MARI MENGAKHIRI BERBICARA ATAS NAMA TUHAN

Oleh: Mudhofir Abdullah

 (Rektor Institut Agama Islam Negeri Surakarta)

Kasus bom Surabaya dan Sidoarjo beberapa waktu yang lalu sungguh sangat menyentak hati nurani kemanusiaan kita. Bagaimana bisa satu keluarga yang terdiri dari empat anak dan dua orang tua sepakat melakukan bom bunuh diri? Kesepakatan demi apa? Konon, setelah salat subuh, beberapa jam sebelum melakukan bom bunuh diri di tiga gereja mereka saling berpelukan dan berpesan satu sama lain. Mereka sadar sebentar lagi akan mati menuju “surga”. Fenomena apakah ini?

Kita miris karena bom bunuh diri ini mereka anggap sebagai perintah Tuhan dan melibatkan istri serta anak-anaknya. Mereka sepakat karena dalam keyakinan mereka inilah yang paling benar dan paling absolut. Tak ada kebenaran lain. Umat beragama seluruhnya salah dan tak perlu didengar. Mereka tertutup. Mereka menjalani hidup sehari-hari dengan kepercayaan diri yang dibangun oleh delusi tentang kebahagiaan akhirat. Anak-anaknya pun tak disekolahkan. Anak-anak mereka terisolir dan hanya menerima ajaran satu arah—yakni dari orang tuanya saja. Sejumlah video tentang perang di Suriah, korban-korban anak-anak palestina oleh Israel diperlihatkan berulang-ulang. Ajaran tentang jihad begitu melekat dan menjadi informasi tunggal tanpa perbandingan telah mengisi ruang-ruang bawah sadar anak-anak mereka. Jadi kesepakatan bulat untuk melakukan “bom jihad” dibangun dari ketertutupan, dari ruang terisolir, dan dari belenggu ajaran qital.

Untuk Indonesia, bom bunuh diri Surabaya dan Sidoarjo merupakan modus baru. Ada anak-anak yang dilibatkan. Anak mereka sendiri yang merupakan darah dagingnya dan selama ini diasuh dengan model-model keagamaan tunggal yang tertutup. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana seorang ayah dan ibu kandung tega mengajak bunuh diri anak-anak mereka secara konyol untuk tujuan abstrak. Siapakah yang mengajarkan ini? Ajaran seperti apa yang membuat mereka sangat nekat? Ini kegilaan hidup paling tragis dilihat dari sisi apapun. Bukankah Indonesia selama berdekade-dekade telah mengalami masa tenang, stabil, yang dengan kondisi semacam itu bangsa kita bisa membangun? Alasan apakah yang membuat keluarga itu bertindak sangat putus asa?

Dengan penalaran normal, tindakan keluarga itu sulit untuk dipahami. Mudah-mudahan itu hanya kesalahan individual tentang sebuah ajaran agama, bukan kesalahan kolektif yang secara bersama-sama gagal faham lalu bertindak fatal. Juga mudah-mudahan bukan produk politik untuk mengalihkan isu atau apa pun yang bersifat rekayasa sosial-politik menjelang Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019. Namun begitu, apa pun alasannya tindakan bom bunuh diri tidaklah dapat dibenarkan dan harus dikutuk sebagai kejahatan melawan kemanusiaan.

Apa yang harus dilakukan?

Setiap tindakan bom bunuh diri atau aksi-aksi terorisme tidaklah berdiri sendiri. Ada unsur-unsur yang terkait dan saling memengaruhi. Menurut seorang pakar terorisme ada lethal cocktail atau tiga campuran maut yang saling menopang, yaitu: ada orang yang terpinggirkan, ada penyandang dana, dan ada ajaran yang membenarkan. Tiga unsur itu ada secara bersama-sama pada pikiran para teroris. Jika salah satu unsur bisa dipatahkan, terorisme tak akan terjadi. Nah bagaimana tiga campuran maut itu dapat dipisahkan? Pertanyaan ini menuntut sinergitas antara Negara, masyarakat, dan tokoh agama.

Program-program tentang deradikalisasi seringkali tak menjangkau individu-individu yang tepat. Para calon teroris sudah terlanjur “bersembunyi” dalam imajinasi delusif. Mereka sudah menarik diri dari pergaulan umum dan makin intensif dalam kajian-kajian radikal versi mereka yang seringkali tak terdeteksi. Mereka seperti terpisah dan tercerabut dari akar-akar budaya. Apalagi umat Islam arus utama yang seharusnya merangkul justru melabeli mereka radikal. Terputuslah komunikasi mereka dengan umat Islam mainstream. Komunikasi mereka dipasok melalui media sosial yang seringkali justru memperkuat sikap radikal mereka. Jika demikian, siapa yang sebenarnya ikut melahirkan para teroris ini? Ketidakpedulian kita ataukah ketidakhadiran Negara dalam pikiran mereka?

Saya ingin menegaskan bahwa terorisme adalah masalah kita bersama. Juga menjadi masalah masyarakat dunia. Setiap Negara punya potensi untuk memproduksi teroris. Bahkan Negara itu sendiri bisa bertindak sebagai teroris. Ada istilah state-terrorism atau terorisme Negara. Ketika Amerika menginvasi Irak dalam Perang Teluk I dan II, ia dianggap telah melakukan state-terrorism dan memicu dendam membara anak-anak Irak yang merasa kehilangan keluarga mereka yang dibantai oleh tentara Amerika. Juga kekerasan tentara Israel atas warga palestina yang kini masih berlangsung. Hukum besi sosial berlaku, setiap kekerasan selalu memproduksi kekerasan baru. Konon, sejumlah aksi terorisme di Indonesia seringkali terilhami oleh kekerasan yang terjadi di Timur Tengah. Pertanyaannya apakah bom Surabaya dan Sidoarjo merupakan garis koninum dari peristiwa di Timur Tengah? Ini pertanyaan hipotetis yang belum tentu bisa dijawab secara hitam putih.

Kepolisian Republik Indonesia perlu bekerja keras untuk mengorek mengapa satu keluarga bersepakat melakukan bom bunuh diri yang di Indonesia belum pernah ada contohnya. Ini untuk mendeteksi apakah ada keluarga-keluarga lain yang punya pandangan serupa. Juga untuk mendeteksi apakah ini hanya sebuah puncak gunung es. Situasi kehidupan bangsa kita justru saat ini berada pada stabilitas yang makin mantap dan mestinya tak perlu ada keluarga yang putus asa dalam hidupnya. Mestinya tak ada keluarga yang lebih mencintai kematian, apalagi empat di antaranya masih anak-anak. Kita patut bertanya, jika sebuah keluarga lebih mencintai kematian betapa buruknya kehidupan dunia ini menurut mereka? Namun sejumlah laporan menyebutkan bahwa keluarga pelaku bom bunuh diri di Surabaya tidaklah miskin dan cukup berada. Artinya kehidupan dunia ini buruk sekali bukan karena kemiskinan tapi karena ideologi yang dianutnya. Dan ini membuktikan betapa berbahayanya ideologi atau keyakinan yang bersifat tertutup semacam ini. Saya berharap kasus bom bunuh diri oleh satu keluaga beserta anak-anaknya tidak lagi ada di masa depan. Ini menjadi pelajaran berharga yang membuka mata kita semua.