MEMBANGUN MODERASI BERAGAMA DALAM STRUKTUR KURIKULUM PTKI

Oleh: Dr. Imam Makruf, S.Ag., M.Pd
(Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga)
IAIN Surakarta

Moderasi beragama adalah salah satu misi Kementerian Agama yang harus diwujudkan saat ini. Untuk mewujudkan misi tersebut, Kementerian Agama telah mendorong lembaga pendidikan untuk turut ambil bagian di dalamnya. Salah satunya dengan keluarnya Surat Edaran Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Nomor  B-3663.1/Dj.I/BA.02/10/2019 tertanggal 29 Oktober 2019 tentang Edaran Rumah Moderasi Beragama, Dalam edaran tersebut, setiap Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri wajib mendirikan Rumah Moderasi Beragama. Bahkan, saat ini moderasi beragama telah didudukkan sebagai modal sosial dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2020-2024 dan menjadi program prioritas Kementerian Agama dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2020 tentang Renstra (Rencana Strategis) Kementerian Agama Tahun 2020-2024. Hal ini kemudian diturunkan dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Tahun 2020-2024 yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 4475 Tahun 2020.

Berdasarkan data yang dihimpun melalui WA Group Majlis WR & Puket I PTKN pada tanggal 20 Oktober 2020, saat ini terdapat 29 PTKIN baik UIN, IAIN, maupun STAIN yang sudah memiliki atau mendirikan Rumah Moderasi Beragama. Hal ini tentu menjadi bukti adanya gerakan secara secara terstruktur di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Meskipun demikian sampai saat ini belum ada kesepakatan atau keseragaman pola pengembangan rumah moderasi yang ada di PTKIN baik terkait dengan struktur kelembagaannya, program kerjanya, maupun dukungan lain termasuk aspek finansial. Mayoritas PTKIN masih menempatkan Rumah Moderasi Beragama sebagai Lembaga Non Struktural setingkat dengan pusat-pusat studi yang ada di kampus. Sementara jika dilihat dari tuntutan kinerjanya yang begitu besar, semestinya dapat ditempatkan sebagai unit yang lebih besar dan posisinya di tingkat universitas/institut di bawah koordinasi langsung dari Wakil Rektor atau Pembantu Ketua.

Banyak fakta terkait dengan masalah moderasi beragama di Indonesia. Salah satunya hasil riset yang telah dilakukan oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama pada tahun 2019. Riset ini mengkaji tentang dinamika moderasi beragama yang dilakukan oleh negara dengan mengambil fokus 8 (delapan) daerah di Indonesia yang dianggap representatif. Temuan dari riset ini diantaranya adalah mendorong adanya sosialisasi program moderasi beragama; perlunya mengangkat nilai-nilai kearifan lokal dalam penguatan moderasi beragama; dan pelibatan tokoh-tokoh agama, suku, atau kelompok yang memiliki potensi konflik baik secara fisik, ideologi, maupun pemahaman umat beragama. Dalam berbagai media massa sering ditemukan fakta tentang kekerasan yang mengatasnamakan agama. Misalnya adanya pembubaran kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh komunitas atau pemeluk agama tertentu, pelarangan atau pengusiran seseorang dari masyarakat karena beda agama, dan berbagai kasus lainnya. Meskipun hal-hal itu dapat saja dianggap sebagai perilaku oknum, tetapi tentu saja akan berbahaya apabila dibiarkan dan bukan tidak mungkin akan menjadi permasalahan secara nasional.

Pengembangan moderasi beragama di perguruan tinggi dapat dilakukan dengan beberapa skema. Pertama, moderasi beragama menjadi mata kuliah yang diajarkan di perguruan tinggi. Pola ini menempatkan moderasi beragama sebagai sebuah ilmu dan materi yang perlu diajarkan secara formal sebagai mata kuliah wajib baik institusional maupun fakultas. Pola ini bagus diterapkan untuk memberikan kepastian bahwa muatan moderasi beragama benar-benar sampai kepada mahasiswa dan terukur tingkat pemahaman dan capaian pembelajarannya. Namun demikian dengan pola ini, bisa berakibat pada minimnya tanggung jawab dari semua pihak di lingkungan kampus, karena menganggap bahwa moderasi beragama adalah mata kuliah sehingga pengampunya yang memegang tanggung jawab utamanya.

Kedua, moderasi beragama menjadi muatan baik pengetahuan, sikap, maupun keterampilan yang diintegrasikan atau diinternalisasikan pada banyak mata kuliah yang relevan. Dengan demikian moderasi beragama dapat menjadi salah satu chapter atau pokok pembahasan, atau menjadi issu yang dijadikan fokus kajian yang dikaitkan dengan pokok-pokok bahasan pada mata kuliah lain. Misalnya, pada mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, salah satu pendekatan yang diterapkan adalah mengkaji berbagai contoh penerapan moderasi beragama dalam perjalanan sejarah Islam. Pada mata kuliah ilmu kalam, moderasi beragama dapat dijadikan salah satu muatan sikap dan perilaku yang ditanamkan dengan dikaitkan pemikiran-pemikiran para tokoh ilmu kalam, pemahaman yang benar terhadap tauhid, dan sebagainya. Pada mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan dapat dikaitkan dengan pemahaman sikap toleransi beragama dan penguatan wawasan kebangsaan yang tidak ekslusif. Hal yang sama dapat dilakukan pada mata kuliah lain baik mata kuliah ke-Islaman maupun mata kuliah lainnya.

Ketiga, moderasi beragama menjadi lembaga atau unit khusus yang dikembangkan dengan berbagai program yang diberikan kepada semua civitas akademika PT, baik kepada dosen, mahasiswa, maupun para tenaga kependidikan. Dengan demikian moderasi beragama bukan hanya menjadi tanggungjawab sebagian orang di kampus, tetapi menjadi tanggungjawab semua orang sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pola ini menjadikan Rumah Moderasi Beragama menjadi sentral pengembangan moderasi beragama, memberikan pendampingan, layanan aduan, dan juga pengembangan berbagai referensi dan bahan yang dibutuhkan. Pola ini lebih bersifat massif dan sistematis ketika rumah moderasi sudah masuk ke dalam struktur organisasi dan tata kerja (Ortaker) perguruan tinggi. Lingkup kerja dari Rumah Moderasi Beragama tidak hanya untuk kalangan internal perguruan tinggi, tetapi juga memberikan layanan kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan riset, pembinaan, pelatihan, pendampingan, dan sebagainya.

Terlepas dari pola mana yang akan dikembangkan, perguruan tinggi dapat melakukan penguatan moderasi beragama melalui kebijakan pengembangan kurikulum. Struktur kurikulum PTKI berbasis moderasi beragama dapat dibangun dengan pendekatan integrasi dan internalisasi. Dalam kontek pengembangan kurikulum berbasis KKNI dan SNPT, muatan moderasi beragama perlu dimasukkan dalam rumusan sikap, pengetahuan, dan keterampilan khusus sebagai penciri institusi. Dari rumusan tersebut kemudian diturunkan menjadi bahan kajian yang akan dimasukkan menjadi sub pokok bahasan ke dalam beberapa mata kuliah yang relevan sebagai pilar-pilar utamanya. Sedangkan pada mata kuliah lain, tidak harus masuk dalam pokok bahasan, tetapi dimasukkan pada internalisasi nilai-nilai moderasi beragama yang dituangkan dalam Rencana Pembelajaran Semester (RPS). Nilai-nilai ini perlu dituliskan secara eksplisit dalam RPS agar menjadi pengingat dan tidak terabaikan dalam proses perkuliahan. Dengan demikian secara sadar dan terencana, semua dosen pengampu mata kuliah perlu memberikan penguatan nilai-nilai moderasi beragama ini sesuai dengan konteks mata kuliah masing-masing. Pola inilah yang dikembangkan di IAIN Surakarta dengan ditetapkannya Panduan Pengembangan Kurikulum IAIN Surakarta sesuai Keputusan Rektor Nomor 391 Tahun 2020. Pada halaman 37 diberikan format RPS yang memuat penguatan moderasi beragama.

Sebagai konsekuensi dari kebijakan pengembangan moderasi beragama di PT, maka diperlukan adanya penguatan SDM yang memiliki wawasan moderasi beragama secara baik. Strategi penguatan SDM ini harus dilakukan untuk mendukung implementasi kurikulum. Di antara program yang dapat dikembangkan adalah pelatihan, TOT, workshop, riset, diskusi-diskusi, penerbitan/publikasi, dan sebagainya. Untuk itu dibutuhkan pula dukungan kebijakan terkait dengan afirmasi tema-tema riset, publikasi, penerbitan, dan kegiatan-kegiatan lain dalam bidang moderasi beragama. Dalam hal ini, dibutuhkan sinergitas yang baik antar unit kerja di lingkungan perguruan tinggi untuk saling mendukung dalam implementasi kebijakan.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah monitoring dan evaluasi implementasi kurikulum. Monitoring dan evaluasi ini tidak hanya dilakukan secara formal, tetapi juga dapat dilakukan secara informal. Evaluasi formal dapat dilakukan melalui program ujian tengah semester dan akhir semester, atau melalui monitoring terstruktur yang dilakukan program studi maupun fakultas. Sedangkan evaluasi informal dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk mengawal implementasi moderasi beragama di kampus. Misalnya dilakukan oleh pengelola Rumah Moderasi Beragama maupun pimpinan perguruan tinggi. Untuk melakukan monitoring dan evaluasi implementasi moderasi beragama dibutuhkan indikator-indikator keberhasilan yang jelas. Dalam hal ini, rumusan indikator capaian moderasi beragama di perguruan tinggi perlu dirumuskan secara bersama-sama dan menjadi salah satu item pengukuran yang minimal setiap tahun dievaluasi. Misalnya keberhasilan program dilihat dari jumlah atau frekuensi kegiatan bertemakan moderasi beragama, banyaknya mata kuliah yang memasukkan muatan moderasi beragama, banyaknya riset bertemakan moderasi beragama, dan sebagainya. Rumusan ini secara akumulatif kemudian menjadi salah satu item dalam perjanjian kinerja yang ditandatangani oleh pimpinan program studi, fakultas, sampai dengan pimpinan PT.

Dari paparan di atas, maka sesungguhnya program moderasi beragama perlu dirumuskan secara terstruktur dan sistematis sampai masuk pada struktur kurikulum PT agar dapat terwujud secara optimal. Kesadaran dari semua civitas akademik akan urgensi dari moderasi beragama ini perlu ditingkatkan dan didorong dengan adanya kebijakan dan regulasi mulai tangkat nasional sampai perguruan tinggi. Dengan demikian dapat dipahami kenapa visi Kementerian Agama harus diturunkan sampai dengan visi perguruan tinggi untuk menjamin adanya kesinambungan dan keselarasan pencapaian visi secara nasional.