Menyindir Lewat Spanduk

Oleh: Ikke Dewi Pratama, M.Hum.
(Dosen Linguistik Penerjemahan IAIN Surakarta)

Sebuah spanduk peringatan yang dipasang di daerah kelurahan Sumber menarik perhatian saya beberapa waktu lalu. Tulisan di spanduk tersebut cukup menggelitik tetapi di saat bersamaan juga seolah menyerang psikis siapapun yang membacanya. Spanduk yang dipasang di sebuah lahan kosong tersebut berbunyi Saya sudah buang sampah di sekitar sini, kabulkan saya miskin seterusnya Ya Tuhan. Implikasi spanduk ini cukup signifikan terhadap kondisi lahan kosong tempat di mana spanduk tersebut dipasang. Bersih tanpa sampah sedikit pun.

Spanduk tersebut bisa jadi merupakan usaha si pemilik lahan atau orang-orang sekitarnya dalam rangka menjaga kebersihan lahan kosong tersebut. Dalam banyak kasus, masih sering didapati lahan kosong yang sengaja diperuntukkan berbagai pihak untuk membuang sampah. Mereka tidak berpikir ihwaldampak sampah yang dibuang semaunya di lahan yang dianggap tak bertuan dan, lebih parah lagi, tanpa peduli terhadap dampak sosiologis penduduk yang tinggal di sekitarnya, beberapa orang silih berganti membuang sampah di lahan-lahan kosong. Himbauan langsung dengan bahasa wajar sering dipasang di tempat-tempat serupa, misalnya Dilarang membuang sampah di sini atau mungkin dengan mengganti kata dilarang dengan diksi yang lebih halus Mohon tidak membuang sampah di sini. Penggunaan diksi mohon bisa dikatakan sebagai upayapembuat spanduk peringatan untuk menempatkan pembacanya pada “posisi” yang lebih tinggi atau dalam ilmu pragmatik dikatakan sebagai tindakan untuk menyelamatkan “muka” positif lawan tutur (Brown & Levinson, 1978). Harapannya, dengan imposisi yang dihaluskan akibat penggunaan kata mohon, seharusnya berimplikasi bahwa pembaca yang berada pada posisi yang lebih tinggi secara sadar tidak lagi melakukan hal yang dilarang.

Namun demikian, ungkapan-ungkapan langsung, wajar, ataupun yang sudah diperhalus tadi tampaknya belum membuahkan hasil. Upaya ekstrim dengan himbauan bernada sindiran seperti yang terjadi di Sumber tadi barangkali menjadi “terobosan” baru agar himbauan yang tak lagi mempan tidak lagi menjadi media selintas lalu tetapi mampu mempengaruhi psikis pembaca sehingga akan berpikir ribuan kali untuk melakukan hal yang salah dan dilarang.

Spanduk unik nan menggelitik berikutnya terpasang di daerah Kronggahan, Colomadu, Karanganyar. Anda memasuki kawasan wisata seribu lubang #jalanrusak. Berbeda dengan tulisan di spanduk di kelurahan Sumber tadi yang berfungsi sebagai larangan, tulisan di spanduk Kronggahan memiliki dua fungsi: media protes sosial dan peringatan. Bagi warga sekitar dan mereka yang biasa melewati jalur tersebut, spanduk tersebut mewakili rasa prihatin dan dongkol atas kondisi jalan di daerah tersebut. Jika di sekitar Gunung Merapi menawarkan wisata tour dengan mobil Jeep melewati jalanan yang dikelilingi sisa erupsi Merapisementara di sekitar Bromo menawarkan jalanan berpasir yang juga cukup memacu adrenalin, maka jalan di daerah Kronggahan menawarkan “wisata” yang tak kalah menegangkannya, yaitu jalan rusak dengan “seribu lubang” yang pastinya akan membahayakan bagi siapapun yang tak hati-hati melewatinya. Fasilitas umum yang rusak parah dikiaskan sebagai “kawasan wisata” dan dikontraskan dengan fakta “jalan rusak” dengan maksud memberikan protes kepada pemerintah setempat. Bagi pengguna jalan yang tidak terbiasa melalui jalur tersebut, spanduk ini merupakan peringatan yang secara tidak langsung meminta pengguna jalan untuk berhati-hati atau tidak melewati jalan tersebut.

Fungsi dan Peran

Dari dua spanduk di atas dapat dilihat bagaimana bahasa, dengan sifatnya yang dinamis, mampu diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan sindiran bagi sasarannya meski pengolahan tersebut sejatinya menghasilkan tuturan yang tak langsung. Ironisnya, tuturan langsung yang sejatinya diungkapkan dengan maksud agar mudah dipahami dan isinya segera dilaksanakan oleh pembaca justru dianggap tak lagi ampuh dalam menghasilkan apa yang diharapkan.

Penggunaan sindiran semacam ini juga berimplikasi buruk terhadap citra pihak yang disasar. Pada kasus pertama, pembaca dihadapkan pada “urusan Tuhan” yang menggiring pembaca untuk takut jika didoakan jatuh miskin oleh si pembuat spanduk. Jika toh pembaca tidak peduli dan masih nekad membuang sampah di lahan tersebut maka implikasi negatifnya tidak hanya pada kebersihan lahan yang terganggu tetapi juga pada citra dirinya yang tercoreng karena tidak menaati himbauan dan tidak takut Tuhan. Pada contoh kedua, spanduk jalan rusak di daerah Kronggahan secara tidak langsung juga menyerang citra pemerintah setempat yang tak kunjung melakukan perbaikan fasilitas jalan umum.

Spanduk-spanduk bernada sindiran tadi memang lumayan menggelitik tapi toh bukan itu efek yang diharapkan. Spanduk sindiran tadi bukanlah media hiburan sebagaimana komik maupun cerita humor yang biasa kita baca. Kemunculannya pun seharusnya takperlu ada jika komunikasi wajar terjalin dengan baik. Komunikasi wajar seharusnya terjalin jika masing-masing pihak menyadari peran dan fungsi masing-masing dalam kehidupan bermasyarakat. Beragam upaya tentunya sudah dilaksanakan dalam rangka menyadarkan masyarakat terhadap kepedulian lingkungan sekitar, seperti misalnya penerapan Perda Nomor 3 tentang Pengelolaan Sampah yang memberikan sanksi bagi siapa saja yang membuang sampah sembarangan dengan pidana paling lama tiga bulan dan denda maksimal lima puluh juta rupiah. Merujuk pada kasus kedua, kerusakan fasilitas umum juga sudah diatasi dengan adanya bantuan Dana Desa dari pemerintah pusat. Dalam hal ini, pengelolaan dana yang baik dengan mendahulukan fasilitas umum yang menjadi prioritas diharapkan mampu mengurangi keresahan di masyarakat.

Bahasa sebagai alat komunikasi dapat dituangkan dalam berbagai media. Negara pun menjamin kebebasan setiap individu untuk mengutarakan pendapatnya. Dengan budaya timur yang dimiliki bangsa ini, sepatutnya setiap individu menanamkan kesadaran diri akan fungsi dan peran masing-masing dalam bermasyarakat. Diharapkan nantinya, himbauan yang bisa disampaikan dengan santun tak lagi “dimodifikasi” menjadi sindiran-sindiran yang dilakukan secara nyata dan terang-terangan terhadap hal-hal yang seharusnya bisa dimusyawarahkan. Tentu semua tak ingin jika nantinya bermunculan larangan atau himbauan yang dibuat dengan kalimat bernada sindiran atau mungkin spanduk protes sosial yang menjamur di banyak tempat. Jika itu terjadi, nilai kesantunan dan musyawarah yang menjadi ciri khas bangsa ini lambat laun mulai luntur. Harapan akan terciptanya sebuah kehidupan yang nihil permasalahan sosial mungkin menjadi sesuatu yang mustahil. Namun kalau toh hal itu ada, kita tentu berharap segala permasalahan dapat diutarakan dengan bahasa yang santun sehingga tercipta kehidupan yang harmonis. Kesadaran masing-masing pihak dan upaya mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang nyaman diharapkan mampu mengembalikan citra diri bukan hanya bagi masing-masing individu tetapi juga citra bangsa ini.

Artikel ini telah dimuat di harian rubrik GAGASAN, harian SOLOPOS

edisi Sabtu, 18 Maret 2017