Mewaspadai Generasi Baru Ibnu Muljam

Oleh: Abdul Ghofur, S.Pd.I.
(Staf Akademik FITK IAIN Surakarta)


(ilustrasi: metroislam.com)

Masih segar dalam ingatan, kasus penganiayaan yang beberapa waktu lalu (27/01) menimpa salah satu ulama K.H. Umar Basri, pengasuh pondok pesantren Al-Hidayah, Cicalengka, Bandung, Jawa Barat. Dengan tanpa ampun pelaku memukuli dan menghajar Ceng Emon (sapaan akrab K.H. Umar Basri) ketika tengah khusyuk membaca wirid setelah salat subuh. Motif apa gerangan si pelaku yang begitu tega menganiaya seorang kiai yang sudah sepuh, yang seharusnya ditakdimi karena keluasan dan kedalaman ilmu-ilmunya. Sungguh kebiadaban yang jauh dari norma agama dan nilai-nilai luhur kemanusiaan.

Tragedi di atas mengingatkan kita kepada sosok khulafaur rasyidin yang keempat, khalifah Ali bin Abi Thalib, bagaimana beliau direnggut nyawanya tanpa haq oleh sosok seorang muslim juga yang dikenal dengan nama Ibnu Muljam. Hampir persis kejadian terjadi pada waktu kisaran salat subuh. Lalu apakah ini pertanda telah lahir kembali generasi baru Ibnu Muljam dengan terang-terangan? Generasi yang akrab dengan kekerasan dan mudah mengkafirkan (takfir), meski juga mempelajari ayat suci Al-Quran dan menelaah hadits?

 

Mengenal Sosok Ibnu Muljam

Seperti dilansir islami.co nama lengkap Ibnu Muljam adalah Abdurrahman bin ‘Amr bin Muljam al-Muradi. Tanggal dan tahun lahirnya tidak diketahui, namun dalam kitab al-A’lam karya al-Zarakly disebutkan bahwa ia pernah bertemu dengan masa-masa jahiliyah dan berhijrah pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab. Ia juga merupakan salah satu orang yang mengikuti pembebasan Mesir (Fath Misra) dan setelah itu ia menetap di sana. Diceritakan oleh Syamsuddin ad-Dzahabi (748 H) dalam kitabnya Tarikhul Islam wa Wafayati Masyahiril A’lam bahwa Ibnu Muljam merupakan sosok ahli Al-Quran dan ahli fikih. Selain itu, ia merupakan orang yang gemar beribadah.

Semasa pemerintahan Amirul Mukminin, Umar bin Khattab, Ibnu Muljam merupakan seseorang yang sangat istimewa. Pasalnya, ia diberi kepercayaan oleh Umar bin Khattab untuk mengajar Al-Quran di masjid. Bahkan, agar memudahkan ia mengajar Al-Quran, Umar bin Khattab memerintahkan Amr bin Ash untuk memperluas rumah Ibnu Muljam agar lebih dekat ke masjid agar ia mengajar Al-Quran dan fikih di sana. Rumah Ibnu Muljam juga dekat dengan Abdurrahman bin Udais al-Balawi, yakni orang yang nantinya termasuk otak pembunuhan Utsman bin Affan.

Ibnu Muljam sebenarnya adalah sosok pendukung khalifah Ali bin Abi Thalib. Sikap politiknya yang berbeda ketika terjadi perang Shiffin yang mengawali ketidakberpihakannya. Berawal dari Perang Shiffin, perang antara pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah pada tahun 37 H/ 648 M. Ketika kelompok Ali hampir menang, Muawiyah menawarkan perundingan (tahkim) sebagai penyelesaian permusuhan. Ali menerima tawaran Muawiyah, sehingga menyebabkan 4000 pengikutnya memisahkan diri dan membentuk kelompok baru yang dikenal Khawarij (berasal dari kata kharaja artinya keluar/membelot) termasuk di dalamnya adalah Ibnu Muljam.

Khawarij menyatakan bahwa permusuhan harus diselesaikan dengan kehendak Tuhan, bukan perundingan (arbitrase). Mereka berpegang teguh dengan dalil “lā hukma illa Allah” (tidak ada hukum yang harus ditaati kecuali hukum Allah) yang digunakan untuk menolak kebijakan Ali. Karena melawan kehendak Tuhan, Khawarij kemudian mengkafirkan (takfir) kepada Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Khawarij juga mengkafirkan terhadap mayoritas umat muslim yang moderat dan menuduhnya sebagai pengecut. Pemikiran dan sikap keagamaan model Khawarij kemudian diteruskan oleh paham Wahabi di Arab Saudi pada abad Ke-12 H yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Dalam konteks Indonesia, paham berpikir radikal tersebut menjangkiti pola berpikir individual maupun beberapa organisasi keagamaan sehingga perlu diwaspadai. Layak diapresiasi apa yang dilakukan pemerintah dengan membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) beberapa waktu lalu, sebagai langkah melindungi warganya dari sikap keagamaan yang radikal.

 

Radikalisme Agama

Dalam bahasa Arab, radikalisme biasa disebut tathorruf lalu menjadi muthathorrifin, diartikan dengan istilah teror atau menciptakan bencana. Dominasi ini melahirkan berbagai macam fanatisme, mulai yang paling lunak sampai yang paling berat. Adapun yang paling berat disebut hizbul takfiriyyah, yaitu kelompok yang selalu mengatakan bahwa golongan di luar dirinya adalah kafir. Oleh karena itu, jika sudah kafir, semuanya menjadi halal, baik saudara, harta, maupun kehormatannya (Adon Nasrullah Jamaludin, 2015: 162).

Radikalisme agama dalam Islam umumnya muncul dari pemahaman yang sempit, tertutup, dan tekstual terhadap teks-teks Al-Quran dan Hadits. Kaum radikal selalu merasa sebagai kelompok yang paling memahami ajarah Tuhan. Karena itu, mereka dengan mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda dengan dirinya dan menganggapnya sebagai sesat. Rahimi Sabirin (2004: 5) menguraikan radikalisme adalah pemikiran atau sikap keagamaan yang ditandai: 1) sikap intoleransi, tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain, 2) sikap fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri, menganggap orang lain salah, 3) sikap eksklusif, yaitu membedakan diri dari kebiasaan umat kebanyakan, dan 4) sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan. Adapun radikalisme terdiri dari dua wujud yaitu radikalisme dalam pikiran (fundamentalisme) dan radikalisme dalam tindakan (terorisme).

Menurut Mudofir (2014: 6) sejatinya agama adalah korban perkosaan dari para pemeluknya yang secara eksklusif dijadikan instrumen pembenaran atas aksi-aksi kekerasan. Prinsip toleransi, menghargai perbedaan, hidup dalam kebersamaan, menyantuni orang miskin, menciptakan perdamaian, bertindak adil, dan menghormati HAM hampir selalu dikesampingkan. Dampaknya agama dianggap sebagai simbol perlawanan tanpa syarat terhadap hegemoni kelompok atau peradaban tertentu, seperti modernisme dan kapitalisme. Radikalisme agama yang memiliki tafsir-tafsir keagamaan eksklusif dan terlalu harfiah hanya menonjolkan penggunaan teori konspirasi. Sebuah teori yang dasar asumsinya melihat dunia dalam kerangka dikotomi tajam antara “kami” dan “mereka”. Dengan bayang-bayang imajinasi yang nampak mengancam, “kami” harus memusnahkan “mereka” atau sebaliknya.

 

Islam Rahmatan Lil-Alamin Sebagai Jawaban

Islam datang untuk membangun masyarakat yang adil dan beradab. Islam adalah agama kasih sayang dan menebarkan rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil-‘alamin), kiranya pendekatan ini akan mampu memberikan solusi jangka panjang sebagai alternatif bagi permasalahan radikalisme. Kata rahmatan lil-‘alamin terambil dari ayat Al-Quran surat Al-Anbiya’ (21): 107 yang artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil-‘alamin).”

Dilihat secara tekstual kata rahmah sudah dengan jelas menggambarkan watak anti-kekerasan dan sebaliknya mendorong kebaikan-kebaikan menyeluruh kepada sesama manusia dan kepada seluruh alam sebagaimana terintegrasi dalam gabungan rahmatan lil-‘alamin. Rahmat bagi seluruh alam memiliki implikasi sosial, budaya, dan politik yang penting. Tujuan dari kata ini adalah terciptanya harmoni antara Allah, alam, dan manusia.

Mudofir (2014: 11) menawarkan apa yang disebut teologi rahmatan lil-‘alamin sebagai solusi semakin merebaknya aksi-aksi radikalisme. Dengan merujuk pada QS. Al-Anbiya’ (21): 107 di atas, teologi rahmatan lil-‘alamin dapat diartikan sebagai teologi yang menekankan perdamaian, cinta kasih atau rahmah, terbuka, dan tanggung jawab untuk mewujudkan kebaikan-kebaikan untuk semua terlepas dari asal-usul ras, bangsa, dan agama. Melalui definisi tersebut bertujuan memberikan titik-titik tekan pada bentuk cinta kasih pada semua ras manusia maupun ras non-manusia.

Karena itu, teologi rahmatan lil-‘alamin menolak segala bentuk kekerasan dan pemaksaan kehendak untuk tujuan agar mereka atau orang lain mengikuti agama atau keyakinan. Sebaliknya, umat Islam harus menjadi pilar perdamaian, persaudaraan, dan penciptaan bentuk-bentuk kerjasama global untuk mengatasi atau memecahkan isu-isu yang lebih strategis seperti kemiskinan, bencana, krisis lingkungan, krisis moral, dan meluasnya endemi penyakit berbahaya (demam berdarah, flu burung, dan AIDS). Teologi rahmatan lil-‘alamin mengabdi pada terwujudnya cinta kasih yang menyebar pada sebanyak-banyaknya umat manusia dan umat non-manusia di muka bumi.

Melalui konsep teologi Islam rahmatan lil-‘alamin dapat dirumuskan prinsip-prinsip dalam mewujudkan masyarakat adil dan toleran. Rahimi Sabirin (2004: 13-17) menguraikan tiga prinsip dasar yang menjadi tujuan utama ajaran Islam dalam membangun masyarakat. Pertama, prinsip persamaan (al-musawah). Islam secara tegas memproklamirkan bahwa semua manusia diciptakan sama (all men are created equal) dan karenanya semua berkedudukan sama di depan Tuhan (all men are equal before God). Orang yang paling mulia di sisi Tuhan (Allah) adalah orang yang paling bertakwa (QS. Al-Hujurat: 13).

Kedua, prinsip kebebasan (al-hurriyah). Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan, baik kebebasan beragama maupun kebebasan sosial dan politik. Kebebasan merupakan sesuatu yang melekat dalam penciptaan manusia. Melalui kebebasan manusia sebagai khalifah di bumi menjadikannya berdaulat dan bermartabat. Terkait kebebasan beragama, dalam Al-Qur’an dijelaskan tidak ada paksaan dalam beragama, sudah jelas mana yang benar daripada jalan yang salah (QS. Al-Baqarah: 256). Ketiga, prinsip keadilan (al-‘adalah). Keharusan untuk berbuat kasih dan adil dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa jangan sekali-kali kebencian terhadap suatu kaum mendorong tindakan untuk berbuat tidak adil, berbuat adil merupakan tindakan yang dekat dengan ketakwaan (QS. Al-Maidah: 8).

Ketiga prinsip di atas menunjukkan bahwa manusia itu pada hakikatnya adalah sama. Perbedaan penafsiran terhadap teks-teks Al-Quran dan Hadits merupakan sunnatullah, sesuatu yang sengaja diciptakan Allah sebagai hukum alam. Hikmah diciptakannya perbedaan itu adalah agar semua saling mengenal dan saling belajar, sehingga saling berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Melalui prinsip-prinsip di atas diikhtiarkan mampu terbentuk tatanan masyarakat yang aman dan tenteram serta terminimalisir dari berbagai tindakan kekerasan.

Kejadian yang menimpa K.H. Umar Basri meskipun masih dalam proses penyelidikan motif apa sebenarnya yang melatarbelakangi, terlepas dari motif gangguan jiwa atau lainnya, layak menjadi pembelajaran bagi semua pihak. Pada titik ini, umat Islam perlu selalu waspada, dikarenakan ulama adalah pewaris para Nabi, sehingga jangan sampai menjadi korban keganasan sejarah yang terulang, yang bisa jadi adalah generasi baru Ibnu Muljam, generasi neo-khawarij yang militan berbekal pemahaman agama tekstual dan tampilan yang syari’, namun dengan mudah membid’ahkan atau mengkafirkan orang-orang di luar dirinya. Bermodalkan teks Al-Quran dan Hadits, vonis sesat dan kafir begitu mudah terlontar dari mulut mereka.

Maka dari itu diperlukan komitmen semua pihak, terutama ulama dan umaro’ untuk membentengi umat Islam dari paham keagamaan yang radikal dan destruktif warisan Ibnu Muljam dan kawan-kawannya. Juga bersama-sama seluruh lapisan masyarakat, utamanya lembaga pendidikan untuk dikampanyekan Islam yang ramah, Islam yang rahmatan lil-‘alamin, rahmat bagi semesta alam. Sehingga terwujud tatanan masyarakat yang aman, tenteram, dan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr. Semoga. Wallahu A’lam.