Mendidik Anak dengan Bijak

Dewasa ini, kasus kekerasan terhadap anak di lembaga pendidikan terjadi kembali. Berbagai bentuk kekerasan, mulai dari bentuk kekerasan verbal seperti membentak siswa sampai dengan kekerasan fisik yakni menampar, mencubit bahkan sampai memukul siswa telah menajadi fenomena di dunia pendidikan negeri kita. Kondisi tersebut sudah berlangsung lama, bahkan frekuensinya meningkat seiring dengan meningkatnya agresifitas siswa didik di lingkungan sekolah.

Tindakan kekerasan dalam pendidikan ini dapat dilakukan oleh siapa saja, misalnya teman sekelas, kakak kelas dengan adik kelas, guru dengan muridnya, pemimpin sekolah dengan staffnya, bahkan ada juga dari siswa atau orang tua kepada gurunya. Kekerasan dalam pendidikan ini biasanya disebut dengan istilah corporal punishment, yaitu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang tertentu kepada orang lain atas nama pendisiplinan anak dengan menggunakan hukuman fisik, meskipun sebenarnya hukuman tersebut tidak diperlukan (W.W. charters, 197). Tindak kekerasan tidak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga pendidikan yang seharusnya dapat menyelesaikan masalah secara edukatif. Namun tidak bisa kita tampik, di lembaga ini masih sering terjadi tindak kekerasan.

Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan oleh UNICEF (2015) bahwa 50 persen anak melaporkan pernah di bully-di sekolah. Kita tahu bahwa sekolah merupakan tempat siswa menimba ilmu pengetahuan dan seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi siswa. Kasus-kasus kekerasan tentunya sangat berlawanan dari peran  seorang guru sebagai pendidik, pengajar dan pembimbing. Anak yang menjadi korban kekerasan fisik, seksual, dan emosional kerap menderita konsekuensi jangka panjang. Selain itu, dampak dari kekerasan terhadap anak juga dapat merugikan perekonomian Negara. UNICEF menemukan bahwa biaya yang ditimbulkan akibat kekerasan fisik, seksual dan emosional terhadap anak di Asia Timur dan kawasan Pasifik mencapai hamper  200 miliar  dolar atau hamper dua persen dari penghasilan perkapita  gabungan (www.unicef.org). Kuriake mengatakan guru di Indonesia cukup banyak menilai dengan cara kekerasan masih efektif digunakan untuk mengendalikan  siswa (Phillip, 2007). Padahal cara seperti ini dapat mengakibatkan siswa mengalami trauma secara psikologis, siswa menjadi pendendam, makin kebal terhadap hukuman, dan cenderung melampiaskan kemarahan dan agresi terhadap siswa lain yang dianggap lemah. Jika hal ini dibiarkan maka akan melanggengkan budaya kekerasan di masyarakat. Kekerasan yang dilakukan oleh guru sangat bertentangan dengan pendapat Freedman (Pidarta, 2007:220) yang menyatakan bahwa guru harus mampu membangkitkan kesan pertama yang positif dan tetap positf untuk hari-hari berikutnya. Sikap dan perilaku guru sangat penting bagi kemauan dan semangat belajar anak-anak. Jadi, hukuman yang dilakukan oleh guru akan meberikan kesan negative yang berdampak negative pula terhadap pola belajar anak.

Faktor Kekerasan dan Tindakan Alternatif

Penyebab kekerasan terhadap peserta didik sebenarnya kurang pahamnya guru dan akibat negatif dari kekerasan tersebut. Guru mengira dengan kekerasan peserta didik akan jera karena hukuman fisik.  Seharusnya guru memperlakukan muridnya sebagai subyek, yang memiliki individual differences(Eko Indarwanto, 2004).  Selain itu kekerasan bisa terjadi karena guru sudah tidak memiliki rasa kasih sayang terhadap peserta didik atau dahulu ia  juga pernah diperlakukan dengan keras. Dari segi kurikulum bisa terjadi karena muatan kurikulum hanya menekankan sisi kognitf dan cenderung mengabaikan kemampuan efektif. Sehingga dalam mengajar guru suasananya kering, tidak menarik padahal guru dituntut untuk mencetak siswa yang unggul dan berprestasi. Factor  lain bisa terjadi karena pihak sekolah dan guru kurang tegas maka murid menjadi bebas sehingga tidak mengindahkan peraturan dan norma-norma yang ada di sekolah.

Oleh karena itu perlu adanya kerjasama dengan pemerintah daerah atau setempat untuk membuat standart pendidikan yang baik sehingga murid tidak berani melanggar norma-norma yang ada. Di satu sisi, kita menyadari persamaan semua manusia dan menghormati kebebasan anak didik sama seperti kita menghendaki kebebasan kita sendiri dihormati.

Tindakan tanpa kekerasan bukanlah bentuk usaha untuk mengendalikan yang lain atau penggunaan paksaan terhadap mereka.  Jika kita mencintai anak didik, kita menghormati otonomi mereka untuk membuat keputusan-keputusan mereka sendiri. Kita pasti dapat berkomunikasi dengan mereka, dan kita bahkan dapat menghadapi mereka dengan kehadiran kita untuk memaksa mereka tanpa kekerasan untuk membuat sebuah pilihan, jika kita yakin mereka telah melakukan kesalahan.  Perbedaan yang penting adalah kita tidak memaksa mereka secara fisik atau dengan kasar untuk mencapai apa yang kita inginkan.

Essay ini pernah di muat di harian umum Joglosemar edisi Rabu, 13 Juli 2016