Islam Indonesia dan Keragaman

Islam sebagai ad-Din al-Haq bukan hanya menjadi agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Islam juga merupakan agama peradaban yang membawa rahmat bagi semesta alam, bukan agama teroris maupun agama sekuler. Dengan inilah Allah mengutus Rasul-Nya, Muhammad SAW, sebagai seorang humanis, bukan rasialis. Hal ini ditegaskan dalam Surat Al-Anbiya ayat 107 :

 “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam”.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, tonggak kebenaran dipegang oleh para sahabat, kemudian diganti oleh tabi’in. setelah itu tabi’ tabi’in, kemudian para ulama sebagai penerus dakwah Islamiyah.

Ulama yang dinobatkan sebagai warasatul anbiya, pewaris nabi, serta orang yang takut kepada Allah merupakan golongan manusia yang harus kita segani. Dari merekalah kita dapat mengetahui ulum ad-Din, serta melalui mereka pulalah kita dapat memahami Al Quran dan Sunnah. Ulama sebagai orang yang disegani di masyarakat seringkali disebut sebagai “Kyai” di Jawa, selain itu juga karena dimuliakan dan dituakan disuatu daerah maka juga disebut atau panggilan “Mbah”. Masyarakat Jawa lebih elegan ketika mereka memanggil para alim ulama atau para syeikh dengan sebutan “Mbah”. Sebutan-sebutan yang lekat dengan unsur jawa tersebut sudah melekat dan itu tidak merubah esensi yang ada pada ulama dan syeikh nya sendiri. Jadi adanya istilah-istilah Jawa dalam proses keberagaman Islam di Indonesia bukan lah hal yang baru dan aneh.

Begitu pula jika baru-baru ini ada istilah “Islam Nusantara” sebenarnya itu tidak perlu diperdebatkan tentang boleh dan tidaknya Islam Nusantara. Untuk mengetahui makna dari Islam Nusantara setidaknya patut dipahami penyataan Ali Mustofa Ya’qub bahwa antara agama (Islam) dengan budaya (Nusantara) itu berbeda. Jadi agama dan budaya tidak dapat disatukan. Akan lebih tepat jika artinya adalah Islam yang bercorak budaya, yaitu dalam budaya tersebut terdapat nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam seperti keluhuran budi pekerti, toleransi, keadilan, dan kesantunan.

Menurut saya, istilah Islam Nusantara seyogyanya dapat dipahami secara mendalam supaya tidak memicu konflik horizontal yang bersifat rasial dan antar sesama warga negara Indonesia. Sebagaimana halnya sejak awal Islam masuk ke bumi nusantara pada umumnya dengan jalan damai, hanya masalah istilah seharusnya tidak perlu diributkan apalagi saling menyalahkan.


Unik

Boleh jadi hal inilah yang membuat para orientalis maupun peneliti asing tergiur untuk meneliti Islam di Nusantara karena memang terkesan unik dan langka serta jarang terjadi di negara-negara lain. Seperti halnya Clifford Geertz, Snouck Hurgronje, dan William Liddle adalah ilmuan barat yang terkenal kerena meneliti tentang Islam di Indonesia. Karena sejerah Islam di Indonesia, memang memiliki keunikan tersendiri karena disamping sebagai pemersatu bangsa juga memberikan nuansa baru dalam keber-Islam-an yang berbeda dengan karakter dan sifat ke-Islam-an di negara-negara Islam lain, terutama di Timur Tengah.

Islam di Indonesia terbukti mampu berinteraksi dengan budaya lokal. Terjadinya akulturasi budaya dan agama tidak terlepas dari kegigihan dakwah Walisongo dan para wali lainya di Jawa. Para wali dalam melakukan Islamisasi atau menghayati agama berdasarkan tiga hal penting yakni toleran, moderat dan akomodatif. Bagi seorang muslim, keimanan yang dibalut dengan symbol-simbol tidaklah cukup. Orang yang telah beriman harus disempurnakan dengan amal dan ibadah yang baik, serta perilaku yang terpuji (akhlaq al-karimah). Fenomena akulturasi budaya dengan agama di Jawa juga menyebabkan terjadinya dua hal. Pertama, agama Islam dibalut dengan budaya jawa. Kedua, kebudayaan jawa yang dibalut dengan Islam. Islam yang dibalut dengan kebudayaan Jawa, misalnya, Maulid Nabi, Rajaban, Selikuran (pada malam yang diduga Lailatul Qadar), dan lain sebagainya.

Sedangkan budaya Jawa yang dibalut dengan Islam misalnya, sekaten, mitoni, ngupati, ruwatan dan lain-lain. Sejatinya jika kita mau mendalami dan mengkaji tradisi budaya masyarakat Jawa sebagaimana dicontohkan di atas sebenarnya terdapat dasarnya. Sebagai muslim sudah seyogyanya jangan menyalahkan, membid’ahkan, memusyrikkan, apalagi mengkafirkan muslim yang lain. Sejatinya muslim yang mengamalkan amalan-amalan seperti diatas mempunyai dasar dan pegangan tersendiri. karena ulama dan walisanga ketika berdakwah sebenarnya berprinsip dengan istilah kaidah al-muhafadzatu ‘ala al-muqadimil shaalih wal akhdu bi al-jaddidil ashlah, menjaga tradisi lama yang positif dan mengambil tradisi baru yang lebih positif.

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Solopos, 31 Juli 2015.