Karakter Bangsa Bukan Hanya Milik Guru

Beberapa dekade yang lalu, dunia pendidikan sedang dihebohkan akan kemunculan pendidikan karakter. Bahkan kehebohan akan pendidikan karakter ini sampai sekarang masih terus saja semarak, mulai dari buku yang berbau karakter, penelitian-penelitian, bahkan juga sampai diiklankan tentang pentingnya hal itu. Pendidikan karakter ini tidak lain ditujukan agar siswa-siswanya memiliki karakter yang positif, sampai pada akhirnya menjadikan manusia beradab dan bermoral.

Masyarakat banyak yang beranggapan bahwa guru selama ini lebih banyak mengajarkan ilmu pengetahuan saja, hal yang sifatnya kognitif. Setiap hari, murid-murid hanya dicekoki pengetahuan dan soal-soal ujian, padahal sebenarnya ada tiga ranah yang harus dibangun dan dikembangkan yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.

Ketiga hal inilah yang pada akhirnya akan membawa manusia tersebut menjadi manusia yang benar-benar berkarakter. Ketidakseimbangan di salah satu sisinya maka akan menyebabkan dampak-dampak negatif dan hal itulah yang pada akhirnya mengakibatkan bobroknya moral di negeri ini.

Guru adalah seorang yang mengajarkan ilmu pengetahuan, tata krama dan hal-hal positif lainnya. Guru menjadi sosok yang berbeda diantara manusia yang lainnya. Ia mempunyai ilmu, kepribadian, metode di dalam mengajar, yang kita sering menyebutnya sebagai keahlian akademik pedagogik dan profesional.

Dalam istilah Jawa, figur seorang guru menempati posisi yang cukup tinggi digugu lan ditiru apapun yang dikatakan, diperbuat, dicita-citakan oleh guru berdampak juga akan ditiru oleh murid-muridnya. Dan, kemuliaan seorang guru ditentukan oleh seberapa tinggi ilmu, tata krama dan keprofesionalan seorang guru di dalam mengajarkan atau di dalam memberikan keteladanan kepada murid-muridnya.

Kalau kita boleh jujur, pendidikan karakter ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Agama, Pendidikan Budi Pekerti. Dengan bekal pendidikan karakter tersebut, diharapkan moral bangsa Indonesia menjadi lebih baik, bermoral dan berakhlak mulia atau dengan kata lain karakter-karakter positif telah terbentuk akan menjadikan manusia memiliki kreativitas dan inovasi yang tinggi. Sebagaimana disebutkan Dirjen Pendidikan Dasar 2011 bahwa karakter-karakter yang dimiliki suatu negara akan selalu mempengaruhi kreativitas dan inovasi yang akan dihasilkannya.

Meskipun demikian, kemunculan pendidikan karakter ini haruslah kita pahami secara komprehensif, mendalam dan kritis, agar salah satu pihak tidak merasa dirugikan bahkan disalahkan. Guru sebagaimana disebutkan di atas, akhir-akhir ini menjadi salah satu pihak yang terpojokkan dan bahkan menjadi salah satu penyebab kerusakan moral yang sedang terjadi di Indonesia ini. Kalau hal ini terus dibesar-besarkan, yang terjadi adalah saling menyalahkan.

Masyarakat haruslah menilai secara profesional sebagaimana diungkapkan oleh tokoh kita yaitu Ki Hajar Dewantoro yaitu, Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tutwuri handayani. Ketiga hal ini harus dipahami secara menyeluruh dan tidak hanya untuk guru/pendidik maupun praktisi pendidikan saja melainkan juga pemerintah dan masyarakat luas. Karena kalau hal ini hanya dibebankan pada guru saja, maka perubahan sangat mustahil terjadi.

Ing ngarsa sung tulodha berarti orang yang berada di depan harus dapat memberikan contoh-contoh yang dapat diteladani oleh generasi penerus. Orang yang berada di depan harusnya tidak dipahami secara sempit saja yaitu hanya seorang guru, melainkan setiap individu yang telah diberi kepercayaan untuk membina kelompok-kelompok/organisasi maupun individu yang secara tidak langsung tidak diberi kepercayaan.

Ing madya mangun karsa berarti setiap individu haruslah mempunyai keinginan yang kuat di dalam membangun peradaban yang berkarakter di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Masyarakat harus berani berlomba-lomba untuk belajar, bekerja, bermasyarakat secara tertib, disiplin dan bertanggung jawab. Keinginan yang kuat itu haruslah diwujudkan secara bersama-sama, di lingkungan rumah/keluarga, masyarakat, perkantoran, sekolah, dan lain-lain.

Tutwuri handayani berarti setiap individu mempunyai tanggung jawab serta perhatian secara pribadi maupun kelompok di dalam menjalankan perintah pemimpin. Kesiapan menerima maupun menjalankan perintah atau tata aturan akan mejadikan manusia untuk selalu berusaha sungguh-sungguh untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya dan memberikan saran atau kritik apabila ada peraturan yang menyimpang dari nilai-nilai yang berlaku di sebuah masyarakat. Karena kita semua menyadari bahwa manusia tidak terlepas dari salah dan lupa, tapi bukan berarti membuka peluang untuk saling menyalahkan.

Dari tiga hal di atas menunjukkan bahwa membangun karakter suatu bangsa dibutuhkan pemahaman yang mendalam serta kritis di dalam melihat/membaca teks suatu materi maupun permasalahan yang sedang terjadi. Kerja sama yang baik antara sekolah, pemerintah dan masyarakat luas akan menjadikan anak bangsa berkarakter positif, dan dengan karakter itulah yang pada akhirnya akan mendongkrak kualitas bangsa melalui kreativitas serta inovasi-inovasi yang spektakuler.

Baik-buruknya karakter suatu bangsa dipikul oleh setiap individu yang mendiami suatu bangsa tersebut. Jangan hanya berharap pembentukan karakter itu diserahkan oleh sosok guru saja, karena hal tersebut sangatlah tidaklah mungkin, apalagi menyerahkan nasib bangsa hanya pada “guru”. Yang ada hanyalah guru menjadi tempat yang paling salah dan terpojokkan.

Sebagai seorang guru, sudahkan kita berkaca kepada diri kita sendiri bahwa kita ini merupakan sosok yang dapat diteladani? Sebagai masyarakat, sudahkah masyarakat berkaca kepada diri mereka bahwa mereka juga mempunyai tugas sebagaimana seorang guru? Sebagai birokrasi pemerintah, sudahkah kita menjalankan tugas sebenar-benarnya di dalam meletakkan kebijakan-kebijakan serta menjadi sosok yang dapat dijadikan panutan masyarakat luas pula?

Tulisan ini dimuat pada Harian Joglosemar

http://joglosemar.co/2015/01/opini-karakter-bangsa-bukan-hanya-milik-guru.html

Dicari, Buku Layak Anak

Beberapa waktu lalu Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengendus peredaran komik yang berisi tentang cerita cinta sesama jenis atau lebih dikenal dengan Homoseksual yang telah beredar di toko buku. Buku yang diterbitkan oleh salah satu penerbit yang terkemuka di Indonesia ini sungguh sangat mencederai dunia perbukuan khususnya buku tentang anak. Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan khusunya bagi para guru ataupun orang tua sendiri ketika dalam memilah buku bacaan anak . Seperti diketahui bahwa didalam diri seorang anak mempunyai potensi yang terpendam yang memiliki sejuta harapan dikemudian hari akan mengisi segala sektor di setiap bidang. Jangan sampai kita mencederai mereka dengan bacaan yang tidak mencerdaskan hanya demi meraup keuntungan semata!

Seperti yang kita ketahui seorang anak belum dapat memilih bacaan anak yang baik untuk dirinya sendiri. Anak akan membaca apa saja bacaan yang ditemui tidak pedulikan cocok atau tidak untuknya karena memang belum tahu. Agar anak dapat memilih bacaan yang sesuai dengan perkembangan ke-dirian-nya, sebagai orang tua atau guru harus peduli dengan memberikan konsumsi buku bacaan yang tepat. Namun demikian, pemilihan bacaan anak haruslah tidak dilakukan secara serampangan atau berdasarkan selera subjektif dan kacamata orang dewasa. Bagaimanapun yang berkepentingan dalam hal ini adalah anak, maka kebutuhan anak harus menjadi kriteria pertama yang dijadikan pegangan. Pemilihan bacaan harus mempertimbangkan hal-hal tertentu yang telah diakui ketepatannya dan dapat dipertanggungjawabkan.

Anak yang berstatus bayi mulai belajar bahasa lewat bunyi dan ucapan-ucapan yang didengarnya dari sekelilingnya. Pada mulanya anak tidak dapat membedakan bunyi-suara manusia dengan bunyi-bunyian yang lain, tetapi lama-kelamaan mampu membedakannya. Kenyataan bahwa seorang bayi berada dalam kondisi yang amat rentan dan tidak berdaya, bahkan terhadap kelangsungan hidupnya sendiri, tidak dapat berbuat apa pun tanpa bantuan orang lain, tetapi dapat belajar berbahasa sungguh merupakan sebuah keajaiban. Apalagi dalam waktu yang relatif singkat, yaitu hanya beberapa tahun, anak sudah mampu berbahasa, mampu menguasai bahasanya sendiri, suatu hal yang hampir mustahil terjadi pada diri orang dewasa. Oleh karena itu, orang kemudian mempertanyakan apa sebenarnya yang terjadi dalam diri anak yang diibaratkan sebagai kota hitam (black box) itu, yakni sesuatu yang menunjukan adanya unsur ketidakterpahaman tentang apa yang terjadi. (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 59).  Implikasi dari pemahaman terhadap proses pemerolehan bahasa anak tersebut bagi pemilihan buku bacaan anak,  yakni dalam pemilihan bacaan anak itu mestinya didasarkan pada materi yang dapat dipahami anak, yang dituliskan dengan bahasa yang sederhana sehingga dapat dibaca dan dipahami anak.

Untuk itu, kita harus berfikir kritis memilihkan bacaan cerita anak yang sesuai dan efektif buat anak, bacaan yang baik dan sengaja ditulis untuk konsumsi anak-anak. Hal itu berarti bahwa kita, guru dan atau orang tua, haruslah memahami struktur dan bentuk buku bacaan, sebagaimana halnya kita memahami perkembangan cara berfikir anak, perkembangan emosional, sosial, dan bahasa, serta perubahan kriteria kemenarikan. Singkatnya, kita haruslah mempunyai kemampuan untuk memilih secara tepat bacaan-bacaan yang dimaksud dengan mempergunakan kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan.

Persoalannya kini adalah tema dan moral apa yang baik untuk buku-buku anak? Dewasa ini memperoleh bacaan anak amat mudah. Di toko-toko buku tersedia amat beragam dan banyak buku bacaan anak yang disediakan pada rak-rak khusus. Buku-buku bacaan anak yang dimaksud terdiri dari berbagai genre, baik yang merupakan karya asli berbahasa Indonesia maupun karya-karya terjemahan, atau karya yang terdiri dari dua bahasa: Indonesia dan Inggris. Buku-buku tersebut banyak yang sudah menunjuk dirinya untuk dipakai pada anak usia tertentu atau kelas tertentu sehingga kita tinggal memilih sesuai dengan keadaan anak yang akan diberi bacaan itu. Untuk bacaan anak usia awal sekolah pun banyak buku-buku bergambar yang ditulis dalam dua bahasa, Inggris dan Indonesia. Misalnya, buku Knowing ABC, Mengenal Huruf sambil mewarnai (usia 5-6 tahun) karya Mondy Risutra yang berisi gambar-gambar binatang dan aktivitas tertentu. Dengan demikian, lewat buku dan bantuan kita, anak sekaligus dapat belajar bahasa Inggris secara langsung dalam konteks bacaan cerita yang menarik.  Buku-buku yang ditulis dalam bahasa Indonesia, selain yang merupakan karya kreatif, dalam arti karya asli para pengarang yang bersangkutan, juga banyak beredar buku-buku kumpulan dongeng dari berbagai pelosok tanah air di Indonesia. Misalnya buku-buku kumpulan dongeng berjudul Cerita Rakyat dari Yogyakarta dan Cerita Rakyat dari Surakarta, keduanya merupakan karya Bakdi Sumanto. Sedangkan dalam kelompok buku terjemahan yang saat ini sedang bagus di pasaran seperti buku serial novel Harry Pooter  karya J.K Rowling, Buku serial  Goosebumps karya R.L Stine yang mengalir terus tidak ada habisnya. Demikian juga halnya dengan buku-buku komik impor yang tidak kalah meriah dan membanjirinya di berbagai toko, yang bahkan juga tersedia di toko-toko yang bukan toko buku, misalnya di mini market. Semua buku cerita tersebut menjanjikan cerita yang menarik, menjanjikan  petualangan yang imajinatif anak yang mencekam dan memuaskan.

Hal itu belum lagi kita memperhitungkan bahwa berbagai surat kabar harian pun kini banyak yang menyediakan kolom  atau rubrik dunia anak, misalnya Harian Umum Solopos, Harian Umum Joglosemar, Suara Merdeka, sedangkan yang taraf nasional Kompas khusus edisi minggu. Demikian pula halnya dengan majalah. Bahkan, kini juga relatif banyak majalah yang sengaja diterbitkan khusus untuk dikonsumsikan kepada anak, misalnya majalah Bobo, Anak Sholeh, TK Islam, Ananda, dan lain-lain. Bahkan cerpen-cerpen (dongeng)  yang dimuat di majalah anak-anak kini juga diterbitkan ulang dibuat dalam bentuk antologi cerita anak.

Artinya, dewasa ini anak-anak kita benar-benar dimanjakan dengan ketersediaan bacaan anak-anak demikian banyak pilihan bacaan yang beragam. Buku-buku tersebut, terutama yang berbentuk majalah, atau yang berupa kolom di surat kabar, pada umumnya tidak hanya memuat cerita-cerita, melainkan juga berisi berbagai hal penting yang perlu diketahui anak untuk memperkaya wawasan yang sengaja ditulis dengan kacamata anak yang berwujud tulisan-tulisan nonfiksi. Akhirnya juga harus dikemukakan bahwa sebenarnya tidak banyak anak Indonesia yang mempunyai kesempatan dimanjakan dengan berbagai buku anak. Anak-anak yang tinggal di pelosok atau daerah yang terpinggirkan, akan kurang dapat menikmati limpahan buku-buku berharga itu. Oleh karena itu, pihak sekolah atau lembaga yang terkait, yang peduli dengan anak dan masa depan mereka, yang notabene adalah aset bangsa  di masa depan, haruslah bersedia berkorban mengusahakan buku bacaan anak yang tepat dan mencerdaskan bukan, merusak moral. Selain itu, para penerbit dan toko-toko buku harus benar-benar menyeleksi buku yang masuk sesuai dengan budaya kita.

Dengan buku-buku inilah anak-anak layaknya seperti manusia dewasa pada umumnya dibantu untuk memahami dunia sekitar. Pengetahuan yang diperoleh dari proses membaca ini akan menjadi bekal mereka dimasa yang akan datang. Tugas kita adalah mengarahkan dan mengajak serta memberikan contoh kepada mereka untuk membaca dan membaca.

Tulisan ini dimuat pada laman

http://www.muslimdaily.net/opini/dicari-buku-layak-anak.html