Perjuangan Kuliah Sehingga Menjadi Wisudawan Terbaik Sekaligus Tahfidz

SINAR- Sosok Muhammad Habib Zainul Huda yang akrab disapa teman-temannya dengan panggilan Mas Habib kini telah menjadi alumni IAT (Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir) FUD, IAIN Surakarta. Panggilan lain disematkan kepada dirinya kala dikampung halamannya ” Mas Huda”. Jauh, dari RT. 04 RW. 02, Dusun Tegalrejo, Kendal, Ngawi, Jawa Timur ia berasal. Sebuah desa yang terletak di perbatasan Kab. Magetan dan Kab. Ngawi tepatnya di kaki Gunung Lawu. Berikut ia berkisah tentang dirinya hingga akhirnya menjadi seorang wisudawan terbaik dan Tahfidz 30 Juz pada penghujung studinya di IAIN Surakarta (sekarang UIN Raden Mas Said Surakarta).

Meskipun saya berasal dari desa yang mungkin belum banyak orang yang tau, saya tetap bersyukur dapat tinggal di desa tersebut bersama sanak saudara semuanya. Dan saya berharap suatu saat nanti, desa tersebut menjadi suatu desa yang banyak diketahui orang. Maka dari itu saya ingin menjadi salah satu orang yang kelak membuat desa tersebut terkenal tentunya dikarenakan keistimewaannya.

Saya lahir pada hari Kamis 14 Mei 1999, sehingga umur saya sekarang ini sekitar 22 tahun. Saya terlahir dari orang tua yang sangat hebat, bapak bernama Sukiran (51), sebuah nama jawa pemberian simbah saya. Selain itu bapak juga familiar dengan nama, “Syukran Makmun” sebuah nama pemberian dari kyai beliau saat waktu mudanya mondok di salah satu Pondok Pesantren di Ngawi. Sebagaimana kehidupan di desa, mayoritas mereka bekerja di sawah, begitu juga dengan bapak. Hanya saja bapak tidak seperti tetangga pada umumnya yang memiliki sawah berhektar-hektar. Melainkan bapak hanya seorang buruh tani yang bekerja di sawah milik tetangga. Hal tersebut tentu dikarenakan bapak belum memiliki sawah sendiri. Semoga kelak saya dapat membelikan sawah untuk bapak di desa.

Pekerjaan yang demikian itu tidak dilakukan setiap hari, melainkan hanya waktu-waktu tertentu saja, seperti ketika musim cocok tanam dan panen, yang mana jarak kedua musim tersebut sekitar 4-5 bulanan. Sehingga sekitar waktu 4-5 bulanan tesebut bapak juga bekerja di tempat yang lain. Seperti “Tebang Tebu, Kuli Bangunan dan yang lainya” tentunya itu bapak lakukan demi memenuhi kebutuhan keluarga.

Ibu saya bernama Nurul Khasanah (46), sebuah nama yang berasal dari bahasa Arab yang berarti, “Cahaya Kebaikan”. Tentu saja cahaya kebaikan tersebut senantiasa diberikan kepada anak-anaknya agar mereka menjadi anak yang sukses kelak. Ibu di rumah tidak bekerja, hanya saja untuk menambah penghasilan keluarga ibu di rumah jualan Rempeyek. Selain itu ibu juga selalu membantu bapak di sawah ketika bapak disuruh orang memanen padi di sawah mereka. Selain itu, ibu dalam keseharian juga beraktivitas mencari pakan buat kambing di rumah. Alhamdulillah bapak dan ibu juga memiliki hewan peliharaan di rumah, meskipun itu bukan miliki mereka sendiri. Bapak dan ibu hanya bagi hasil saja dengan pemilikinya. Saya juga mempunyai seorang adik laki-laki yang sekarang duduk di bangku kelas 5 MI yang bernama Muhammad Fuad Nur Ali Nuha (10)”.

Berlatar belakang dari keluarga yang demikian itu, tidak membuat bapak dan ibu menyerah untuk meyekolahkan anaknya yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan modal prestasi dari SD-MA alhamdulillah saya mendapatkan beasiswa bidikmisi. Dan ditambah juga modal hafalan al-Qur’an 30 juz yang telah saya selesaikan ketika duduk di bangku Aliyah di Pondok Pesantren Darul ‘Ulum Kendal.

Harapan yang sangat besar dari bapak dan ibu untuk memasukkan saya ke IAIN Surakarta sangat jelas terlihat ketika saya semester satu, yang pada saat itu belum ada pengumuman hasil bidikmisi, sehingga diharuskan untuk membayar UKT sendiri. Ketika itu bapak sampai meminjam uang kepada tetangga agar saya dapat membayar UKT semester satu yang mana sejumlah Rp. 1.500.00.-. jumlah uang yang sedikit bagi mereka yang menganggapnya sedikit, berbeda dengan bapak yang ketika itu menganggap jumlah tersebut sangatlah banyak.

Perjuangan demi perjuangan saya lewati untuk membuktikan kepada bapak dan ibu bahwa saya pasti lulus dengan nilai yang terbaik. Dan alhamdulillah pada wisuda ke 47 kemarin saya menjadi salah satu wisudawan yang terbaik, dan menjadi perwakilan bersama 8 perwakilan lainya dari 612 wisudawan dalam acara wisuda ke 47 di gedung graha, dan sekaligus diamanahi memimpin pembacaan Ikrar Alumni. Saya lulus dengan waktu sekitar 3,5 bulan dengan IPK 3,67. Dan alhamdulillah kemarin bapak ibu dan keluarga besar dapat hadir dalam acara Wisuda saya di kampus tercinta IAIN Surakarta. Memang benar kata pepatah, “Perjuangan tidak akan pernah mengkhianati hasil”.

Saya menjadi wisudawan terbaik tersebut termotivasi dari perkataan ibu yang senantiasa ibu ucapkan baik secara langsung maupun lewat Wa, ibu berkata “Masiho anak e wong gak duwe saget terwujut cita-citane. Iso banggakne wong tuwane”, yang maknanya yaitu, “Meskipun kamu adalah anaknya orang yang tak punya, tapi kamu bisa mewujudkan cita-cita yang kamu impikan, dan dapat membanggakan kedua orang tuanya”. Kalimat yang mendalam sekali dari ibu sebagai harapan bagi mereka di desa.

Sebagaimana bekal tahfidz 30 juz tentunya saya ketika kuliah di IAIN tidak tinggal di kos atau di tempat lainnya, melainkan saya menjadi marbot di Masjid Walisongo Singopuran Kartasura. Selain itu saya juga menjadi santri dan musyrif di yayasan masjid tersebut yang bernama “Rumah Tahfidz Walisongo”. Dan menjadi pengajar TPA Darul’Ilmi Tanjung Anom Klaten.

Sebelum saya melanjutkan kisah saya, saya menegaskan bahwa apa yang saya ceritakan di sini bukanlah suatu Riya’, Sum’ah, biar dipuji ataupun yang lainnya. Akan tetapi saya hanya Tahadduts Bin Ni’mah yaitu menceritakan segala nikmat yang Allah Swt berikan kepada saya. Tujuannya tidak bukan agar orang-orang yang lebih baik perjuangan hidupnya dari saya dapat tambah syukur kepada Allah Swt.

Selama semester pertama sampai lulus saya tinggal di masjid, tentunya merupakan suatu tanggung jawab yang sangat besar bagi saya untuk senantiasa membagi waktu antara kuliah dan membersihkan masjid. Saya tidak seperti teman-teman lainnya yang sebagian setelah kuliah terus makan di warung atau kegiatan lainya. Berbeda dengan saya yang setelah kuliah saya pasti langsung buru-buru ke masjid untuk mengumandangkan adzan baik dzhuhur, asar dan maghrib. Sehingga banyak dari teman-teman yang mengatakan bahwa saya orangnya tidak mau berteman. Padahal bukan begitu, akan tetapi saya memiliki kewajiban yang harus saya laksanakan.

Selama berada di masjid banyak sekali suka dukanya. Sukanya yaitu salah satunya dapat sholat berjamaah tepat waktu, bisa murojaah hafalan al-Qur’an, dll. Dukanya yaitu mungkin tidak ada, karena tinggal di masjid adalah suatu kesenagan yang tersendiri bagi saya. akan tetapi tinggal di masjid harus senantiasa sangat berhati-hati, karena terbukti banyak kejadian kehilangan khususnya sandal dan sepatu, dan termasuk saya korbannya.

Selain itu meskipun saya sudah seorang mahasiswa, saya juga tidak melupakan siapa diri saya pribadi, yaitu saya adalah anak dari seorang buruh tani. Makannya setiap liburan baik liburan pondok maupun liburan semester saya pasti pulang untuk membantu bapak ibu memaneni padi miliki tetangga. Bahkan malampun saya tetap ikut untu menggiling padi di sawah, yang mana memang umumnya masyarakat di sana menggiling padi (Dos) adalah waktu malam. Sekitar jam 10 malam sampai pagi.

Kuliah, Mondok, Membantu  Orang tua, belajar, membersihkan masjid, dan menghafalkan al-Qur’an adalah suatu kenikmatan tersendiri bagi saya untuk menjalani kehidupan yang sementara ini sebagai bekal kehidupan di akhirat nanti.

Akhirnya, saya juga mengucapkan kepada semua khususya kepada ibu bapak saya, dosen pembimbing saya Dr H. Abdul Matin bin Salman Lc. M.Ag, pihak civitas akademika IAIN Surakarta, takmir masjid Walisongo, santri dan ustadz Rumah Tahfidz Walisongo, teman-teman IAT 2017, teman-teman bidikmisi 2017 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang mana kalian semua telah memberikan berbagai kebaikan kepada saya khususnya. Dari lubuk hati yang paling dalam saya ucapkan, Jazakumullah Khairan Katsiran.

Sekelumit kisah perjuangan sosok Muhammad Habib Zainul Huda aliah mas habib alias mas huda ini semoga bisa menjadi teladan bagi mahasiswa lain untuk terus berjuang bagaimanapun kondisinya. Perjuangan mengajarkan bahwa dari sesulit apapun rintangan yang nampak di depan mata maka akan dapat dilalui dengan tekad, usaha dan doa. (Nughy-Zat/ Humas Publikasi)

…Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri… (QS. Ar-Ra’d: 11)