Tiada Celah untuk Kalah!

Muthiah

Muthi’ah
Mahasiswa Bidikmisi/ Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2014

#BanggaIAINSurakarta

Masih terbingkai nuansa Le Nausee, dalam sajak Acep Zamzam Noor sebagai salah satu puisi pilihan PEKSIMIDA Jawa Tengah di Universitas Muria Kudus tanggal 27-28 Juli 2016 lalu. Aksara Acep bersyair, Jejak bulan telah hapus/ Bumi tinggal rawa peradaban/ Kata-kata menjadi belantara nilai/ Tak terbaca. Puisi ini mengisyaratkan tentang dunia yang carut-marut tanpa bahasa. Maka akan tergambar layaknya kehidupan tanpa pedoman.

Sama halnya dengan sebuah fenomena hidup yang harus terus berjalan. Meskipun terkadang perlu istirahat sejenak dan mengumpulkan perbekalan. Mungkin juga harapan yang terkadang harus pupus sebagai humus yang menghidupkan benih-benih kehidupan baru. Pada intinya, setiap perjalanan kehidupan memerlukan pengorbanan yang terkadang harus merelakan harapan mulia sekalipun.

Sebagai insan berpedoman, tentu akan segera beranjak dari puing-puing harapan yang musnah. Mengikuti kekata Helvy Tiana Rosa dalam Risalah Cinta-nya, “Ketika kau masih bertemu pagi dan putuskan diri untuk berdiri menghadapi, berjuang dengan hati di jalan Illahi maka saat itu kau telah mengakhiri hari dengan satu lagi kemenangan sejati.”

Itu sebabnya, kegagalan bukan untuk disesali dengan kekecewaan yang tiada henti. Karena selalu ada Pemberi Harap yang senantiasa menepati janji. Maka belajar dari kehidupan adalah solusi. Sebab belajar kehidupan serupa belajar tentang kesabaran. Kedua-duanya memiliki pengaplikasian yang tiada batas.

Mempelajari kekalahan, misalnya. Tentu sebagian besar orang akan menganggap Si Kalah lebih buruk dari pemenang. Hal ini dianggap biasa terjadi dalam sebuah kompetisi. Karena juri juga harus berperan menentukan yang “terbaik” dari yang baik diantara para peserta. Sehingga di sinilah akan terjadi penempatan posisi yang akan menduduki bangku kelayakan atas hasil yang mereka usahakan. Maka pada kesimpulannya, ada yang kalah serta ada pula yang menang.

Begitu pula bagi sebagian orang yang lain, keputusan juri dianggap bijak. Karena telah memenuhi porsi penilaian yang sama dengan yang ia pahami. Namun pada kenyataannya, banyak pula yang justru menjatuhkan juri karena persepsi yang berbeda. Hal ini sering terjadi dalam perlombaan seni. Seperti yang saya amati pada sebagian lomba yang terjadi setelah PEKSIMIDA Jawa Tengah pada akhir Juli 2016 lalu.

Perdebatan batin muncul, sehingga menimbulkan gejolak negatif untuk saling menghakimi, menyindir dan perbuatan lain yang tak sepantasnya dilakukan. Tentu yang menjadi korban adalah pemangku kejuaraan itu sendiri. Dicari-cari letak kesalahannya sebagai wujud penggugatan dan penolakan terhadap keputusan juri. Itu sebabnya, tak jarang kita jumpai kompetisi yang menegaskan perihal “keputusan juri mutlak dan tidak dapat diganggu gugat”. Maka benarlah ungkapan Titon Rahmawan, bahwa kemenangan sejati tidak akan pernah lahir dari tindakan kekerasan, unjuk kekuatan, ataupun penindasan. Pemenang sejati adalah mereka yang memperoleh kejayaan tanpa harus melakukan penghancuran, pertumpahan darah dan air mata.

Hal senada seakan memutar ulang sebuah memori yang terjadi saat kompetisi Baca Puisi Festival Seni di Universitas Negeri Yogyakarta pada bulan November 2015 lalu. Di mana setiap kemenangan dan kekalahan haruslah di awali dengan persiapan untuk menerima dan sabar terhadap perlakuan orang-orang. Inilah tips sederhana, agar mampu mengendalikan emosi dan tetap menjaga diri sebagai insan budiman. Karena menaklukkan diri sendiri adalah kemenangan yang paling akbar, tegas Plato.

Pada akhirnya, salah satu juri menawarkan pilihan kepada peserta yang lain untuk menjadi “matang atau pecundang”. Karena pada hakikatnya penentu menang-kalah adalah diri kita sendiri. Seperti yang kerap kali kita dengar, bahwa musuh terbesar adalah diri sendiri. Artinya, kemenangan akan menghampiri setiap orang yang gigih dalam berusaha. Terlebih, mereka yang berusaha menjadi lebih baik dari usahanya yang lalu. Dialah pemenang yang sesungguhnya.

Dalam novel berjudul 99 Cahaya di Langit Eropa, Hanum Salsabiela Rais juga sepakat bahwa esensi sejarah bukanlah hanya siapa yang menang dan siapa yang kalah. Lebih dari itu, siapa yang lebih cepat belajar dari kemenangan dan kekalahan. Penulis yang mampu memahami kehidupan sebagai pembelajaran, bahwa benar jika hidup bukan terletak pada siapa yang lebih unggul diantara mereka. Tetapi dialah yang mampu memahami dirinya terhadap tujuan hidup yang ingin dicapai. Maka kita akan kembali mengingat letak keunikan manusia, bahwa setiap diri memiliki potensinya masing-masing.

Putu Wijaya dalam puisinya Menang Tanpa Seorang pun Kalah (2014) sebagai materi Lomba Baca Puisi 45 Tahun Teater Mandiri, September mendatang. Dalam puisinya ia menulis, Melepas malam, membelah kabut/ Aku pun menukik ke sanubari/ Walau hanya cahya kecil di atas laut/ Tapi kapal telah bergerak ke langit untuk bermandi terang/ Dalam suci-Nya, di situ waktu akan bangkit/ Lurus ke depan memotong cakrawala/ Tak ada gentar menembus medan perang baru.

Pada akhirnya, kita tak akan moksa untuk tetap mengikuti jejak yang digariskan Tuhan. Meskipun aral melintang dan ombak hampir-hampir menghancurkan karang, tetaplah beranggapan bahwa kasih sayang Tuhan masih tercurah pada tiap-tiap penciptaan. Tiada langkah terhenti ketika raga masih mampu berdiri di atas kaki sendiri. Maka kita akan memahami proses hidup sebagai pembelajaran bagi diri.

Motivasi yang membuat W.S. Rendra menuliskan syairnya, “merenung seperti gunung, bergerak bagai ombak”. Merenung untuk menciptakan gagasan laksana gunung-gunung, meski diam namun tetap kokoh dengan aktivitas bara api di badannya. Sehingga ketika action, serupa ombak yang mampu menggapai bibir pantai di lautan. Tetap bertahan pada komitmen hingga sampai pada cita-cita yang diharapkan.

Tujuan kita adalah melanjutkan perjalanan. Berusaha menjadi pemenang dan sabar menerima kekalahan. Karena tidak akan ada kekalahan jika semua orang terus berupaya menjadi pemenang bagi kehidupannya yang lalu. Tidak ada alasan pula untuk tidak berusaha melakukan apa saja yang kita rasa bisa. Selagi kegagalan pun masih menyimpan benih hikmah sebagai pembelajaran hidup yang lebih mulia.