Pondok Pesantren di Lingkungan Perguruan Tinggi Islam

Oleh: Dwi Kurniasih
(Mahasiswa Jurusan Tadris Bahasa Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan)

#BanggaIAINSurakarta

Banyak yang menganggap bahwa dunia pesantren adalah dunia kaum bersarung dan berpeci. Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam tertua di Indonesia. Pesantren yang berkiprah di bidang keagamaan menjadi tonggak paradigma masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa pesantren mampu mencetak santri yang berakhlakul karimah dan pandai dalam bidang ilmu agama. Abdurrahman Wahid dkk, dalam bukunya yang berjudul Pesantren dan Pembaharuan (1988) mengemukakan bahwa pesantren dengan ruh, sunah, dan kehidupan berasrama dengan kyai sebagai tokoh pokoknya dan masjid sebagai pusat lembaganya, merupakan suatu sistem pendidikan yang tersendiri dan mempunyai corak khusus. Di dalam ruh, sunah, dan kehidupan berasrama itulah antara lain letak kekhususan pondok pesantren.

Dunia pendidikan memang selalu mengalami transformasi, termasuk pondok pesantren. Saat ini banyak berdiri pondok pesantren berbasis modern yang mengikuti arus perkembangan zaman, tetapi tidak melupakan nilai-nilai Islam. Respon umat Islam terhadap penyelenggaraan pendidikan Islam tidak terbatas pada pesantren, madrasah atau sekolah, tetapi juga sampai pada penyelenggaraan pendidikan tinggi. Adanya perguruan tinggi Islam diharapkan dapat mencetak lulusan yang tidak hanya pandai di bidang ilmu umum, tetapi juga ilmu agama. Oleh karena itu, perguruan tinggi Islam yang di bawah Kementrian Agama menanamkan nilai-nilai keislaman yaitu Islamic Studies.

Islamic Studies merupakan pembekalan ilmu agama yang diberikan oleh perguruan tinggi Islam dalam bentuk mata kuliah dan program pendampingan. Tetapi tidak sedikit mahasiswa di perguruan tinggi Islam yang kurang lancar dalam membaca Alquran, tidak paham dalam mengurus jenazah serta berbagai macam persoalan keagamaan di masyarakat. Hal ini disebabkan karena perguruan tinggi Islam tidak hanya menerima mahasiswa dari Madrasah Aliyah, atau lulusan yang berlatarbelakang ilmu agama, melainkan juga menerima mahasiswa baru dari sekolah-sekolah umum yang jam pengajaran pendidikan keagamaan sangat minim. Inilah yang menyebabkan mahasiswa kurang berkompeten dalam ilmu keagamaan meski mendapat Islamic Studies. Penyebab lainnya adalah karena mahasiswa kurang menyadari perannya sebagai seorang mahasiswa di perguruan tinggi Islam. Waktu yang digunakan untuk memberikan pendidikan Islam oleh kampus baik melalui mata kuliah, atau program pendampingan kurang intensif. Sehingga esensi yang terdapat dalam pembelajaran tersebut tidak melekat dengan baik pada diri mahasiswa.

Tentu saja hal demikian membutuhkan perbaikan dengan proses yang tidak singkat. Mahasiswa perlu bimbingan keagaman secara intensif. Disinilah peran pondok pesantren yang berada di lingkungan perguruan tinggi Islam. Pondok pesantren mahasiswa yang menyebut santrinya dengan sebutan mahasantri, memiliki andil yang cukup besar dalam membina mahasiswa. Tentu pondok pesantren mahasiswa dengan pondok pesantren pada umumnya tidaklah sama. Pesantren dalam era globalisasi tidak hanya sebagai lembaga pencetak ulama tetapi juga mencetak kaum intelektual berkarakter islami.

Seperti yang disampaikan oleh KH M Tholhah Hasan (2011: 180), salah satu tujuan didirikannya pondok pesantren mahasiswa adalah untuk memberikan bekal bagi mahasiswa kelak untuk menjadi seorang pemimpin umat. Kegiatan tersebut antara lain berkaitan dengan masalah ibadah, jemaah, mengaji serta mengkuti pelatihan-pelatihan khusus agar ketika lulus tidak gagap dalam hal keagamaan di lingkungan masyarakat. Karena sudah menjadi hal yang lazim dan pasti jika seorang lulusan pendidikan keagamaan atau yang menyandang gelar sarjana pendidikan Islam akan selalu ditunjuk atau dituntut oleh masyarakat untuk menyelesaikan persoalan yang berhubungan dengan keagamaan.

Selain itu, pondok pesantren mahasiswa diharapkan mampu memaksimalkan dan mengoptimalkan mahasiswa dalam mengelola waktu dengan kegiatan yang bermanfaat. Sehingga kerentanan untuk terjerumus dalam pergaulan bebas dapat dikendalikan. Lingkungan adalah faktor yang paling berpengaruh dalam pembentukan akhlak. Seperti kisah dalam novel pertama Asma Nadia yang berjudul Pesantren Impian. Dalam novel tersebut, pesantren berperan sebagai wadah perbaikan akhlak seseorang dan sebagai tameng diri dari tindakan-tindakan yang melanggar aturan moral dan agama.

Pendidikan yang diterapkan di pesantren adalah pendidikan akhlak (mental) dan tauhid. Pendidikan akhlak diharapkan mampu menata kepribadian seseorang, sedangkan pendidikan tauhid diharapkan agar seseorang mampu mengenal Tuhan dengan baik. Ciri kepribadian pesantren adalah jiwanya, yaitu ruh yang mendasari dan meresapi seluruh kegiatan yang dilakukan oleh segenap keluarga pesantren. Ruh tersebut dirumuskan oleh KH. Imam Zarkasyi dengan “Panca-Jiwa” yaitu, keikhlasan, kesederhanaan, persaudaran, menolong diri sendiri, kebebasan, (Wahid dkk, 1988: 83).

Adanya pesantren mahasiswa dapat memberikan lingkungan yang kondusif bagi mahasiswa, kampus dan lingkungan. Pesantren juga tidak hanya untuk belajar secara akademik namun juga sebagai wadah mengisi keluangan waktu disela-sela kuliah agar dapat belajar lebih intensif mengenai Islam. Dari situ akan terbentuk keseimbangan antara ilmu umum (dunia) dengan ilmu agama (akhirat).

Sudah pasti berdirinya pesantren mahasiswa bukan hanya untuk penguasaan urusan keagamaan saja, melainkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) untuk mencapai wawasan intelektual yang luas. Pesantren mahasiswa dituntut untuk terus berupaya mengembangkan wawasan intelektual mahasantrinya, tidak hanya terbatas pada wawasan keagamaan saja melainkan wawasan keilmuan lainnya, sehingga tidak hanya tercipta pribadi yang religius, tetapi intelektual, mengetahui perkembangan dunia, dan tentu saja berakhlakul karimah.