Respon Kontroversi RUU HIP, PSPK IAIN Surakarta Adakan Webinar

SINAR- Menanggapi fenomena RUU HIP yang menjadi perbincangan masyarakat Indonesia dengan berbagai perspektifnya, Pusat Studi Pancasila dan Kebangsaan (PSPK) IAIN Surakarta adakan webinar dengan tema “Kontroversi RUU Haluan Ideologi Pancasila”, Senin (22/6).
Dalam diskusi, Latif Kusairi, M.A, selaku wakil ketua PSPK dan dosen sejarah IAIN Surakarta memaparkan tentang Sejarah PANCASILA sebagai Ideologi Negara, yang membahas dari akar-akarnya yaitu mengenai pancasila dalam narasi sejarah bangsa Indonesia.

Singkatnya, setelah sejarah panjang pancasila disampaikan, Latif menyebutkan bahwa terdapat beberapa tantangan terkait fenomena RUU HIP, diantaranya ; dianggap sebagai hantu sejarah masa lalu (komunisme), tantangan popuisme kanan, state-centric-nationalism terhadap demokrasi, adanya kapitalisme Neoliberal, Oligarchy, dan ketimpangan sosial yaitu zombie economic and mutant neoliberalism, tendendi arus balik otoritariasnisme dan demokrasi minus politik kewarganegaraan (demos).

Lebih lanjut, disampaikan oleh Suciyani, M.Sos, (Sekretaris PSPK dan dosen hukum pidana Islam IAIN Surakarta) menyampaikan tentang Legislasi RUU Haluan Ideologi Pancasila yang berfokus tentang pembuatan RUU, tugas dan wewenang DPR sebagai wakil rakyat dan tempat untuk menampung aspirasi rakyat.

Maka jelas disebutkan bahwa peran DPR perlu untuk dipertegas sebagai wakil rakyat di tatanan Negara, legislasi, pengawasan, pengantar ke eksekutif, dan peka dengan kondisi. Suci menambahkan, bahwa pancasila sebagai sumber dari segala hukum, maka muatan Hukum dalam RUU HIP memuat setidaknya keterkaitannya dengan UU lain, legal standing/kedudukan hukum, hukum acara, dan bukan ringkasan.
Pemateri terakhir yaitu Direktur PKPPN IAIN Surakarta, M.Zainal Anwar, M.S.I. Zainal menyebut, bahwa Perancang UU HIP terlihat tidak memiliki rancangan yang kuat, bahkan ada yang mengatakan ini bukan waktu yang tepat.

Menurutnya, regulasi muncul karena adanya sesuatu yang muncul pula atau menyikapi atas sesuatu yang terjadi misalnya tentang globalisasi, kapitalisme, dan sebagainya. Namun, jika di analisis, adanya kejadian-kejadian di atas seharusnya yang muncul bukan RUU HIP. “Sebelum itu, saya perlu berdialog langsung dengan perancang UU HIP, agar mengetahui alasan RUU HIP ada dan harus diketahui bagaimana naskah akademiknya”, tegasnya.

Zainal menambahkan, bahwa naskah akademik itu belum solid tetapi dilempar ke publik, akhirnya banyak yang merespon dan menimbulkan kontroversi. Seharusnya RUU HIP sebagai prioritas harus melakukan dialog pembahasan tentang RUU HIP tanpa harus menunggu anggaran atau persetujuan pemerintah. (Gus/Humas Publikasi)