Sertifikat Halal, Perlukah?

Oleh: Nurwulan Purnasari, S.TP, M.Si.
(Dosen IAIN Surakarta/Sekretaris Rektor)

Trend sertifikasi halal sudah merambah ke berbagai jenis produk. Tidak hanya pada produk pangan namun juga produk kecantikan, produk rumah tangga bahkan beberapa hingga produk sandang. Jika kita hidup di negara minoritas, tantangan untuk mencari produk halal itu besar. Sehingga perlu adanya sertifikasi halal terutama di negara minoritas sebagai kewajiban negara yang bertujuan untuk melindungi hak-hak konsumen muslim. Hidup di negara mayoritas muslim idealnya membuat kita tak kesulitan mencari produk halal. Yang menjadi pertanyaan adalah, perlukah sertifikasi halal di negara mayoritas muslim seperti kita?

Sertifikasi halal menjadi tidak diperlukan jika produsen secara gamblang menyantumkan semua komponen produk yang berpotensi haram pada label produknya. Begitu pula jika selama proses pengolahan bersinggungan dengan produk haram atau diproduksi bersamaan dengan produksi produk-produk non halal harus dicantumkan pada label kemasan. Jika produsen mampu dan mau menjelaskan dalam label kemasannya maka sertifikasi halal tidak diperlukan, dan konsumen sepenuhnya bisa memilih produk mana yang akan mereka gunakan.

Melihat kondisi di negara ini, dimana produsen belum mampu menyantumkan semua komponen berpotensi haram di label kemasannya, maka dipastikan kita masih sangat membutuhkan adanya sertifikasi halal. Masyarakat awam kadang kurang mengetahui bahwa produk turunan dari barang haram bisa sangat berbeda dari bentuk aslinya. Contoh produk turunan babi, olahan babi tidak hanya berkisar pada olahan daging (bakso, daging asap maupun sosis) namun bisa diolah menjadi produk kecantikan misal sabun maupun lotion, bisa juga diolah menjadi permen dan jelly, selain itu bulu babi bisa juga digunakan untuk kuas, baik kuas roti/kue maupun kuas cat. Cemaran produk non halal juga bisa terjadi pada saat proses pengolahan. Sebagai contoh kue nastar statusnya bisa menjadi haram dikonsumsi jika pada saat pengolesan selai menggunakan kuas bulu babi. Begitu pula jika dalam suatu pabrik mengolah barang non halal maka besar kemungkinan terjadi cemaran pada produk lainnya karena bersinggungan langsung.

Menilik kondisi tersebut, maka sudah sewajibnya produsen melakukan sertifikasi halal terutama jika belum mampu menjelaskan secara gamblang pada label kemasannya, dan negara wajib hadir dalam menjamin hak-hak konsumen.

Adanya UU no 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menjadi angin segar bagi perlindungan konsumen muslim. UU ini memaksa para produsen untuk tetap menjaga kehalalan produknya. Jika dahulu proses resertifikasi hanya dilakukan secara swadaya, tidak ada paksaan, maka sekarang produsen berkewajiban untuk memperpanjang sertifikasi jika sudah habis masa berlakunya, dan akan dikenai sanksi jika mangkir. Pemberlakuan UU ini diharapkan mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan jaminan produk halal. Selain itu proses edukasi ke masyarakat juga perlu dilakukan, mengingat produk yang belum tersertifikasi jauh lebih banyak dibandingkan yang sudah mendapat label. Selain itu pihak produsen juga wajib memberi pelatihan kepada para karyawannya agar tidak meremehkan adanya potensi cemaran produk non halal pada produk lainnya. Perlu juga digalakkan edukasi kepada para penggiat UMKM, terutama rumah makan ataupun restoran, sehingga diharapkan dalam prosesnya tidak ada penggunaan produk non halal (misal ang-ciu pada produk olahan sea food). Proses edukasi ini bisa dilakukan secara swadaya oleh pemilik usaha dengan menggandeng LPPOM MUI sebagai lembaga yang masih berwenang. Mahasiswa maupun praktisi akademis pun bisa mengambil peran dalam proses edukasi kepada masyarakat. Jika semua elemen masyarakat merasa bertanggung jawab tak perlu waktu lama untuk mewujudkan kondisi bebas produk non halal.