Ketupat dan Hidangan Pertaubatan

Eko Nur Wibowo

Eko Nur Wibowo
Mahasiswa Bidikmisi 2015 Jurusan Pendidikan Agama Islam

Ketupat memiliki makna tak biasa, namun mendalam. Mulai dari segi arti kata sampai dengan unsur-unsur bahan pembuatnya, semua memiliki sebuah makna. Ketupat, dengan demikian bukanlah sekedar hidangan biasa.

Dari sisi bahasa, kupatan (Bahasa Jawa) berasal dari kata kaffatan (bahasa Arab) yang memperoleh perubahan bunyi dalam ucapan; seperti halnya salama (Bahasa Arab) menjadi selamet (Bahasa Jawa). Secara istilah, kupatan diartikan sebagai simbol berakhirnya bulan puasa dan menandai kesempurnaan di dalam kehidupan individu dan masyarakat.

Ketupat memiliki sejarah kelahiran. Ketupat lahir dari sebuah pergulatan kebudayaan pasisir. H. J. de Graaf, dalam Malay Annal of Semarang and Chrebon, menyebutkan bahwa ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak saat Raden Fatah berkuasa. De Graaf memandang secara antropologis, ketupat berfungsi sebagai identitas budaya pesisiran; selain karena pohon kelapa memang banyak tumbuh di dataran rendah.

Ketupat dibungkus dengan janur. Janur merupakan daun pohon kelapa. Janur dalam bahasa Arab ja’a a an-nur bermakna “telah datang cahaya” sedangkan masyarakat Jawa mengartikan janur dengan “sejatine nur” (cahaya). Secara metaforis dapat dipakai untuk merujuk keadaan suci manusia setelah mendapatkan cahaya selama Ramadhan.

Pembuatan selongsongan ketupat memiliki kerumitan dan ketelitian. Dari kerumitan itu, diperoleh makna bahwa manusia memiliki beragam kesalahan. Ketika ketupat dibuka di dalamnya terkandung nasi putih. Nasi tersebut mencerminkan sebuah kesucian hati setelah memohon ampunan dari segala kesalahan.

Kupat Santen“, Kulo Lepat Nyuwun Ngapunten. Kupat diimplementasikan dengan adanya pengakuan kesalahan. Pada orang Jawa ngaku lepat ini diiringi dengan prosesi sungkeman. Prosesi sungkeman yakni bersimpuh di hadapan orang tua seraya mengiba maaf. Sungkeman mengajarkan pentingnya menghormati orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan dari orang lain, khususnya orang tua.

Saling bersalaman saat berjumpa dan memohon maaf atas segala kesalahan yang terjadi. Kebiasaan berkunjung dan bersalaman ini bisa dijelaskan melalui frase ngaku lepat “mengaku bersalah”. Kata ini menuntun kita menghilangkan rasa benci, tersinggung, dan instropeksi diri agar bisa saling memaafkan antarsesama. Ketupat membimbing manusia pada fase pemahaman paling ultim tentang hakikat manusia.

Kupat menjadi sebuah simbol pertaubatan, merajutkan kembali silaturahmi antar sesama manusia. Kupat sebagai pertaubatan diungkapkan dalam Bulan Tertusuk Lalang (1982), Akan berdosa  membelah ketupat in/ Beras-beras kasih, beras-beras rindu telah bersetubuh dalam rimba sanubari/ Hingga air sungai dari bukit azali akan sampai ke muara ketupat ini, akan bisa dibelah tapi tak dengan pisau dunia//.

Ketupat yang berarti laku papat selalu melekat dengan empat tindakan dalam perayaan lebaran. Lebaran bermakna usai, menandakan berakhirnya waktu puasa. Kata lebar berarti pintu ampunan telah terbuka lebar. Sedangkan jika dihubungkan dengan luberan maka bermakna meluber atau melimpah. Lebaran menjadi sebuah simbol ajaran islam yang peduli terhadap sesama dengan mengeluarkan zakat fitrah dan sedekah di lebaran ini.

Lebaran juga berasal dari leburan yang berarti melebur. Pada momen lebaran, dosa dan kesalahan kita akan melebur habis karena setiap umat Islam dituntut untuk saling memaafkan satu sama lain.Sementara apabila dihubungkan dengan kata laburan, diasosiakandengan labur atau kapur. Kapur adalah zat yang biasa digunakan untuk penjernih air maupun pemutih dinding. Maksudnya, supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batin satu sama lain setelah saling memaafkan tersebut

Ketupat akhirnya dibelah dengan penuh ucapan syukur dan penuh kesadaran. Pembelahan ketupat tidak memakai pisau sembarangan. Pisau untuk membelahnya berbeda dengan pisau dunia. Pisau ini khusus dan datangnya tidak dari dunia. Itulah pisau pertaubatan seorang manusia di hari lebaran. Sebuah kualifikasi moral dan kemanusian yang telah mendapatkan penyucian, tidak terukur oleh manusia karena sifatnya ilahiyah.

Pertaubatan sendiri bermula dari adanya sebuah pengakuan kesalahan. Selain itu juga terdapat unsur untuk minta maaf dan menyesali perbuatan yang telah dilakukan serta berusaha untuk tidak mengulangi kesalahannya kembali. Kupat pun hadir untuk merajut kembali tali silaturahmi sesama manusia.

Di setiap lebaran, tali silaturahmi kembali dirajut bak anyaman daun kelapa sebagai pembungkus kupat. Bagian-bagian yang masih longgar dikuatkan agar menjadi rapat, sehingga  beras yang dimasukkan tidak keluar. Hubungan antartetangga dan kerabat yang agak longgar, di hari lebaran kembali disambung. Satu sama lain saling menyambung dan bertandang ke rumah untuk menyambung rasa. Limpahan rahmat pun berkumpul dan menyatu di dalamnya.

Pemaknaan ketupat menjadikannya sebagai budaya yang luar biasa dan tak tergantikan. Memang ada gambar ketupat di email, mms, bbm maupun aneka jejaring sosial lainnya.  Akan tetapi, menyantap ketupat tidak bisa secara virtual. Ketupat mengundang kita untuk hadir dan bertatap muka saling bercerita.  Ketupat menghantarkan manusia untuk saling memaafkan, mengakui sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan dan senantiasa untuk merekatkan silaturahmi dalam kehidupan.