Minat Baca dan Nuzulul Qur’an

Oleh : Triningsih, S.IP.
(Pustakawan Muda IAIN Surakarta)

#BanggaIAINSurakarta

Kondisi minat baca bangsa Indonesia cukup memprihatinkan, dimana Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat baca. Hal tersebut bisa dilihat berdasarkan studi “Most Littered Nation in the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016. Fakta ini didasarkan pada studi deskriptif dengan menguji sejumlah aspek. Antara lain perpustakaan, koran, input sistem pendidikan, output sistem pendidikan, dan ketersediaan komputer.

Padahal salah satu aspek yang penting dalam kehidupan umat manusia adalah membaca. Membaca merupakan syarat utama dalam membangun peradaban suatu bangsa, disamping ilmu pengetahuan dan teknologi. Peradaban Yunani dimulai dengan Iliad karya Homer pada abad ke-9 sebelum Masehi dan berakhir dengan Kitab Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton dan berakhir dengan filsafat Hegel. Begitu pun dengan peradaban Islam yang lahir dengan kehadiran Al-qur’an.

Nuzulul Qur’an

Bulan ramadhan adalah bulan kemuliaan. Didalamnya terdapat peristiwa besar bagi umat Islam. Diantaranya adalah peristiwa Perang Badar pada tahun kedua hijriah, meninggalnya khulafaur rasyidin keempat Ali bin Abi Thalib pada tahun 40 hijriah, kemenangan umat muslim dalam perebutan penguasaan kota Byzantium pada tahun 218 hijriah. Tidak kalah penting dari peristiwa itu semua yaitu peristiwa fenomenal datangnya malaikat Jibril di gua hira’ pada malam 17 ramadhan ketika Rosulullah sedang berkhalwat, dengan membawa ayat 1-5 surat al-‘Alaq yang terkenal dengan nuzulul qur’an. “Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”(QS. Al ‘Alaq: 1-5).

Perintah membaca yang ada pada ayat pertama dan ketiga surat al-‘Alaq tidak hanya menghendaki membaca kalam Allah berupa al-Quran. Juga bukan hanya membaca kalimat yang tersusun dalam sebuah bacaan. Dalam satu riwayat diterangkan bahwa setelah Nabi SAW diperintah oleh Jibril, beliau bertanya “Ma aqra’ ya jibril?” namun pertanyaan tersebut tidak dijawab oleh jibril. Allah SWT menghendaki beliau dan umatnya membaca apa saja. Membaca yang dilandasi dengan ‘bismi rabbika’ (atas nama Allah), sehingga membawa manfaat dan kemaslahatan serta terpilih pula bacaan mana yang baik dan mana yang tidak.

Perintah membaca yang pertama kali diucapkan oleh malaikat Jibril pada Rasulullah juga mengendung pelajaran yang begitu mendalam. Secara filosofis, perintah tersebut mensiratkan bahwa dalam belajar apapun, hendak selalu didahului dengan membaca. Membaca tidak bisa lepas dari kegiatan belajar mengajar. Inilah yang kemudian menjadi percontohan bagi umat manusia, bahwa ilmu itu selalu diawali dengan mengenalinya terlebih dahulu.

Makna Iqra’

Makna  pertama adalah how to read, yaitu bagaimana cara kita membaca Alquran dengan baik dan benar, serta dapat mengkhatamkannya. Meskipun tidak tahu artinya, tapi dapat pahala. Iqra’ yang kedua adalah how to learn, yang berarti tentang bagaimana mendalami Alquran dengan mengetahui artinya, tafsirnya, bahkan takwilnya. Selanjutnya, iqra’ yang ketiga adalah how to understand, yaitu bagaimana kita menghayati kitab Allah tersebut baik secara emosional maupun spiritual. Makna Iqra’ yang keempat atau yang terakhir, yaitu bagaimana memukasyafahkan atau menyingkap tabir-tabir di dalam Alquran.

Jika makna membaca itu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka tidak akan ada lagi survey yang menyatakan bahwa Indonesia peringkat 60 dari 61 negara tentang minat baca.

 

Artikel ini telah dimuat di Surat Kabar Harian BERNAS Kolom Wacana

Edisi: Sabtu Legi, 10 Juni 2017 (hlm.4)