MELEK ENERGI NASIONAL- KUASA PARA MAFIA

Oleh: Dr. H. Mudofir, S.Ag., M.Pd
(Rektor IAIN Surakarta)

(Disarikan dari proses FGD PBNU bekerjasama dengan IAIN Surakarta hadirkan ekonom Faisal Basri, dan pengayaan penulis, Tema “Menegakkan Kedaulatan Energi NKRI”, Sabtu 4 Maret 2017)

Energi nasional kita dikuasai para mafia. Setelah puluhan tahun dikapling-kapling dengan para elit politik dan para komprador asingnya, kini pemerintah sedang getol munculkan UU migas untuk kepentingan nasional. Sayangnya, kata Faisal Basri, deposit migas kita tinggal sedikit yang akan habis dalam 15 tahun untuk minyak dan 37,5 tahun untuk gas. Pemerintah Jokowi sangat serius membenahi migas yang selama ini berputar di antara kelompok elit secara oligarkis, meskipun sulit dan terlambat. Faisal berharap NU sebagai civil society dapat menyorongkan gagasan strategis untuk membantu pemerintah dalam menegakkan kedaulatan energi. Kepentingan nasional harus dilindungi dengan mengawasi kebijakan pemerintah di bidang energi untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Yang menarik, Faisal menyatakan bahwa UUD 1945 sudah tidak memadai lagi ketika menyebut “Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Mengapa? Karena dalam frasa itu tidak menyebut udara. Padahal udara sekarang telah dikapling-kapling kepada sejumlah orang. Apa yang disebut “frekuensi” kini sudah dimiliki beberapa orang saja lewat TV-TV swasta. Siapa yang berhak menguasai frekuensi yang adalah udara terbuka di atas tanah pertiwi? Ini yang tidak banyak orang tahu, bahwa frekuensi adalah milik rakyat. Dan kini telah terbagi-bagi di antara penguasa dan pengusaha tanpa pernah dikritik oleh banyak kalangan. Selanjutnya, Pertamina sebagai satu-satunya perusahaan milik negara juga dipenuhi para mafioso. Migas adalah satu-satunya komoditas yang paling menguntungkan dan telah menjadi darah yang mengalirkan energi pembangunan, termasuk sektor pendidikan. Jika migas hanya mengalir ke kantong-kantong para elit secara oligarkis, maka distribusi pembangunan akan tersendat dan BBM akan terus naik. Tidak ada rumusan, kapan harga migas harus naik dan kapan harus turun. Pemerintah dan Pertamina menyembunyikan rumus itu sehingga sulit untuk dikontrol.

Tambahan lagi, Pertamina tidak menjual saham ke luar negeri (tidak go public) dengan alasan menjaga kedaulatan. Arti kedaulatan bukanlah “memiliki” tapi mengendalikan. Memiliki tanpa pengembangan maka berarti jatuh ke etatisme. Dengan go public Pertamina akan diawasi secara cermat oleh asing yang punya saham maksimal 20%. Ternyata ada agenda tersembunyi mengapa Pertamina tidak go public. Menurut Faisal agar para mafioso bebas “menggerayangi” keuntungan-keuntungan migas yang luar biasa besar. Siapa berani memberantas para mafia yang terdiri dari para elit pesohor partai politik negeri ini? Para elit justru lebih tertarik mempersulit tunjangan guru besar, ketimbang menegakkan benang kusut migas.