Masa depan Hukum di Indonesia

Oleh: Ahmad Zia Khakim. S. H.
(Alumni Fakultas Syariah IAIN Surakarta)
#BanggaIAINSurakarta

 

Mengamati perilaku hukum di Indonesia saat ini, memang begitu sulit untuk membayangkan masa depan negeri ini. Cita – cita memberantas korupsi seringkali hanya manis di bibir. Keadilan tidak lagi dijadikan pedoman. Bila kita mahasiswa Syariah yang menjiwai kehukuman, tentu kita turut resah dan kritis melihat penyakit kroni yang sedang dilanda oleh ibu pertiwi ini. Entah kapan tangisan ini akan selesai, Islam Is Relegion Justice (Islam adalah agama yang menjunjung nilai nilai keadilan) tidak membeda – bedakan strata sosial. Banyak koruptor yang belum tertangkap dan melarikan diri. Mereka yang tertangkap begitu mudah mendapatkan keringanan hukuman. Sistem pemerintahan yang memudahkan para pejabat untuk memainkan uang rakyat untuk kepentingan dirinya. Keadilan hukum yang mudah dipermainkan, dan seterusnya merupakan sederet fakta yang semakin menyuramkan wajah masa depan negeri ini.

Nurani para penguasa politik sudah dipertukarkan dengan uang. Ada plesetan sila kita yang pertama bukanlah Ketuhanan yang Maha Esa, akan tetapi Keuangan Yang Maha Esa (sebuah plesetan yang tersebar di masyarakat). Semakin banyak orang percaya bahwa harapan masa depan negeri yang mampu menciptakan kesejahteraan, kecerdasan, rasa aman, damai, keadilan, dan seterusnya adalah mimpi di siang bolong. Politik tidak lagi dibimbing oleh moralitas dan kepentingan bangsa. Politik lebih digerakkan oleh kepentingan pribadi dan golongan yang mematikan kepentingan bangsa. Dengan hasrat politik seperti itu, tidak mengherankan bila kekuasaan tidak lagi melayani kepentingan rakyat.

Kekuasaan justru lebih tunduk (bahkan tak berkutik) di bawah tekanan modal dan pemodal. Menyongsong era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) permasalan POLEKSOSBUD (Politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan) akan jauh lebih komplek. Tidak ada pilihan lain kecuali kita harus bersaing dan berbekal. Memang ada pilihan antara bersaing dan bertahan. Bertahan memang baik, namun hemat penulis bertahan yang paling baik adalah menyerang (logika bermain bola).

Dalam berbagai fakta terlihat begitu mencolok apa yang dapat dilihat bahwa negeri ini banyak dikendalikan oleh penguasa dan pengusaha. Keadilan bahkan bisa di perjual belikan. Koruptor pun bisa diringankan hukumannya bahkan dibebaskan dengan mudah bila ia bisa “mengambil hati” aparatur negara. Dan bila kasus korupsi sudah menjangkiti semangat peradilan di negeri ini, hukum bisa di permainkan sesuka hati. Lalu kita bertanya dengan alasan seperti apa bisa membayangkan masa depan hukum di Indonesia. Semuanya serba suram dan gelap.

Semua kasus hukum di negeri ini bersangkut paut dengan keadilan. Begitu banyak masalah ketaatan hukum di negeri kita menyangkut rasa ketidak adilan ini. Dalam banyak kasus yang menyangkut orang – orang kuat, kita dapat melihat bahwa keadilan sangat sulit untuk ditegakkan. Tentu saja menegakkan keadilan bukan hanya menegakkan hukum, tetapi berhubungan juga dengan moralitas. Hukum harus dijalankan seiring dengan moralitas publik. Menegakkan keadilan memang bak meluruskan benang basah. Namun mitos ini harus kita taklukkan. Semua bisa  kita realisasikan bila semua kalangan dari yang kecil, tua, muda, jelata, penguasa, kaya, miskin, bersepakat melawan ketidak adilan, melawan segala bentuk penindasan, melawan kesewenang-wenangan, bahkan kemungkaran sekalipun.

Praktek di kehidupan kita sehari-hari harus kita cermati, teliti, dan pahami betul. Harus dikawal betul–betul, segala praktek di segala lini. Jangan – jangan ada penyakit yang dilanda hingga hari demi hari harus di cari obatnya.

Hukum dan moralitas ada, tapi sering dianggap tiada. Puluhan undang–undang dan ketetapan di cari–cari sisi lemahnya lalu diperdaya. Yang kuat selalu menang dan yang kecil harus kalah. Salah satu peribahasa yang akrab kita dengar “Hukum di Indonesia ibarat sebilah golok, bawahnya tajam atasnya tumpul”. Maksudnya adalah hukum hanya berlaku bagi kalangan bawah saja tetapi tidak berlaku untuk kalangan atas.

Maraknya praktek tindak pidana korupsi kian hari semakin mengkhawatirkan atas keberlangsungan bangsa ini. Korupsi dilakukan secara berjamaah tanpa ada beban di sanubari para wakil rakyat. Kaidah arab mengatakan Al haqqu Bila nidzomin Yaglibuhul Batilu binidzomin (kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir). Jalaluddin Rumi juga pernah berstatemen bahwa bila orang–orang baik menarik diri dari kehidupannya jangan salahkan orang–orang dzalim yang akan menguasai.

Pendidikan untuk mencerdaskan dan membangun karakter bangsa yang lebih baik justru disalahgunakan sebagai ladang untuk mengeruk keuntungan (komersialisasi pendidikan). Sektor ekonomi dijual ke pihak asing dengan harga murah tanpa memikirkan masa depan nasib  anak cucu bangsa. Lemahnya pertahanan negara menjadikan negara asing mudah melakukan spionase, penyadapan, pelecehan terhadap negara kita. Meminjam istilah Pramoedia Ananta Toer, bahwa Indonesia ibarat rumah kaca yang ditelanjangi oleh siapapun.

Masih hangat di telinga kita, lembaga perwakilan rakyat yang tengah dilanda penyakit kronis dan kritis. Lembaga yang kita percayai justru malah menyakiti dirinya bahkan rakyatnya. Adakah obat yang mampu mengobati penyakit ini sebelum kematian menjemputnya? Tega-teganya para pejabat negeri ini menyakiti rakyatnya sendri. Presiden Soekarno pernah berkat a: “Dahulu kami berjuang melawan penjajah, di kemudian hari kalian akan berjuang melawan bangsamu sendiri”.

Beginilah realita keadilan hukum di negeri ini. Ditegakkan apabila menguntungkan penguasa dan sebaliknya keadilan hukum diabaikan karena dianggap menggangu kepentingan politik penguasa. Ada yang berpendapat bahwa ada dua golongan yang kebal hukum pada zaman sekarang ini, salah duanya adalah  penguasa dan pengusaha. Penguasa kebal hukum karena kekuasannya disalahgunakan dan pengusaha kebal hukum karna uangnya yang dapat mengatur aparatur negara.

Kekuasaan berperan besar melahirkan hukum yang peka terhadap publik. Hukum yang dipercaya sebagai satu–satunya pijakan atas segala perselisihan yang muncul dalam proses berdemokrasi justru disalahgunakan. Hukum bisa dipercaya apabila prinsip kesetaraan dalam hukum (tidak peduli ia kaya atau berkuasa semua mimiliki derajat sama di mata hukum) serta ada komitmen kesederajatan. Dengan faktor–faktor seperti ini, hukum yang dicita–citakan dalam Pancasila dan UUD 1945 akan dapat mewujudkan kemakmuran rakyat Indonesia.