Kepemimpinan dalam Tembang Gundul Gundul Pacul

Oleh: Abdul Ghofur, S.Pd.I.
(Staf Akademik FITK IAIN Surakarta)

 

#banggaiainsurakarta

Sungguh ironis, pemberitaan media di awal tahun 2018 diwarnai berbagai kasus korupsi yang menimpa para pejabat publik. Misalnya beberapa kepala daerah yang tersangkut dan terciduk KPK melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT). Di antaranya Imas Aryumningsih (Bupati Subang), Marianus Sae (Bupati Ngada, NTT), Rudi Erawan (Bupati Halmahera Timur), Zumi Zola (Gubernur Jambi), Nyono Suharli Wihandoko (Bupati Jombang), dan sederet nama pejabat publik lainnya.

Padahal bukankah para pejabat publik tersebut diberikan mandat oleh rakyat untuk mengemban amanah sebaik-baiknya, tapi mengapa yang terjadi malah pagar makan tanaman. Kepercayaan rakyat seakan termentahkan, kampanye yang berapi-api, janji-janji manis, pendekatan yang intens, seakan semua hanya isapan jempol belaka. Mungkinkah ini dilatarbelakangi pengembalian uang kampanye yang tentu tidak sedikit ketika pencalonan?

Kepemimpinan yang amanah, jujur, dan bertanggungjawab menjadi barang mahal di republik ini. Para pemuka atau meminjam istilah Ki Hajar Dewantara para pangarsa bukankah seharusnya ing ngarsa sung tuladha, memberikan contoh kepada masyarakat. Lalu kalau tindak korupsi yang dicontohkan, apa jadinya masyarakat nanti. Ke mana kepercayaan yang telah diamanatkan? Maka kiranya cocok dengan pepatah yang mengatakan guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Jika pemimpinnya sudah salah kaprah, maka masyarakatnya tentu lebih parah lagi.

Dalam konteks masyarakat Jawa, jauh-jauh hari para leluhur sebenarnya sudah memberikan panduan, rambu-rambu, atau pathokan (pedoman). Panduan tersebut diberikan melalui kearifan lokal masyarakat Jawa. Sebagai masyarakat yang menyukai simbol-simbol dan pasemon (perumpamaan), maka pedoman tersebut diselipkan dalam berbagai hal, seperti melalui filosofi benda, tembang (lagu), geguritan (puisi), parikan (pantun), paribasan (peribahasa), dan lainnya.

Termasuk kaitannya dalam menginternalisasi karakter kepemimpinan yang ideal masyarakat Jawa menggunakan pendekatan tembang (lagu). Di antaranya yang masyhur adalah tembang Gundul Gundul Pacul yang berasal dari Jawa Tengah. Sekilas tembang tersebut terdengar seperti tembang dolanan (lagu permainan) pada umumnya. Anak-anak sering menyanyikannya di sela-sela bermain bersama teman sejawatnya. Namun sebenarnya tembang tersebut memiliki makna yang dalam sebagai bekal menjadi sosok pemimpin yang ideal. Lagu ini dinisbatkan kepada R. C. Hardjosubroto sebagai penciptanya, tetapi pendapat lain ada yang menyebutkan dibuat oleh Sunan Kalijaga, penyebar Islam di tanah Jawa.

Adapun lagu tersebut secara lengkap sebagai berikut:

Gundul gundul pacul-cul, gembelengan (2x)

Nyunggi nyunggi wakul-kul, gembelengan (2x)

Wakul ngglimpang segane dadi sak ratan (2x)

Lagu yang terdiri dari tiga baris tersebut dapat dijelaskan, pertamagundul artinya kondisi kepala tanpa rambut (plontos, botak). Sedangkan kepala melambangkan kehormatan dan kemuliaan seseorang, sehingga jika kepala seseorang dijitak betapa bukan main marahnya, karena di situ terletak kehormatan seseorang. Adapun rambut sebagai lambang mahkota, sebagai pelengkap keindahan kepala. Di sini dapat dipahami bahwa gundul berarti kehormatan, kemuliaan yang tanpa mahkota.

Pacul atau cangkul merupakan peralatan yang lekat dengan kehidupan agraris masyarakat Indonesia. Cangkul merupakan alat sederhana terbuat dari lempeng besi segi empat yang digunakan untuk mengolah tanah. Cangkul sebagai simbol kesederhanaan dan kesahajaan, sifat yang hendaknya dimiliki oleh seorang pemimpin.

Pacul diartikan papat kang ucul (empat yang lepas) artinya kemuliaan seseorang akan sangat tergantung kepada empat indera, yaitu penggunaan mata, telinga, hidung, dan mulut. Jika empat hal itu lepas, maka berarti lepaslah kehormatannya. Pacul juga dimaknai ngipatake barang sing muncul. Artinya membuang barang yang timbul, muncul, atau yang tidak selaras. Maksudnya membuang jauh-jauh pikiran dan perbuatan yang buruk, jelek, atau jahat.

Adapun gembelengan artinya besar kepala, sombong, sembrono, dan tidak serius dalam menggunakan kehormatannya. Banyak pemimpin yang merupakan publik figur lupa bahwa dirinya sesungguhnya mengemban amanah rakyat. Dipundaknya disandarkan sejuta permasalahan rakyat yang memerlukan solusi pemecahan.

Pada bait pertama lagu ini mengandung makna seorang pemimpin yang lupa bahwa dirinya mengemban amanah rakyat. Namun, dirinya malah menggunakan kekuasaan, kedudukan, dan kehormatannya untuk berbangga-bangga diri, untuk nampang di antara manusia dan menganggap kekuasaan itu karena kecerdikan dan kepandaiannya.

Keduanyunggi wakul berarti membawa bakul (tempat nasi) di atas kepala. Bakul merupakan simbol kesejahteraan rakyat. Di dalam bakul terdapat kekayaan negara, sumber daya alam, pajak, dan sebagainya. Di sini terlihat bahwa kepala yang merupakan kehormatan berada di bawah bakul yang notabene adalah kesejahteraan rakyat.

Namun, faktanya banyak pemimpin yang lupa bahwa di atas kepalanya terdapat bakul, terdapat kesejahteraan rakyat yang harus diperjuangkan. Kecenderungan memperkaya kaya diri, hasrat ingin eksis, dihormati dan disegani menjadikan para pemimpin sekarang lupa diri atau “pura-pura lupa” terhadap amanah yang diembannya.

Bait kedua lagu ini menekankan bahwa kedudukan para pemimpin adalah di bawah bakul rakyat. Posisi pembawa dan pemilik bakul tentu lebih tinggi pemiliknya. Pembawa bakul merupakan pembantu pemiliknya, pemimpin adalah tangan panjang eksekutor kepentingan rakyat. Namun, ternyata masih banyak pemimpin yang gembelengan, melenggak-lenggokkan kepalanya dengan sombong dan bermain-main.

Ketigawakul ngglimpang artinya bakul yang diletakkan di atas kepala tadi jatuh. Kemudian segane dadi sak ratan, artinya nasi yang berada dalam bakul tadi tumpah dan berceceran ke jalan (ke mana-mana). Jika pemimpin gembelengan dalam menjalankan amanah, sumber daya akan tumpah ke mana-mana. Sumber daya tidak mampu terdistribusikan dengan maksimal dan optimal. Sehingga memunculkan berbagai macam kelas dan kesenjangan sosial yang semakin tajam.

Adapun nasi yang telah tumpah di tanah menjadi kotor dan tentu tidak dapat dimakan lagi. Sehingga kepercayaan rakyat pun luntur, amanah yang diemban telah gagal dan tidak bisa dipertahankan. Kepemimpinannya menjadi sia-sia dan tidak memunculkan kemaslahatan.

Pada bait ketiga ini menekankan bahwa seorang pemimpin yang gembelengan dalam menjalankan amanah yang terjadi adalah kemadharatan. Kepercayaan yang diberikan bukan sebagai wahana untuk pengabdian, tetapi malah menimbulkan permasalahan dan polemik baru.

Makna yang terkandung dalam lagu tersebut secara keseluruhan merupakan pepeling (peringatan) bahwa menjadi seorang pemimpin dalam menerima amanah (nyunggi wakul) agar tidak sembrono (gembelengan), tidak seenaknya sendiri. Karena akan mengakibatkan seluruh tatanan dan aturan masyarakat menjadi rusak, memunculkan kemadharatan, dan kondisi negara menjadi tak terkendali.

Sungguh luar biasa wewarah (ajaran) yang terdapat dalam lagu Gundul Gundul Pacul. Sejak dini anak telah dididik untuk memiliki karakter kepemimpinan melalui tembang dolanan. Seperti dilansir sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id bahwa salah satu kriteria pemilihan lagu untuk anak adalah lagu tersebut memiliki amanat atau pesan. Sehingga amanat tersebut akan terpatri serta membantu dalam pembentukan dan internalisasi karakter anak ketika dewasa kelak.

Melihat kontestasi politik di tahun politik 2019 yang semakin memanas ini, maka para calon kepala daerah, calon pemimpin hendaknya bernostalgia ke masa anak-anak. Menyanyikan kembali lagu Gundul Gundul Pacul, sembari menyelami maknanya dan mewujudkannya dalam praktek kepemimpinan di dunia nyata. Menjadi pemimpin yang amanah dan tidak sembrono, sehingga terwujud masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera serta minim dari tindak KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme). Semoga.