Semangat Berkorban di Hari Raya Idul Adha


O
leh : Dhima Wahyu Sejati
(Mahasiswa Semester 5 Prodi KPI, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah)

#BanggaIAINSurakarta

 

10-13 Zulhijah adalah hari dimana Umat Islam merayakan Idul Adha. Hari raya Idul Adha menjadi momentum umat untuk bergembira bersama. Mulai dari sholat berjamaah, menyembelih hewan kurban, hingga menikmati daging kurban.

Hari raya Idul Adha mengingatkan Umat Islam atas kisah Nabi Ibrahim yang bermimpikan perintah untuk menyembelih anaknya, Ismail. Nabi Ibrahim memberitahukan perihal mimpi itu kepada anaknya, kemudian meminta pendapatnya. Nabi Ismail kemudian menjawab “Wahai bapakku kerjakan apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Sebagaimana yang temaktub dalam Surat As-Saffat ayat 102. Ketika Nabi Ismail sudah berada di tempat yang disediakan ayahnya dan Nabi Ibrahim sudah siap untuk meyembelih, seketika itu Nabi Ismail deganti dengan domba yang besar.

Perintah untuk menyembelih Nabi Ismail menjadi ujian yang berat, namun keduanya menerima perintah ini dengan lapang dada dengan sikap siap berkoban sebagai seorang hamba. Atas kesabaran dan keikhlasan yang ada didalam diri Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, kisah ini diabadikan didalam Alquran sekaligus diperingati secara rutin oleh Umat Islam.

Kisah ini menunjukkan sikap siap berkorban untuk selalu taat kepada perintah Tuhannya, Allah swt. Terlebih tersirat nilai moril bahwa dalam setiap pengorbanan membutuhkan kesabaran dan keikhlasan.

Pengorabanan yang hampir serupa ditunjukkan oleh  Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau sering disapa Buya Hamka.

Buya Hamka dipilih sebagai Ketua Umum MUI pertama dalam Musyawarah Nasional I. Tepatnya tanggal 27 Juli 1975 Hamka resmi dilantik. Ketika Hamka dipilih sebagai ketua MUI pertama, banyak yang mendukung dan ada pula yang menyarankan untuk menolak. Beberapa beranggapan MUI hanya dibentuk untuk memuluskan kebijakan Orba. Namun Hamka menerima jabatan tersebut dengan tidak mengambil gaji dan berkomitmen menjadikan MUI sebagai lembaga yang independen. Hal itu dibuktikan Hamka ketika fatwa MUI berani melawan arus arah poltik Orba. Pada dekade 80-an Hamka mengeluarkan fatwa haramnya mengikuti perayaan natal walau tujuannya hanya sekedar menghormati.

Publik mulai geger, hingga MUI ditekan oleh banyak pihak terutama pemerintah yang beranggapan fatwa itu hanya akan memecah keutuhan bangsa, setidaknya narasi itu yang juga muncul di media massa. Meski demikian Hamka tetap enggan untuk mencabut fatwa tersebut. Hingga pada 21 Mei 1981 Hamka lebih memilih mengorbankan jabatannya ketimbang menukar akidah umat.

Pengorbanan Hamka membuahkan hasil. Fatwa tersebut meruntuhkan persepsi negatif publik. Hamka juga membuktikan komitmenya untuk tetap membawa MUI sebagai lembaga yang independen. H.A Mukti Ali, Menteri Agama saat itu mengakui pengorbanan Hamka sangat berjasa untuk bangsa dan negara. “Berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan Negara. Tanpa Buya, lembaga itu tidak akan mampu berdiri.”

Mari momentum hari raya Idul Adha ini kita jadikan untuk muhasabah diri, dengan menyelami makna “berkorban”. Kisah Nabi Ibrahim diabadikan dalam Alquran bukan tanpa maksud, namun terdapat hikmah yang besar. Begitu pula dengan pengorbanan Buya Hamka, terdapat keteladanan besar yang patut kita contoh.