LHS dan Ide Rekonstruksi Pemahaman Sejarah Perang dalam Islam

Prof. Dr. H. Mudofir, S.Ag., M.Pd -Rektor IAIN Surakarta

Evaluasi Pelaksanaan SPAN-UMPTKIN 20-22 September di Belitung sangat istimewa. Bukan karena lokasinya yang indah, tetapi juga karena momen kebersamaan dengan Menteri Agama beserta ibu di penghujung jabatan beliau pada periode pertama Pemerintahan Jokowi-JK. Hadir dalam acara ini, selain Bapak Menteri dan ibu juga bapak Dirjen Pendis dan Direktur Diktis.

Dalam pidato tanpa teks selama lebih dari 1 jam, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (LHS) dengan sangat spiritual dan lepas bicara soal makna evaluasi, input mahasiwa dan dosen dari umum, isi perang dalam buku-buku sejarah, masa depan prodi-prodi agama di lingkungan PTKIN, dan langkah-langkah yang seharusnya diambil serta diantisipasi.

Berbicara setelah Dirjen Pendis, Kamaruddin Amin, yang menyoroti perlunya UIN masuk dalam jajaran 500-1000 World Top Universities dan belum massifnya mahasiswa asing di lingkungan PTKIN sebagai alat promosi Indonesia di dunia, Menteri LHS menghimbau agar evaluasi ini bukan hanya infografis angka-angka tapi juga deskripsi mendalam tentang input, prodi-prodi yang mati, dan peran lulusan bagi pembangunan bangsa. Hal ini dilakukan untuk mencapai gambaran besar tentang masalah dan solusi pendidikan Islam yang efektif dan berkualitas di masa depan. Bukan pengulangan dan rutinitas yang involutif atau jalan di tempat serta terisolasi dari ledakan-ledakan perubahan.

Menteri LHS menegaskan agar pada ujungnya produk dari PTKIN bukan saja menjadi saintis, ilmuwan, tapi juga yang lebih penting menjadi agen moderasi beragama di masyarakat. Kata ‘moderasi beragama’ yang berulang-ulang diucapkan Menteri LHS punya makna magis dalam konteks Indonesia modern dengan jumlah penduduk lebih kurang 280 juta. Betapa bahayanya jika moderasi beragama lemah, maka virus radikalisme akan membubarkan mimpi-mimpi Indonesia menjadi negara maju dan modern karena diporakporandakan oleh pertikaian antar suku, agama, dan kelompok. Jadi, dengan Menag LHS mengulangi kata ‘moderasi beragama’ tanpa bosan mengandung pesan bahwa ini bukan persoalan sepele. 

Menag LHS, misalnya, menyinggung soal fenomena hijrah dan muatan perang dalam buku-buku sejarah di lembaga-lembaga pendidikan. Soal buku-buku sejarah, misalnya, perlu rekonstruksi isi dan pemahamanya, utamanya dalam sejarah perang. Titik tekannya untuk membangun karakter peradaban dan bukan untuk menampilkan nilai-nilai negatif perang dalam bacaan manusia modern yang telah beralih ke semangat perdamaian serta kerjasama.

Saya setuju dengan ide rekonstruksi pemahaman sejarah perang dalam sejarah Islam dari Menteri LHS yang nampaknya kini viral dan kontroversial. Ini justru sebuah keniscayaan dan hal biasa. Menteri Agama Munawir Sadzali pernah mengusulkan gagasan reinterpretasi ajaran Islam terkait hukum waris dengan konteks budaya Indonesia; Cak Nur dengan isu sekularisasinya; Dawam Rahardjo cs dengan pembaruan Islamnya; dll.

Setiap bangsa melalui sejumlah elitnya untuk kepentingan penyelarasan konteks-konteks kebangsaan, boleh melakukan rekonstruksi-rekonstruksi yang perlu. Agar tujuan-tujuan beragama sejalan dengan tujuan-tujuan-tujuan pembangunan tanpa melanggar esensi-esensinya.

Bangsa Turki, Mesir, Iran, Maroko, dan juga Indonesia telah menyesuaikan praksis-praksis Islam yang tidak sama dengan kebudayaan bangsanya. Ada budaya ribuan tahun sebelumnya yang telah mendahului Islam dan ribuan tahun lagi di masa depan. Di dunia yang makin terhubung berkat teknologi internet, perang tidak lagi jadi solusi. Perang telah dilihat sebagai sesuatu yang mengerikan dan tidak pantas ada dalam peradaban modern. Di jaman modern, kata Yuval Noah Harari, manusia telah berevolusi ke arah kerja sama melalui konsensus-konsensus hukum dan moral. Tak heran jika kini gula lebih banyak membunuh umat manusia daripada bubuk mesiu—senjata perang.

Singkatnya, agar DNA-DNA cinta damai dan saling menyayangi di antara umat manusia, khususnya generasi muda Indonesia tumbuh subur, maka narasi-narasi anti-perang, belas kasih (compassion), kerjasama, kepedulian, dan lain-lain terus-menerus disebarkan dalam kurikulum-kurikulum—termasuk sejarah Islam. Saya memahami bahwa moderasi beragama merupakan sebuah proyek besar dan berkelanjutan. Moderasi beragama, karena itu, merupakan gerakan kebudayaan dan gerakan pendidikan.

Saya teringat karya Edward Said ‘Orientalism’. Karya ini menjelaskan Barat mengkonstruksi Timur (bangsa-bangsa Timur non-Barat) melalui karya-karya fiksi, puisi, dan narasi-narasi sejarah sedemikian rupa sehingga Barat merasa legal menjajah Timur. Timur ditafsirkan, didefinisikan, dan dikerangkeng dalam persepsi-persepsi Barat. Timur adalah karir bagi Barat. Ide yang ditangkap dari karya Said adalah narasi-narasi itu dapat mengubah sebuah pandangan dunia dan menggerakannya dalam prilaku-prilaku tertentu—meski dalam kasus Barat menghasilkan penaklukan-penaklukan (kolonialisme) Barat atas Timur. 

Demikian pula bangsa Jepang. Menurut Susy Ong dalam karya Kaikatsu Kaizen: Reformasi Pola Hidup Bangsa Jepang 2019 menyatakan bahwa Jepang maju bukan karena tradisi-tradisinya. Tradisi dan budaya asli Jepang sebelum tahun 1868 sangatlah rendah, kotor, jorok, boros, tidak memakan daging, perempuan dan laki-laki mandi bersama-sama, membuang sampah sembarangan, dan lain-lain. Perkenalannya dengan Barat melalui buku-buku yang diterjemahkan mengubah segalanya. Karya Victor Frankl ‘Men’s Search of Meaning’, ‘Self Help’, dan karya-karya Benyamin Franklin menginspirasi Kaisar dan rakyat Jepang hingga maju seperti sekarang. Kesimpulan buku Susy Ong, kemajuan dan kedisiplinan Jepang adalah hasil dari rekayasa sosial yang panjang dan bukan hasil dari tradisi otentik Jepang.

Dengan mencontoh paling tidak dua kasus di atas, maka ide rekonstruksi pemahaman sejarah perang oleh Menteri LHS dalam kerangka proyek moderasi beragama sangatlah relevan dan tepat. Tujuannya bukan menghilangkan fakta, tapi menyusun pola-pola pikiran dan tindakan belas kasih dan cinta damai. Perang, pada dasarnya, adalah kelanjutan dari kesepakatan yang gagal. Karena itu, perang bisa dicegah oleh konsensus-konsensus.

Yuval Noah Harari sangat tepat ketika mengatakan we created myths to unite our species—manusia menciptakan mitos-mitos untuk menyatukan sesamanya. Menurut Harari, hukum, undang-undang, mata uang, perjanjian-perjanjian, konstitusi-konstitusi, dan bahkan ‘agama-agama’ adalah mitos-mitos yang dapat mengikat persatuan. 

Jadi, memproduksi narasi-narasi damai, belas kasih, dan sejenisnya melalui kurikulum serta buku-buku sejarah merupakan bentuk rekayasa sosial yang relevan dengan konteks bangsa kita yang paling majemuk di dunia. 

Tulisan pernah diterbitkan di https://kemenag.go.id