Wisudawan Terbaik IAIN Surakarta (Angkatan Kelulusan ke-45) Tahun 2020

Halo, Perkenalkan, Saya Tanti Nur Khasanah, biasa dipanggil Tanti. Lahir di Surabaya, 16 April 1998. Saya anak pertama dari satu bersaudara, ya, biasa disebut dengan “Anak Tunggal”. Banyak orang yang berpendapat bahwa menjadi anak tunggal adalah hal yang istimewa, dimana orang tua pasti akan selalu memanjakan anak tersebut dengan berlebihan, meletakkan hal-hal yang diinginkan si anak di atas kebahagiaan serta kemampuan mereka, yang tak jarang, hal itu membuat sang anak menjadi malas, pemarah, dan tak tau makna perjuangan. Ya, stereotip seperti itu memanglah sudah melekat di lingkungan kita. Namun, hal itu tidak terjadi pada Saya. Menjadi anak tunggal membuat saya memiliki tanggung jawab yang besar, untuk membahagiakan ke dua orang tua saya, karena hanyalah saya, satu-satunya putri yang mereka miliki. Membuat mereka tersenyum bangga dan menitihkan air mata bahagia, bahwa anak semata wayangnya dapat menjadi sosok anak yang mereka dambakan selama ini, merupakan motivasi terbesar saya untuk terus meniti prestasi, baik dalam hal akademik maupun non-akademik. Ya, sebuah motivasi serta tanggung jawab yang besar bagi Saya pribadi.

Terlepas dari itu, saya merupakan sosok yang menyukai tantangan. Ketika di bangku MAN (MAN 2 Surakarta), saya banyak mengikuti perlombaan, terutama olimpiade di bidang Matematika, karena memang saya sangat tertarik dengan dunia eksak, namun, saat di bangku perkuliahan, Allah SWT memberikan saya jalan lain, untuk mengenal dunia Bahasa serta Pendidikan, dengan menjadi bagian dari Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Adab dan Bahasa (yang sebelumnya berada di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan), Institut Agama Islam Negeri Surakarta, di tahun Angkatan 2016, juga sebagai salah satu di antara 150 mahasiswa baru angkatan 2016 IAIN Surakarta, yang mendapatkan Beasiswa Bidikmisi. Ketika berada di periode sebagai mahasiswa (terutama menyandang gelar sebagai mahasiswa bidikmisi), membuat saya mendapatkan challenge serta tanggung jawab besar, untuk berprestasi. Hal ini pula lah, yang membuat saya kerap mengikuti perlombaan, baik Pidato Bahasa Inggris, Karya Tulis Ilmiah, Esai, Debat Bahasa Inggris, Desain Grafis dan Video Competition. Kesenangan saya akan tantangan juga membuat saya mengikuti beberapa organisasi, untuk membuat saya aktif dan mengenal lebih banyak kawan serta relasi. Beberapa organisasi yang perah saya ikuti adalah: Forum Diskusi dan Riset Ilmiah (FORDISTA) IAIN Surakarta, Forum Mahasiswa Bidikmisi (FORMASI) IAIN Surakarta, Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia Klaster Mahasiswa Bina Wilayah Jawa Tengah dan DIY (MITI-KM BANWIL JADIY), Seni Rupa dan Desain (SRD) IAIN Surakarta (meskipun tidak menetap lama), Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI), Peneliti Muda IAIN Surakarta (komunitas), English Debate Community (SEED) IAIN Surakarta, Tutor Bilingual FAB IAIN Surakarta, TRAN(S)CRIPT, kelompok KKN 72 Sumberejo dan beberapa organisasi di luar kampus, seperti: Surakarya (Komunitas Hand Lettering dan Calligraphy Surakarta), Karang Taruna ASRI, Karang Taruna Desa Manang, Dasiat (Siaga Pemuda Sehat) Desa Manang dan komunitas Content Creators Surakarta.

Mungkin, di antara kalian, ada yang bertanya, bagaimana bisa, membagi waktu serta menjaga fokus kuliah, menjaga stabilitas IPK, mengerjakan tugas (makalah, mini riset dan skripsi),  mengikuti perlombaan dan events, aktif seminar, membuat konten (desain grafis dan YouTube baru-baru ini juga Podcast), menjadi guru les (untuk tambahan uang saku) dan tutor English Club di SMK N 2 Surakarta, tutor privat grammar, tutor bilingual serta tetap aktif berorganisasi di satu waktu yang sama, yakni di periode menemba ilmu perkuliahan, bagaimana bisa? Tentu bisa!. Semua ini membuat saya mengingat sebuat stereotype yang kembali ada di masyarakat, khususnya masyarakat di lingkungan kuliah dan universitas, bahwa: Mahasiswa yang ber-IPK tinggi, adalah mereka yang terlalu fokus pada hal akademik dan nilai, tidak dengan hal-hal di luar akademik (kompetisi dan organisasi), menjadikan mahasiswa yang ber-IPK tinggi, kerap dipandang nerd dan cupu dalam interaksi dan minim social skill. Ya kan? Seringkali hal ini dimunculkan di film-film, yang akhirnya semua orang berpikiran seperti itu. Padahal, nyatanya, mengejar IPK dan menjaganya tetap stabil hingga menyandang gelar cumlaude bahkan Terbaik, bukanlah dinding tebal yang menghalangi seorang mahasiswa untuk tetap aktif berkompetisi, melebarkan relasi dan tetap bermanfaat bagi lingkungan yang termanifestasi dalam organisasi, hingga tetap kreatif dengan menciptakan konten dan karya seni yang semoga, bisa menginspirasi. Selama, kita dapat mengatur waktu dan senantiasa kritis kepada diri sendiri untuk pandai menentukan skala prioritas, maka menggabungkan dua dunia yang terkesan sangat berbeda itu, bukanlah hal yang tidak mungkin. Ingat, unsur religi, aktif, kritis dan disiplin adalah kunci, sedang ambisi hanyalah hiasan yang menghiasi jiwa muda yang aktif ini. (Konten dan karya saya dapat diakses melalui: Instagram (@qkhazanah, @thesaturnians), YouTube Channel (Tanty’s Jorunal), Blog (http://mynameistanty.blogspot.com) dan Podcast (Anomali Diri yang tersedia di Spotify, Anchor, Google Podcasts, Breaker, PocketCasts dan Radio Public).

Saya sangat bersyukur, ketika saya berkuliah di IAIN Surakarta terutama lolos menjadi mahasiswa bidikmisi. Mengapa? Karena, bidikmisi tidak hanya memberikan bantuan berupa materi, namun juga pelatihan-pelatihan bagi kami. Saya ingat, waktu saya MTs (MTsN Surakarta II), saya dan teman saya bermimpi untuk bisa singgah dan belajar Bahasa Inggris di Kampung Inggris Pare Kediri, dan Alhamdulillah, di pergantian semester 3 menuju 4 perkuliahan, bidikmisi memberikan 150 mahasiswa angakatan 2016 kesempatan emas, untuk belajar Bahasa Inggris dan Bahasa Arab selama satu bulan full, tanpa membuat kami bingung memikirkan bagaimana  akomodasinya, uang saku, konsumsi, dan asrama. Ya, semua hal telah ditanggung oleh pihak bidikmisi dan kampus. Itu adalah satu momen yang tak terlupakan. Selama di sana, saya bukanlah siswa yang rajin mengerjakan tugas jauh sebelum deadline presentasi (karena saya juga berpikir bahwa ini bentuk piknik), sedikit nakal memang, namun siapa sangka, kenakalan usil itu, malah membuat saya meningkatkan kemampuan berfikir dan menyampaikannya dengan Bahasa Inggris, secara spontan. Dengan terlatihnya cara berpikir spontan selama satu bulan, membuat speaking skill, stage and performing management, problem solving serta critical thinking saya meningkat, terutama untuk hal-hal yang membutuhkan spontanitas tinggi. Itulah mengapa, saya juga merupakan kontingen IAIN Surakarta dalam perlombaan Debat Bahasa Inggris. Ternyata, tidak semua hal buruk berakhir buruk, tergantung bagaimana kita menyikapinya dan mempertanggung jawabakannya. Tidak berhenti di situ, pelatihan lainpun diberikan, seperti pelatihan leadership langsung di markas TNI, pelatihan kewirausahaan, kepenulisan baik jurnal ataupun majalah dan lain-lain. Banggalah kalian yang juga menjadi bagian dari bidikmisi.

Seluruh hal yang saya ceritakan ini tentunya menguras banyak darah, keringat dan air mata di dalam setiap kisahnya. Kehadiran keluarga (terutama Ayah dan Mama (Alm. Supriyono, Sumanto dan Retno Moertantini)), Mama yang mengajarkan bagaimana open minded dan memiliki beautiful minds (seperti yang dijelaskan oleh Edward de Bono di bukunya yang berjudul: How to Have a Beautiful Mind) sekaligus partner diskusi dan debat yang ter-Oke, Sosok-sosok religius yang penuh nasehat islami (Om Budi dan Tante Is), teman-teman kelas, sahabat-sahabatku di organisasi, teman baru di setiap event dan lomba, teman di Surabaya, teman satu angkatan, kakak tingkat, adik tingkat, teman di dunia online yang nyatanya juga menjadi support systems, teman di negeri lain, dosen-dosen yang dekat dengan mahasiswanya, staff subag kemahasiswaan yang senantiasa mendorong saya untuk tetap aktif lomba (terutama Pak Asyik yang sangat membantu saya dalam menjaga api semangat dalam aktif mengikuti kompetisi dan menghidupkan kembali komunitas English Debate IAIN Surakarta), dan segenap support systems yang tak dapat saya sebut satu-per-satu. Ya, memang benar jika manusia adalah makhluk sosial. Karena, tak dapat ku bayangkan, bila ku hidup di dunia tanpa sosok-sosok yang teramat suportif seperti itu. Harapanku adalah, semoga di dunia selanjutnya dan di dunia ‘sesungguhnya’, ku tetap akan bertemu dengan orang-orang seluar biasa supportive dan ramah serta hangat dalam hal kepribadian, seperti kalian semua. Terima kasih yang teramat dalam kuucapkan.

Terakhir, menjadi seorang mahasiswa, kita dituntut untuk kritis, Cerdas, kreatif, santun, disiplin dan aktif, agar dapat bermanfaat dan menghidupkan makna “The Agent of Change”, baik perubahan untuk diri sendiri, keluarga, lingkungan sekitar, masyaarakat luas, agama serta negara. Sangat amat disayangkan, apabila selama periode yang membara itu (periode menjadi mahasiswa), kita malah terkungkung di dalam gelapnya ketidak-aktifan dan dunia tanpa kreatifitas. Akan sangat menyesal bila hari-hari perkuliahanmu tidak kau isi dengan kesibukan yang nyatanya sangat seru untuk dilakukan. Sedikit kenangan yang akan tercerita ke anak cucu di masa depan, bila kau terus-terusan meredupkan api semangat yang harusnya membara. Masa muda adalah masa yang membara. Bara semangat di dalam jiwa, haruslah kau salurkan. IPK itu penting! Karena Indeks Prestasi Komulatif tersebut tidak hanya soal angka, namun berasal dari banyak hal, yang mampu mengukur tingkat kecerdasan, critical thinking, problem-solving skill, keatifan serta kreatifitas kita dalam menerima dan memahami materi di kelas. Berorganisasi dan aktif mengikuti Kompetisi maupun menjadi volunteer juga penting, akan ada banyak hal yang akan kau dapatkan di sana, terutama praktek untuk mengasah diri dalam menghadapi realita yang asli setelah melalui masa studi. Menyalurkan hobi dan menciptakan karya yang kau sukai juga tak kalah penting, karena itu adalah bagian dari identitas diri pribadi serta cahaya hidup sesuai dengan definisimu akan ‘hidup’. Tak lupa, membaktikan diri di lingkungan masyarakat jugalah sangat penting, karena seluruh ilmu dan keterampilan yang kita terima di bangku kuliah serta setinggi-tingginya kita menggapai cita dan Pendidikan, tetap saja, tanggung jawab untuk membaktikan diri ke masyarakat adalah titik balik dan rumah bagi kita. Tak selamanya membaktikan diri itu susah, mulai saja dengan aktif di lingkunganmu saat ini terutama dalam membangun desamu, itupun sudah menjadi awal yang sungguh mulia. Buat apa sekolah tinggi, bila hal itu hanya menjadi sekat pemisah untuk membedakan diri dengan rakyat, Pendidikan bukan menciptakan kasta baru di masyarakat. Teruslah bertaqwa, bersemangat, kritis, cerdas, aktif serta kreatif! Yang MUDA yang MEMBARA. Salam dari Tanti, sang Makhluk Saturnus untuk kau para pembaca, para penerus bangsa! Terima kasih! BANGGA IAIN SURAKARTA!