Memaknai Kembali Pendidikan

Dewasa ini pendidikan di Indonesia mengalami berbagai kondisi yang mengakibatkan lahirnya generasi yang serba instan, pemisif, dan amoral. Berbagai tindakan tidak terpuji dengan mudahnya dapat dijumpai melalui pemberitaan di berbagai media cetak dan elektronik. Misalnya merebaknya penyalahgunaan narkoba, terjerumusnya pelajar pada praktek prostitusi, tawuran, dan tindakan kriminalitas lainnya. Tidak dapat kita pungkiri banyak pihak yang berspekulasi bahwa ini merupakan bentuk “kegagalan pendidikan”. Sontak publik pun dibuat bertanya-bertanya benarkah pendidikan “telah gagal”?

Dalam UU Sisdiknas telah ditegaskan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan individu yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan. Kesemuanya merupakan bekal yang diperlukan individu untuk mampu hidup di masyarakat, bangsa, dan negara. Melalui pendidikan diikhtiarkan mampu tercipta tatanan masyarakat yang aman dan tenteram.

Sungguh naif bila pendidikan dikambinghitamkan dalam konteks munculnya berbagi tindakan amoral pelajar. Semua telah mafhum bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah mengajarkan kebaikan dan kemaslahatan, apabila tujuan luhur pendidikan belum mampu tercapai, maka evaluasi yang mendalam perlu dilaksanakan untuk membuat solusi aplikatif. Sehingga semua pihak hendaknya berbenah menangani berbagai problem pendidikan tersebut.

Kita ketahui bersama bahwa pendidikan kita masih melulu pada transfer of knowledge semata. Penulis sebagai seorang pendidik di sebuah sekolah menyadari betul bahwa polah tingkah anak sekarang, jauh berbeda dengan anak-anak dahulu. Hal ini dikarenakan pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi dan komunikasi yang pesat mengakibatkan dunia seakan tanpa sekat. Maka pengejawantahan aplikasi tentang keseimbangan aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif perlu ditinjau kembali.

Adalah aspek afektif atau sering disebut sebagai aspek berkenaan nilai, norma, moral, tingkah laku, tata krama atau istilah lainnya perlu mendapat perhatian serius. Jadi sekolah tidak hanya memberikan pengetahuan-pengetahuan semata, namun juga membekali siswa dengan nilai-nilai yang menjadi bekal siswa hidup di masyarakat. Sekolah, utamanya melalui peran guru perlu menjadi contoh dan teladan dalam mempraktikkan nilai-nila karakter bangsa, seperti religius, jujur, disiplin, bersih, etos kerja, kesetiakawanan, dan lainnya.

Namun pada praktiknya, kesibukan guru dalam mengejar selesainya materi pelajaran, terkadang mengesampingkan pentingnya pendidikan nilai ini (baca: pendidikan karakter). Padahal guru memiliki tanggungjawab untuk mengajarkan dan memberikan keteladanan tentang praktik pembentukan karakter positif yang terintegrasi dan terkoneksi pada semua mata pelajaran, tidak hanya agama dan PKn semata. Pendidikan karakter ini diharapkan mampu membentengi siswa secara personal dari berbagai pengaruh negatif globalisasi.

Akhirnya melalui momen Hardiknas 2 Mei 2015 yang jatuh esok hari, mari kita jadikan spirit untuk semakin berbenah memaknai dan menata ulang bangunan indah pendidikan. Kita pahami bersama bahwa pendidikan adalah untuk mewujudkan insan kamil. Sehingga pada akhirnya tercipta kader muda bangsa yang tidak hanya berilmu, namun juga berkarakter. Mampu menjalankan tanggung jawabnya secara individual maupun sosial. Semoga.

[divider]

Artikel ini dimuat pada :

http://edukasi.kompasiana.com/2015/05/02/memaknai-kembali-pendidikan-715457.html