang secara geografis dan budaya jauh dari pusat peradaban Islam (timur tengah khususnya arab). Terlebih lagi Indonesia tidak pernah berada di dalam wilayah kekuasaan kekhalifan Islam pada jaman dahulunya. Malah Indonesia dahulu adalah wilayah kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha. Mengapa demikian? Sebagai jawabanya adalah bahwa para pendakwah di Indonesia menyebarkan ajaran Islam dengan konsep-konsep yang damai, terutama melalui kebudayaan dan adat istiadat. Sebagai contohnya adalah ulama-ulama pada jaman itu yang disebut sebagai Walisongo. Mereka memanfaatkan budaya secara massif sebagai media dakwah penyebaran Islam pada jaman itu.

Keselarasan model dakwah dan konsep penyebaran Islam itu semakin ditegaskan saat ini dengan istilah “Pribumisasi Islam”. Ini adalah sebuah konsep kekinian yang digagas oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dus) pada tahun 1980-an. Konsep ini mencoba mengakomodasi ajaran Islam yang bersifat normatif dan berasal dari Tuhan dengan kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitas masing-masing. Dengan demikian keduanya akan memberikan corak. Konsep ini berikhtiar dan berupaya untuk menghindari timbulnya perlawanan (konflik) dengan budaya setempat, sehingga budaya tersebut tidak hilang, bahkan sebagai sarana untuk Islamisasi.

Buku yang ditulis oleh Drs. Abdullah Faishol, M.Hum dan Dr. Syamsul Bakri, M.Ag ini sangat tepat untuk dijadikan bacaan dan rujukan mengenai pribumisasi Islam khususnya di Jawa. Buku ini membahas secara detail konsep perpaduan antara agama (Islam) dengan budaya. Sesuai judulnya buku ini mencoba untuk mengangkat berbagai bentuk budaya Islam-Jawa yang berkembang di masyarakat beserta landasan filosofis dari budaya-budaya tersebut ditilik dari sudut pandang sumber-sumber hukum Islam seperti Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sebagai contohnya adalah beberapa upacara yang berkaitan dengan kehamilan dan kelahiran. Pertama “ngapati” (empat bulan masa kehamilan). Yaitu bentuk ungkapan syukur dari pasangan suami-istri akan kehamilan (mereka akan mendapatkan keturunan). Budaya ini sesuai dengan salah satu hadits nabi yang yang menyebutkan bahwa pada setiap masa 40 hari akan berubah perkembangan janin dari proses pembuahan-menjadi janin dan pada masa 40 hari keempat itulah Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh pada janin lalu menulis empat hal: rizki, ajal, amal, dan celaka/bahagianya. Itulah dasar dari tradisi tersebut. Secara jelas ini bisa ditarik kesimpulan bahwa sebelum Allah menentukan empat hal tersebut, orang tua berdoa semoga Allah memberikan hal yang terbaik dengan adanya proses “ngapati” tersebut.

Masih banyak tradisi yang lain seperti “mitoni” (tujuh bulan masa kehamilan), “sepasaran” atau akikahan (bayi umur lima hari), seperti juga upacara perkawinan seperti “siraman” (pemandian), midodareni (malam hari menjelang pernikahan), sungkeman (hormat ke orang tua), selametan kematian dan juga tahlilan. Tradisi-tradisi itu dibahas tuntas mengenai unsur Islam dan Jawanya. Sehingga buku ini sangat layak untuk dibaca.