Sahabat Lintas Iman Surakarta (SALIS): Ekspresi Santri Menjaga Keberagaman

Oleh: Anisatul Afifah
(Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab)

Tidak semua manusia menyadari bahwa kemajemukan (pluralitas) bangsa Indonesia adalah keunikan dan anugerah yang harus dijaga dan dipertahankan. Pluralitas masyarakat yang berkaitan dengan kemajemukan beragama, etnis, budaya, ras adalah sebuah kenyataan dan rahmat dalam sejarah peradaban Islam sejak zaman Rasulullah SAW. Tidak dapat disangkal pula bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki banyak keragamaan, bahkan di segala aspek kehidupan.

Dewasa ini, cukup banyak oknum yang agaknya menolak perbedaan terhadap sesama. Bentuk penolakan atau intoleran salah satunya ialah melalui sikap dan ujaran kebencian. Ujaran kebencian merupakan ujaran yang mempunyai unsur-unsur seperti segala tindakan dan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan pada kebencian atas dasar suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, atau antar golongan yang dilakukan melalui berbagai sarana (Komisi Nasional HAM, 2015:9). Konsep ujaran kebencian ini merujuk pada ekspresi ketidaksukaan berupa menghasut, memprovokasi, menyebarkan, dan membenarkan kebencian yang berkaitan dengan suku, ras dan agama. Ujaran kebencian dinilai sebagai bentuk ungkapan untuk menyerang dan mendorong terjadinya kekerasan baik verbal maupun non-verbal.

Isu yang paling sensitif terkait ujaran kebencian adalah agama (Kurniasih, 2019). Siar kebencian agama tidak dapat dilepaskan akar kebencian berbasis agama atau keyakinan yang muncul dan tumbuh berkembang di dalam masyarakat, terlepas ada atau tidaknya kebijakan formal yang bersifat intoleran atau diskriminatif. Akibat ekstremnya ajaran Islam yang salah, maka yang terjadi adalah sekarang peradaban yang sebelumnya kokoh itu hancur seketika karena kebencian (Dalimunthe, 2018).

Salah satu bentuk usaha dalam menangkal ujaran kebencian adalah menciptakan wadah yang bertujuan meminimalisasi ujaran kebencian. Seperti komunitas Sahabat Lintas Iman Surakarta (SALIS) yang berpusat di Solo Raya. Komunitas ini berdiri salah satunya dilatarbelakangi oleh beragamnya pemeluk keyakinan di kota Solo. Solo merupakan kota yang memiliki keragaman, baik dari sisi sosial, politik dan agamanya. Kenyataan ini merupakan potensi yang besar untuk kemajuan Solo jika dikelola dengan baik, namun akan menjadi bencana jika keragaman tersebut dibiarkan. Berangkat dari tersebut, pada tahun 2018 dibentuklah komunitas Sahabat Lintas Iman Surakarta (SALIS). Dalam komunitas ini tergabung individu-individu yang berlatarbelakang aktivis sosial, peneliti, akademisi, tokoh agama, santri dan tokoh budaya yang ada di Solo.

Santri dari beberapa pondok pesantren di wilayah Solo Raya turut andil dalam menjaga toleransi terhadap sesama baik muslim maupun nonmuslim. Santri memandang ukhuwwah islamiyah dan ukhuwwuah wataniyah sebagai hal yang harus mendapatkan perhatian secara seksama dan dengan penuh kearifan. Keduanya harus dipandang sebagai pola tata hubungan yang saling membutuhkan dan saling mendukung,harus diwujudkan serentak dan tidak boleh dipertentangkan dengan satu sama lain. Sikap mempertentangkan antarkeduanya akan merugikan, baik bagi kehidupan umat Islam di Indonesia maupun kehidupan berbangsa.

Beberapa prinsip ahl al-sunnah wa al-jamay‘ah yang diterapkan Aswaja (santri) di dalam menerima kehadiran nonmuslim untuk hidup berdampingan secara damai, adalah prinsip tawazun dan ta‘adul.  Prinsip tawazun, yakni menjaga keseimbangan dan keselarasan, sehingga terpelihara secara seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat, kepentingan pribadi dan masyarakat, dan kepentingan masa kini dan masa datang. Pola ini dibangun lebih banyak untuk persoalan-persoalan yang berdimensi sosial politik. Dalam bahasa lain, melalui pola ini Aswaja ingin menciptakan integritas dan solidaritas sosial umat. Sikap netral (tawazun) aswaja berkaitan dengan sikap mereka dalam politik (Aminuddin, 2014).

Prinsip ta‘adul (keseimbangan) Aswaja terefleksikan pada kiprah mereka dalam kehidupan sosial, cara mereka bergaul serta kondisi sosial pergaulan dengan sesama muslim yang tidak mengafirkan kelompok lain serta senantiasa ber-tasamuh terhadap sesama muslim maupun umat manusia pada umumnya (Aminuddin, 2014). Kedua prinsip tersebut menjadi salah satu upaya santri untuk tidak menolak keberagaam di Indonesia.

Keberagaman memang harus dikelola dengan baik agar tidak terjadi perpecahan. Santri turut berperan dalam hal menjaga keutuhan keragaman di Indonesia, salah satunya dengan aktif di komunitas antarumat beragama dengan menerapkan prinsip-prinsip aswaja. Bukan hanya untuk menekan tingginya ujaran kebencian terhadap perbedaan, akan tetapi untuk mewujudkan bangsa yang damai di tengah umat yang beragam.