Islam Moderat Untuk Islam Nusantara

Islam Nusantara yang secara normatif-doktrinal mengacu pada Islam yang menganut rukun Iman dan Islam kaum ahlussunnah wal jama’ah memiliki tiga unsur utama, yaitu Kalam (teologi) Asy’ariyah; Fikih Syafi’i, meski juga menerima tiga mazhab fikih Sunni lainnya; dan tasawuf Al-Ghazali.

Ortodoksi Islam Nusantara ini berbeda dengan ortodoksi Islam Arab Saudi yang hanya mengandung dua unsur yakni Kalam (teologi) Salafi-Wahabi dan Fiqih Hambali. Tasawuf ditolak ortodoksi Islam Arab Saudi karena dianggap mengandung banyak bid’ah yang sesat. Sedangkan karakter Islam Nusantara adalah Islam Wasatiyah (moderat) yang representasi paling sempurnanya adalah Islam Indonesia yang inklusif, akomodatif, toleran dan dapat hidup berdampingan secara damai dengan umat lain.

Dengan demikian, Islam Indonesia adalah model sempurna Islam Nusantara dengan karakter moderatnya. Karena hal itu pulalah Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Juni 2015 lalu mendorong semua organisasi dan universitas Islam untuk menggagas pendidikan Islam Moderat di Indonesia. Yaitu pendidikan Islam yang mengajarkan kedamaian, kerukunan dan dapat hidup berdampingan dengan agama lain. Yang tidak hanya plural namun juga rahmatan lil al-alamin, serta perlunya sebuah perguruan tinggi Islam yang moderat.

Pertanyaanya, apakah pendidikan Islam di Indonesia saat ini belum dipandang moderat sehingga perlu dibangun sebuah perguruan tinggi islam moderat? mengingat dalam sejarah panjang masuknya Islam ke wilayah Nusantara penuh kedamaian. Baru satu Dasawarsa lalu saja itu mulai berubah tepatnya setelah memasuki era reformasi 1998. Saat itu merupakan prakondisi bagi munculnya berbagai kelompok gerakan Islam “Baru” yang berada di luar kerangka mainstream Islam Indonesia yang dominan, semisal Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Al Irsyad, Al-Wasliyah, Jamiat Khair, dan sebagainya.

Kelompok keagamaan Islam seperti Al-Ikhwanul Muslimin (gerakan Tarbiyah) dari Mesir, HTI dari Lebanon (Timur Tengah), Salafi dari Saudi Arabia, Syi’ah dari Iran, dan Jama’ah Tabligh dari India/Banglades merupakan representasi generasi baru gerakan Islam Indonesia. Gerakan-gerakan tersebut oleh Ahmad Syafi’I Mufid disebut sebagai gerakan Transnasional, yaitu kelompok keagamaan yang memiliki jaringan internasional dan datang dengan membawa paham keagamaan (ideologi) baru dari Negeri Sebrang (Timur Tengah) yang dinilai berbeda dari paham keagamaan lokal yang lebih dahulu eksis. Mereka menanamkan ideloginya melalui Lembaga Pesantren, Perguruan Tinggi atau Kampus-Kampus, Majelis Taklim, Lembaga Amil Zakat, Infak dan Sedekah. Sejak saat itulah berbagai peristiwa yang disebut radikalisme, terorisme sering dan selalu menghantui Indonesia.


Ideologi

Gagasan untuk memunculkan pendidikan Islam moderat kiranya mendapatkan momentum yang tepat saat gerakan Keagamaan transnasional itu mulai menancapkan ideologinya melalui lembaga-lembaga pendidikan yang mereka dirikan. Untuk menentukan suatu lembaga pendidikan Islam berideologi Islam Moderat adalah menurut Masdar Hilmy memiliki ciri-ciri (1) menganut ideologi non-kekerasan dalam menyebarkan Islam; (2) mengadopsi cara hidup modern dengan semua turunannya, termasuk ilmu pegetahuan, teknologi, demokrasi, hak asasi manusia, dan sejenisnya. Kemudian (3) cara berfikir rasional; (4) pendekatan kontekstual dalam memahami Islam; (5) penggunaan ijtihad untuk membuat pendapat hukum dalam kasus yang tidak ada pembenaran secara eksplisit dalam Al Qur’an dan Sunnah; dan (6) memiliki sikap-sikap: toleran, harmoni, dan kerja sama di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda.


Lembaga Pendidikan

Lembaga pendidikan yang dikelola Muhammadiyah dan NU adalah contoh yang dapat dijadikan model. Tanwir Muhammadiyah di Bandung pada 2012 telah memutuskan tentang ideologi Muhammadiyah yaitu “ ideologi Islam yang berkemajuan yang memandang Islam sebagai din al-hadarah”. Ideologi berkemajuan ini ditandai dengan beberapa karakter, salah satunya adalah Muhammadiyah bercorak Reformis-Modernis dengan sifat wasatiyah (tengah – moderat).

Dalam pengejawantahanya hal itu terlihat dari kurikulum mata pelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan. Menurut Mohammad Ali menjadi “identitas objektif” yang diterima publik di luar Muhammadiyah dengan lima identitas: pertama, menumbuhkan cara berfikir tajdid/inovatif. Kedua, memiliki kemampuan antisipatif, ketiga, mengembangkan sikap pluralis. Keempat, memupuk watak mandiri, kelima mangambil langkah moderat. Dengan lima identitas itulah lembaga pendidikan Muhammadiyah menjadi penyemai Islam moderat di Indonesia.

Sementara di NU, Ketua Pengurus Pusat LP Ma’arif NU, menyatakan bahwa NU bermaksud mengembangkan apa yang dikonsepsikan sebagai “SNP-Plus” yaitu memiliki Standar Nasional Pendidikan (SNP) ditambah (plus) standar kearifan lokal ke-NU-an. Standar kearifan lokal itu meliputi Tasamuh (toleransi), Tawasut (moderat), Tawazun (seimbang), dan I’tidal (tegak). Inilah “SNP-Plus” yang menjadi kekhasan LP Ma’arif NU dan sekaligus menjadi standar mutu Ma’arif-nya.

Dengan demikian, Muhammadiyah dan NU memiliki gagasan untuk mencanangkan pendidikan Islam moderat melalui perjuangan teologis-kultural masing-masing. Sedangkan Islam Indonesia dewasa ini memiliki banyak varian ideologi radikal. Dan pertarungan ideologi ini pun terjadi dalam kancah Lembaga Pendidikan Islam. Sehingga disinilah letak perlunya menggagas pendidikan Islam Moderat bagi Islam Nusantara.

Essay ini pernah dimuat di Harian Solopos, 27 Juli 2015.