Prof. Peter Carey: Raden Mas Said Menyalin Alqur’an sampai Enam Kali


SINAR- Rabu, (02/03) sivitas akademika IAIN Surakarta sudah melakukan kesepakatan bahwa untuk penyebutan nama IAIN Surakarta ketika alih status menjadi UIN adalah dengan nama Raden Mas Said. Hal ini bisa dilihat dari hasil Sidang Senat yang digelar pada tanggal 27 Januari 2020 yang menetapkan bahwa UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA menjadi nama yang dipilih untuk menggantikan IAIN Surakarta ketika kelak menjadi UIN. Mengapa Raden Mas Said? Ini merupakan pertanyaan penting yang patut diajukan.

Untuk itu, Fakultas Adab dan Bahasa IAIN Surakarta pada Selasa, 2 Maret 2021 menggelar Webinar Nasional dengan tema “Menelusuri Jejak Kepahlawanan Raden Mas Said” di Aula Lantai 4 Gedung FAB. Dalam webinar kali ini, Dekan Fakultas Adab dan Bahasa dalam sambutannya menyatakan bahwa webinar kali ini penting untuk menjawab pertanyaan masyarakat mengapa UIN Raden Mas Said. Dengan menghadirkan sejarawan ahli Indonesai abad ke-18 ini diharapkan pertanyaan ini dapat diberikan jawabannya.

Sementara itu, Rektor IAIN Surakarta, Prof. Dr. Mudofir, S.Ag., M.Pd. selaku Keynote Speaker memberikan apresiasi terhadap kegiatan ini, sebagai bagian proses akademik untuk merealisasikan UIN Raden Mas Said. Kegiatan ini ke depannya menjadi peristiwa sejarah ketika penyematan nama Raden Mas Said di belakang kata UIN. Relevansi penyematan nama ini di antaranya terkait dengan fakta sejarah bahwa Raden Mas Said berasal dari Keraton Kartasura, sebagaimana banyak dikaji para sejarawan. Rektor menambahkan bahwa melalui kegiatan ini, “tidak salah kalau kita menggunakan nama UIN dengan nama UIN Raden Mas Said Surakarta. Tahun ini, nama ini sudah dicantumkan dalam Perpres alih status UIN”.

Menyahuti paparan Rektor di atas, narasumber webinar Prof. Peter Carey menyatakan bahwa Raden Mas Said merupakan seorang pangeran atau bangsawan muda yang sejak berumur 16/17 tahun sudah bergabung dengan Kapitan Sepanjang (Khe Panjang, Souw Pan Chiang) selama Geger Pacinan (1740-1743). Sampai berumur 31 beliau diangkat oleh Belanda (VOC) dan PB III, saat Perjanjian Salatiga (17 Maret 1757), sebagai seorang Pangeran Amardika dan Kepala Kadipaten Mangkunegaran di bekas kediaman Tumenggung Arung Binang (bupati Kebumen, Bagelen) di Solo.

Lebih penting dari itu adalah warisan yang ditinggalkan Raden Mas Said berupa salinan Alqur’an sampai enam kali. “Sebuah warisan sastrawi Jawa yang hampir dilupakan saat ini, tapi dipertahankan pada era MN I, yaitu ia telah menyalin Kitab al-Qur’an sampai enam kali sebelum meninggal pada 28 Desember 1795”, demikian tulis Prof. Carey.

Narasumber lain, yaitu Dr. Syamsul Bakri, M.Ag., menyampaikan beberapa poin terkait religiusitas Raden Mas Said, yang di antaranya tampak dari pendirian Masjid Al-Wustha di Mangkunegaran.

Webinar Nasional bertepatan dengan momentum alih status dari IAIN Surakarta menjadi UIN Raden Mas Said Surakarta tahun ini, InsyaAllah. (Gie/ Humas Publikasi)