Islam Indonesia dan Keragaman

Islam sebagai ad-Din al-Haq bukan hanya menjadi agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Islam juga merupakan agama peradaban yang membawa rahmat bagi semesta alam, bukan agama teroris maupun agama sekuler. Dengan inilah Allah mengutus Rasul-Nya, Muhammad SAW, sebagai seorang humanis, bukan rasialis. Hal ini ditegaskan dalam Surat Al-Anbiya ayat 107 :

 “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam”.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, tonggak kebenaran dipegang oleh para sahabat, kemudian diganti oleh tabi’in. setelah itu tabi’ tabi’in, kemudian para ulama sebagai penerus dakwah Islamiyah.

Ulama yang dinobatkan sebagai warasatul anbiya, pewaris nabi, serta orang yang takut kepada Allah merupakan golongan manusia yang harus kita segani. Dari merekalah kita dapat mengetahui ulum ad-Din, serta melalui mereka pulalah kita dapat memahami Al Quran dan Sunnah. Ulama sebagai orang yang disegani di masyarakat seringkali disebut sebagai “Kyai” di Jawa, selain itu juga karena dimuliakan dan dituakan disuatu daerah maka juga disebut atau panggilan “Mbah”. Masyarakat Jawa lebih elegan ketika mereka memanggil para alim ulama atau para syeikh dengan sebutan “Mbah”. Sebutan-sebutan yang lekat dengan unsur jawa tersebut sudah melekat dan itu tidak merubah esensi yang ada pada ulama dan syeikh nya sendiri. Jadi adanya istilah-istilah Jawa dalam proses keberagaman Islam di Indonesia bukan lah hal yang baru dan aneh.

Begitu pula jika baru-baru ini ada istilah “Islam Nusantara” sebenarnya itu tidak perlu diperdebatkan tentang boleh dan tidaknya Islam Nusantara. Untuk mengetahui makna dari Islam Nusantara setidaknya patut dipahami penyataan Ali Mustofa Ya’qub bahwa antara agama (Islam) dengan budaya (Nusantara) itu berbeda. Jadi agama dan budaya tidak dapat disatukan. Akan lebih tepat jika artinya adalah Islam yang bercorak budaya, yaitu dalam budaya tersebut terdapat nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam seperti keluhuran budi pekerti, toleransi, keadilan, dan kesantunan.

Menurut saya, istilah Islam Nusantara seyogyanya dapat dipahami secara mendalam supaya tidak memicu konflik horizontal yang bersifat rasial dan antar sesama warga negara Indonesia. Sebagaimana halnya sejak awal Islam masuk ke bumi nusantara pada umumnya dengan jalan damai, hanya masalah istilah seharusnya tidak perlu diributkan apalagi saling menyalahkan.


Unik

Boleh jadi hal inilah yang membuat para orientalis maupun peneliti asing tergiur untuk meneliti Islam di Nusantara karena memang terkesan unik dan langka serta jarang terjadi di negara-negara lain. Seperti halnya Clifford Geertz, Snouck Hurgronje, dan William Liddle adalah ilmuan barat yang terkenal kerena meneliti tentang Islam di Indonesia. Karena sejerah Islam di Indonesia, memang memiliki keunikan tersendiri karena disamping sebagai pemersatu bangsa juga memberikan nuansa baru dalam keber-Islam-an yang berbeda dengan karakter dan sifat ke-Islam-an di negara-negara Islam lain, terutama di Timur Tengah.

Islam di Indonesia terbukti mampu berinteraksi dengan budaya lokal. Terjadinya akulturasi budaya dan agama tidak terlepas dari kegigihan dakwah Walisongo dan para wali lainya di Jawa. Para wali dalam melakukan Islamisasi atau menghayati agama berdasarkan tiga hal penting yakni toleran, moderat dan akomodatif. Bagi seorang muslim, keimanan yang dibalut dengan symbol-simbol tidaklah cukup. Orang yang telah beriman harus disempurnakan dengan amal dan ibadah yang baik, serta perilaku yang terpuji (akhlaq al-karimah). Fenomena akulturasi budaya dengan agama di Jawa juga menyebabkan terjadinya dua hal. Pertama, agama Islam dibalut dengan budaya jawa. Kedua, kebudayaan jawa yang dibalut dengan Islam. Islam yang dibalut dengan kebudayaan Jawa, misalnya, Maulid Nabi, Rajaban, Selikuran (pada malam yang diduga Lailatul Qadar), dan lain sebagainya.

Sedangkan budaya Jawa yang dibalut dengan Islam misalnya, sekaten, mitoni, ngupati, ruwatan dan lain-lain. Sejatinya jika kita mau mendalami dan mengkaji tradisi budaya masyarakat Jawa sebagaimana dicontohkan di atas sebenarnya terdapat dasarnya. Sebagai muslim sudah seyogyanya jangan menyalahkan, membid’ahkan, memusyrikkan, apalagi mengkafirkan muslim yang lain. Sejatinya muslim yang mengamalkan amalan-amalan seperti diatas mempunyai dasar dan pegangan tersendiri. karena ulama dan walisanga ketika berdakwah sebenarnya berprinsip dengan istilah kaidah al-muhafadzatu ‘ala al-muqadimil shaalih wal akhdu bi al-jaddidil ashlah, menjaga tradisi lama yang positif dan mengambil tradisi baru yang lebih positif.

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Solopos, 31 Juli 2015.

Pendidikan, Penguatan Masyarakat Sipil, dan Pengembangan Demokrasi

Topik pendidikan dalam kaitanya dengan upaya penguatan masyarakat sipil dan pengembangan demokrasi dapat dikatakan sebagai topik yang menantang walaupun bukan topik yang sama sekali baru. Dalam konteks ke-Indonesia-an ini akan menjawab bagaimana pendidikan seyogyanya diselenggarakan dan dikembangkan untuk penguatan masyarakat sipil dan pengembangan demokrasi demi mewujudkan kemakmuran bersama. Untuk menjawab pertanyaan itu sebenarnya tidak bisa bersifat final, karena ketiga entitas pendidikan, masyarakat sipil, dan demokrasi itu bersifat dinamis. Bahkan tentang demokrasi sendiri misalnya sering dikatakan sebagai suatu unfinished journey – suatu perjalanan yang nyaris tiada titik akhir. Begitu pula pendidikan yang bersifat on going, yang memerlukan penyempurnaan menyeluruh dan berkelanjutan. Masyarakat sipil pun juga senantiasa berubah.

Esensi Pendidikan

Dalam konteks ke-Indonesia-an esensi pendidikan adalah pemuliaan harkat manusia: pengembangan akal pikir dan budaya dalam dan untuk kehidupan yang dengan itu manusia dapat memperoleh bekal kemampuan yang memadai untuk memikul amanah khalifah (pengatur/pemimpin) di muka bumi, dan memiliki bekal untuk menuju penghambaan diri yang tulus kepada sang Khaliq. Pendidikan sebenarnya lebih dari sekedar pengajaran, namun mencakup juga penggalian ilmu (research), pengembangan dan penerapan ilmu (innovation), penyebarluasan (transfer), dan pewarisan nilai (socialization). Dalam penyelenggaraanya pendidikan dalam konteks ke-Indonesia-an harus mencakup empat elemen yaitu: Isi/muatan ilmu, dalam hal ini bukan hanya materi ajar dan kurikulum tapi juga persoalan (issue) penting yang dihadapi oleh masyarakat luas. Penyampaian, secara sederhana ini bisa dimaknai dengan pengajaran yakni pemaparan materi oleh guru di ruang kelas, akan tetapi secara luas ini adalah dorongan untuk berfikir secara sistematis, skeptis dan kritis terhadap setiap pencapaian “kebenaran” dan senantiasa untuk menyempurnakannya “mencapai kebenaran sampai persembunyianya terakhir”. Pemimpin dan/elite, senantiasa diidealkan untuk menjadi teladan/rujukan untuk semua warga dan sekaligus penggerak untuk perubahan yang lebih baik. Pemimpin pada umumnya memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari masyarakat kebanyakan, dan yang lebih penting adalah mereka memiliki kesadaran yang sangat tinggi akan tanggung jawab dan tuntutan peran dalam sejarah terutama terkait nasib bangsa. Dan yang terakhir adalah masyarakat dan kultur, menyangkut hal ini ada tiga hal yang sebenarnya satu: orang berilmu, ilmu itu sendiri, dan lembaga keilmuan. Ketika masyarakat dan budayanya sudah tidak menghargai tiga hal tersebut maka bangsa akan mengalami degradasi menuju kehancuran.


Pendidikan dan penguatan masyarakat sipil

Kalau pendidikan memiliki esensi pokok pemuliaan harkat manusia, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat sipil memiliki esensi sebagai tempat penyemaian dan atau semacam habitat bagi tumbuhnya manusia dengan kualitas dan karakter sebagaimana pendidikan menjadikanya. Artinya seperti apa kualitas masyarakat sipil cenderung tergantung pada pendidikan seperti apa yang telah dikembangkan. Ketika pendidikan mengambil orientasi hanya untuk upaya dapat mengetahui (knowing), memahami (understanding), dapat menjelaskan (explaining) maka kualitas masyarakat sipil lebih didominasi oleh sikap pragmatis dan suka mencari jalan pintas; namun apabila pendidikan dikembangkan dengan tujuan lebih dari itu, termasuk nilai-nilai etika dan moral untuk rujukan perilaku dalam suatu orientasi tujuan “menjadi” (being), maka penghargaan terhadap proses dan pencapaian reputasi lebih memperoleh tempat yang pada gilirannya kesadaran akan pentingnya rasa tanggung jawab, ketulusan dan kejujuran akan lebih nampak.

Sisi fungsional dari masyarakat sipil dapat dikatakan dekat dengan upaya pengembangan demokrasi seperti misalnya mempromosikan dan mendorong partisipasi, kontrol terhadap kekuasaan, memberikan exsposure kepada publik mengenai setiap tindak penyelewengan atau miss-management yang dilakukan oleh penguasa, membantu mensemai tumbuhnya elit yang memiliki kecakapan serta komitmen yang memadai terkait dengan tujuan bersama warga, dan membantu memfasilitasi tumbuhnya warga yang well informed dan peduli terhadap persoalan-persoalan bersama masyarakat dan Negara.


Masyarakat Sipil dan Demokrasi

Mengatakan secara sederhana, demokrasi merupakan suatu perangkat system untuk pengaturan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan Negara dan kehidupan bersama masyarakat yang berazaskan pada pemikiran bahwa kekuasaan adalah dari, oleh, dan untuk rakyat. Keputusan kebijakan untuk mengatur kehidupan bersama semua berasal dari, diputuskan bersama oleh, dan untuk tujuan pemakmuran rakyat. Rakyat yang dimaksud dalam kaitan ini adalah warga dari masyarakat terutama sekali masyarakat bernegara.

Demokrasi memiliki keunggulan dibandingkan dengan system lain seperti autokrasi dan oligarki misalnya untuk sistem pengaturan kekuasaan. Hal demikian karena demokrasi memiliki sejumlah esensi pokok seperti yang diidentifikasi oleh Wickell (2014) meliputi 13 nilai yang bersifat prinsispil yakni (1) partisipasi warganegara, (2) kesamaan derajat, (3) toleransi politik, (4) akuntabilitas, (5) transparansi, (6) pemilihan umum diselenggarakan secara teratur, berkala, adil dan bebas, (7) kebebasan ekonomi, (8) adanya control terhadap penyalahgunaan kekuasaan, (9) penerimaan terhadap hasil-hasil pemilihan, (10) penegakan/jaminan terhadap HAM, (11) penerapan sistem multi partai secara konsisten, (12) menjungjung tinggi prinsip rule of law dan (13) jaminan bagi warganya untuk adanya perlindungan dari praktek penyalahgunaan kekuasaan.

Selain dari beberapa hal lebih dari demokrasi diatas ada juga beberapa kelemahannya. Kelemahan yang dimaksud adalah: Pertama, demokrasi lebih kuat memberi janji tetapi kurang bisa menjamin munculnya pemimpin dan kebijakan atau peraturan yang adil. Sebagaimana contohnya di banyak Negara berkembang muncul kebijakan yang sangat liberal dan tidak pro-poor (pro rakyat miskin). Kedua, praktek demokrasi pada kenyataanya relatif mudah dimanipulasi oleh golongan atau kekuatan-kekuatan hegemoni di dalam masyarakat sehingga kebijakan yang dihasilkan kerapkali bias dan cenderung mengutamakan kepentingan kelompok hegemoni. Ketiga, demokrasi didalam implementasinya kerapkali sulit untuk dicarikan model yang sesuai dengan sejarah dan kebudayaan masyarakat yang mengadopsinya, kecuali ada upaya yang tulus untuk senantiasa memperbaiki dengan tetap berpijak pada kepribadian bangsa dan tidak mudah silau dan meniru praktek demokrasi di Negara lain.


Catatan akhir

Pendidikan dengan kualitas yang memadai untuk semua warga Negara akan memungkinkan tumbuhnya masyarakat sipil yang kuat; dan pendidikan yang berkualitas serta masyarakat sipil yang kuat akan memungkinkan berkembangnya tatanan dan praktik demokrasi yang sehat. Pendidikan disini adalah pendidikan untuk semua warga yang berorientasi tidak hanya pada knowing tetapi juga being dengan memasukkan prinsip nilai etika dan moralitas. Demikian juga dalam hal berdemokrasi, mengadopsi nilai-nilai yang tumbuh dan berasal dari bangsa lain, baik dilakukan mengingat munculnya penguatan budaya global, namun jangan ditinggalkan bahwa menghargaai dan mempertahankan nilai-nilai sejarah dan kebudayaan bangsa sendiri adalah merupakan jalan yang paling aman dan menjamin untuk bangsa ini agar bisa sampai pada tujuant terutamanya yaitu kemakmuran semua warga. Sedangkan mengadopsi nilai-nilai dari bangsa lain tanpa menghormati dan mempertahakan nilai-nilai sejarah dan kebudayaan bangsa sendiri dapat menyebabkan timbulnya masyarakat yang tercerabut dari kebudayaanya, kehilangan jati dirinya, dan menjadikan manusia-manusia yang “Salah Kedaden”- manusia-manusia dekaden yang mengidap sindroma kroco-jiwa.

#Disampaikan dalam Seminar Nasional “Meningkatkan Kontribusi Pendidikan Islam Sebagai Investasi Bagi Masa Depan Peradaban Bangsa” di IAIN Surakarta, 30 Juli 2015.

Pelembagaan Uang Mudik

Pelembagaan dana mudik (Lebaran) atau dana hasil kiriman uang dari luar (remitensi) tampaknya masih jarang dilakukan di desa. Padahal, potensi kiriman uang yang berasal dari luar daerah bahkan luar negeri cukup besar dan sering kali mengalir deras ke desa. Dalam situasi demikian, menjadi menarik dan sekaligus tantangan bagi pemerintah desa untuk bisa menjadikan aset berupa dana mudik ini sebagai salah satu sumber pendapatan desa. Lantas, mungkinkah dana mudik ini diubah menjadi salah satu sumber keuangan desa?

Pasal 72 (1) UU Desa menyebutkan bahwa pendapatan desa bisa berasal dari hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga. Artinya, uang yang dibawa para perantau, termasuk para pemudik pada musim Lebaran, selain ditujukan bagi sanak saudara atau keluarga intinya, bisa disumbangkan kepada desa menjadi salah satu sumber pendapatan desa. Hal ini tentu menjadi peluang bagi pemerintah desa untuk memperoleh tambahan pendapatan. Bagaimana caranya?

Yang utama tentu saja desa harus memiliki data soal warganya yang menjadi perantau atau pemudik. Setelah data tersedia, pemerintah desa bisa memanfaatkan momen kepulangan para perantau dengan menggelar forum silaturahmi yang mempertemukan para perantau, pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa, hingga tokoh masyarakat. Dalam forum tersebut, pemerintah desa bisa mempresentasikan visi-misi desa hingga program atau kegiatan yang hendak dilakukan dan membutuhkan dukungan dari semua pihak, terutama para perantau.

Pada awalnya tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Kesediaan para perantau atau pemudik untuk menyumbangkan uang ke desa tentu harus diawali dengan manajemen pemerintah desa dalam mengelola anggaran desa. Jika pemerintah desa dikenal tidak transparan dan bertanggung jawab dalam mengelola uang desa, jangan harap para perantau atau pemudik tersebut bersedia menyumbangkan uangnya ke desa.

Sebaliknya, apabila pemerintah desa memiliki spirit dan komitmen yang jujur dan terbuka dalam mengelola uang desa, kepercayaan warga akan tumbuh dan secara sukarela akan bersedia menyumbangkan uangnya untuk kepentingan dan kebutuhan desa. Kejelasan penggunaan uang desa akan memberi keyakinan dan jaminan kepada para perantau bahwa uang yang disumbangkan ke desa tidak akan dikorupsi, melainkan akan dimanfaatkan untuk membiayai program atau kegiatan skala lokal desa. Pelembagaan uang mudik ke dalam skema anggaran desa diharapkan bisa membiayai program atau kegiatan yang sesuai dengan persoalan yang ada di desa. Manfaatnya juga meluas kepada publik di desa.

Tentu saja, pelembagaan ini bisa terus berlanjut jika uang sumbangan dari para perantau atau pemudik betul-betul dikelola dan dimanfaatkan untuk menjawab persoalan di desa. Jika pada 2015, misalnya, desa A baru memulai program pelembagaan uang mudik dan hasilnya didokumentasikan dan bisa dilihat secara nyata oleh para penyumbang yang notabene adalah para perantau, pada tahun mendatang potensi penerimanaan uang sumbangan dari para pemudik niscaya akan semakin meningkat.

Tulisan ini pernah dimuat di Koran TEMPO, 22 Juli 2015

Islam Moderat Untuk Islam Nusantara

Islam Nusantara yang secara normatif-doktrinal mengacu pada Islam yang menganut rukun Iman dan Islam kaum ahlussunnah wal jama’ah memiliki tiga unsur utama, yaitu Kalam (teologi) Asy’ariyah; Fikih Syafi’i, meski juga menerima tiga mazhab fikih Sunni lainnya; dan tasawuf Al-Ghazali.

Ortodoksi Islam Nusantara ini berbeda dengan ortodoksi Islam Arab Saudi yang hanya mengandung dua unsur yakni Kalam (teologi) Salafi-Wahabi dan Fiqih Hambali. Tasawuf ditolak ortodoksi Islam Arab Saudi karena dianggap mengandung banyak bid’ah yang sesat. Sedangkan karakter Islam Nusantara adalah Islam Wasatiyah (moderat) yang representasi paling sempurnanya adalah Islam Indonesia yang inklusif, akomodatif, toleran dan dapat hidup berdampingan secara damai dengan umat lain.

Dengan demikian, Islam Indonesia adalah model sempurna Islam Nusantara dengan karakter moderatnya. Karena hal itu pulalah Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Juni 2015 lalu mendorong semua organisasi dan universitas Islam untuk menggagas pendidikan Islam Moderat di Indonesia. Yaitu pendidikan Islam yang mengajarkan kedamaian, kerukunan dan dapat hidup berdampingan dengan agama lain. Yang tidak hanya plural namun juga rahmatan lil al-alamin, serta perlunya sebuah perguruan tinggi Islam yang moderat.

Pertanyaanya, apakah pendidikan Islam di Indonesia saat ini belum dipandang moderat sehingga perlu dibangun sebuah perguruan tinggi islam moderat? mengingat dalam sejarah panjang masuknya Islam ke wilayah Nusantara penuh kedamaian. Baru satu Dasawarsa lalu saja itu mulai berubah tepatnya setelah memasuki era reformasi 1998. Saat itu merupakan prakondisi bagi munculnya berbagai kelompok gerakan Islam “Baru” yang berada di luar kerangka mainstream Islam Indonesia yang dominan, semisal Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Al Irsyad, Al-Wasliyah, Jamiat Khair, dan sebagainya.

Kelompok keagamaan Islam seperti Al-Ikhwanul Muslimin (gerakan Tarbiyah) dari Mesir, HTI dari Lebanon (Timur Tengah), Salafi dari Saudi Arabia, Syi’ah dari Iran, dan Jama’ah Tabligh dari India/Banglades merupakan representasi generasi baru gerakan Islam Indonesia. Gerakan-gerakan tersebut oleh Ahmad Syafi’I Mufid disebut sebagai gerakan Transnasional, yaitu kelompok keagamaan yang memiliki jaringan internasional dan datang dengan membawa paham keagamaan (ideologi) baru dari Negeri Sebrang (Timur Tengah) yang dinilai berbeda dari paham keagamaan lokal yang lebih dahulu eksis. Mereka menanamkan ideloginya melalui Lembaga Pesantren, Perguruan Tinggi atau Kampus-Kampus, Majelis Taklim, Lembaga Amil Zakat, Infak dan Sedekah. Sejak saat itulah berbagai peristiwa yang disebut radikalisme, terorisme sering dan selalu menghantui Indonesia.


Ideologi

Gagasan untuk memunculkan pendidikan Islam moderat kiranya mendapatkan momentum yang tepat saat gerakan Keagamaan transnasional itu mulai menancapkan ideologinya melalui lembaga-lembaga pendidikan yang mereka dirikan. Untuk menentukan suatu lembaga pendidikan Islam berideologi Islam Moderat adalah menurut Masdar Hilmy memiliki ciri-ciri (1) menganut ideologi non-kekerasan dalam menyebarkan Islam; (2) mengadopsi cara hidup modern dengan semua turunannya, termasuk ilmu pegetahuan, teknologi, demokrasi, hak asasi manusia, dan sejenisnya. Kemudian (3) cara berfikir rasional; (4) pendekatan kontekstual dalam memahami Islam; (5) penggunaan ijtihad untuk membuat pendapat hukum dalam kasus yang tidak ada pembenaran secara eksplisit dalam Al Qur’an dan Sunnah; dan (6) memiliki sikap-sikap: toleran, harmoni, dan kerja sama di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda.


Lembaga Pendidikan

Lembaga pendidikan yang dikelola Muhammadiyah dan NU adalah contoh yang dapat dijadikan model. Tanwir Muhammadiyah di Bandung pada 2012 telah memutuskan tentang ideologi Muhammadiyah yaitu “ ideologi Islam yang berkemajuan yang memandang Islam sebagai din al-hadarah”. Ideologi berkemajuan ini ditandai dengan beberapa karakter, salah satunya adalah Muhammadiyah bercorak Reformis-Modernis dengan sifat wasatiyah (tengah – moderat).

Dalam pengejawantahanya hal itu terlihat dari kurikulum mata pelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan. Menurut Mohammad Ali menjadi “identitas objektif” yang diterima publik di luar Muhammadiyah dengan lima identitas: pertama, menumbuhkan cara berfikir tajdid/inovatif. Kedua, memiliki kemampuan antisipatif, ketiga, mengembangkan sikap pluralis. Keempat, memupuk watak mandiri, kelima mangambil langkah moderat. Dengan lima identitas itulah lembaga pendidikan Muhammadiyah menjadi penyemai Islam moderat di Indonesia.

Sementara di NU, Ketua Pengurus Pusat LP Ma’arif NU, menyatakan bahwa NU bermaksud mengembangkan apa yang dikonsepsikan sebagai “SNP-Plus” yaitu memiliki Standar Nasional Pendidikan (SNP) ditambah (plus) standar kearifan lokal ke-NU-an. Standar kearifan lokal itu meliputi Tasamuh (toleransi), Tawasut (moderat), Tawazun (seimbang), dan I’tidal (tegak). Inilah “SNP-Plus” yang menjadi kekhasan LP Ma’arif NU dan sekaligus menjadi standar mutu Ma’arif-nya.

Dengan demikian, Muhammadiyah dan NU memiliki gagasan untuk mencanangkan pendidikan Islam moderat melalui perjuangan teologis-kultural masing-masing. Sedangkan Islam Indonesia dewasa ini memiliki banyak varian ideologi radikal. Dan pertarungan ideologi ini pun terjadi dalam kancah Lembaga Pendidikan Islam. Sehingga disinilah letak perlunya menggagas pendidikan Islam Moderat bagi Islam Nusantara.

Essay ini pernah dimuat di Harian Solopos, 27 Juli 2015.

Pesantren Kilat Hanya Sebuah Tradisi

Ramadhan merupakan bulan pendidikan (tarbiyah). Proses pendidikan ini berjalan selama satu bulan penuh. Pendidikan yang dimaksud yakni menjalankan ibadah puasa dan amalan-amalan yang mendatangkan pahala. Bulan Ramadhan selalu ditunggu umat Islam di dunia. Karena bulan ini merupakan bulan kemuliaan. Banyak sekali pahala yang didapat pada bulan Ramadhan apabila kita melakukan perbuatan yang ma’ruf (baik) dan meninggalkan yang munkar (buruk). Biasanya di bulan Ramadhan ini banyak sekali kegiatan-kegiatan keIslaman yang dilaksanakan  dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas keimanan.

Salah satu tradisi yang tidak pernah lepas dari bulan Ramadhan yaitu tradisi kegiatan pesantren kilat. Kegiatan ini hampir disetiap sekolah mengadakan mulai dari jenjang SD sampai SMA. Pesantren kilat adalah pesantren yang diadakan dalam waktu singkat. Pesantren sendiri, menurut Konsultan Pendidikan, Emmy Soekresno, S.Pd., “Pada prinsipnya memisahkan anak dari keramaian. Dengan maksud ingin memberi kepada anak suasana yang, dalam Islam disebut khusyuk. Maksudnya agar anak menjadi fokus, serius, konsentrasi menerima pelajaran, tanpa hingar bingar televisi dan sebagainya.” Dengan ikut pesantren kilat diharapkan anak-anak tidak perlu pergi ke pesantren yang letaknya kebanyakan di luar kota. Cukup di tempat atau gedung tertentu, bahkan di masjid atau mushola dekat rumah.

Tujuan dari kegiatan pesantren kilat menurut Abdurrahman Saleh dalam bukunya Pendidikan Agama dan Keagamaan mengatakan bahwa dengan diadakannya kegiatan pesantren kilat di sekolah-sekolah nantinya akan menghasilkan lulusan-lulusan yang taat beragama, bermoral, cerdas, dan tanggung jawab, serta tangguh dalam menghadapi arus globalisasi. Melalui pesantren kilat anak-anak kita diharapkan bisa menjadi generai Rabbani.

Kegiatan pesantren kilat ini biasanya hanya berlangsung selama satu minggu atau paling lama 2 minggu. Materi-materi yang disajikan seperti Baca Tulis Al-Qur’an, Sejarah Islam, Fiqih, Akhlaq dan lain sebagainya. Peserta dalam pesantren kilat pun dibagi menurut kemampuannya. Biasanya mulai dari kelompok pemula sampai kelompok lanjutan. Materi yang diajarkan tiap-tiap kelompok pun berbeda-beda sesuai jenjangnya. Kalau pemula biasanya belajar membaca Al-Qur’an dan pendalaman Pendidikan Agama Islam. Sedangkan kelompok lanjutan materinya biasanya diatas itu atau perkembangan Islam kekinian (kontemporer). Dalam kegiatan pesantren kilat ini peserta ada yang menginap dan ada juga yang tidak menginap. Kalau menginap biasanya dikenal dengan kegiatan MABIT (Malam Bina Iman dan Taqwa).

Latar belakang dari Kegiatan pesantren kilat ini pada dasarnya akibat menjamurnya kemajuan sains dan teknologi. Ditambah dengan kesibukan para orang tua murid yang tidak ada waktu di dalam keluarga dalam memberikan bimbingan rohani kepada anak-anaknya. Dikhawatirkan anak-anaknya akan terjerumus kedalam kegiatan-kegiatan yang dapat merusak moral. Oleh karena itu, pesantren kilat ini merupakan salah satu alternatif untuk membetengi anak-anak dari pengaruh perkembangan teknologi.

Dalam kegiatan pesantren kilat selain memberikan pengetahuan tentang agama Islam juga adanya program pembinaan akhlak. Dalam pembinaan akhlah salah satu cara yang ditempuh yakni melalui pola pembinaan integrated. Yakni sebuah sistem pembinaan yang dilakukan dengan menggunakan berbagai sarana peribadatan dan yang lainnya secara simultan yang diarahkan untuk pembinaan karakter pada anak. Selain itu, ada beberapa cara yang dapat ditempuh dalam pembinaan akhlak adalah pembinaan (mentoring), keteladanan,bergaul dengan orang berakhlaq baik, sedangkan pembinaan secara efektif dapat dilakukan dengan memperhatikan faktor kejiwaan.

Dalam kegiatan pesantren kilat inilah diharapkan anak-anak yang semula belum paham tentang agama Islam atau bahkan memiliki perilaku menyimpang dalam kehidupannya tidak sesuai dengan tuntunan dalam ajaran Islam. Kegiatan ini dapat dijadikan sebagai tali kendali dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga anak-anak kita tidak terjerumus dalam pengaruh arus globalisasi yang dapat merusak moral anak.

Pesantren Kilat hanya sebuah Tradisi

Pada perkembangan selanjutnya kegiatan pesantren kilat ini bisa jadi hanya sebuah tradisi belaka. Menjalankan kewajiban yang hanya untuk memenuhi tugas dan tanggung jawab dalam sebuah lembaga pendidikan. Tidak hanya itu saja, bahkan kegiatan pesantren kilat ini bisa dapat dijadikan sebagai ajang bisnis. Misalnya setiap siswa diwajibkan untuk membeli buku panduan keagamaan. Kalau dilihat dari segi materi tidak jauh beda dari buku mata pelajaran Agama Islam. Menurut hemat saya, jika pesantren kilat ingin digalakkan dalam dunia pendidikan, berikanlah materi ajar yang terencana dan tertata dengan baik. Baik metode maupun tenaga pengajarnya.

Walaupun kegiatan pesantren kilat ini terlihat hanya singkat, diharapkan dapat memberikan sebuah perubahan perilaku pada peserta didik. Jangan sampai ilmu yang diberikan sekejap, hanya melekat saat dilaksanakan pada program tersebut. Maksudnya, setelah kegiatan pesantren kilat selesai maka selesailah semuanya.

Semoga saja kita sebagai pelaku dalam dunia pendidikan dapat mengubah pola pikir kita. Kegiatan yang hanya bersifat tradisi bisa menjadi kegiatan yang bersifat rutinitas. Jadi, kegiatan pesantren kilat tidak hanya dilaksanakan dalam bulan Ramdahan saja. Namun, dalam kegiatan sehari-hari kita dapat melaksanakan program pendampingan keagamaan untuk peserta didik kita. Sehingga pola pendidikan karakter dan moral dapat terlaksana dengan baik. Kita dapat membetengi anak-anak kita dari pengaruh perkembangan arus globalisasi ini. Semoga saja.

Essay ini pernah dimuat di Harian Umum Joglosemar, 25 Juni 2015.

Memaknai Kembali Pendidikan

Dewasa ini pendidikan di Indonesia mengalami berbagai kondisi yang mengakibatkan lahirnya generasi yang serba instan, pemisif, dan amoral. Berbagai tindakan tidak terpuji dengan mudahnya dapat dijumpai melalui pemberitaan di berbagai media cetak dan elektronik. Misalnya merebaknya penyalahgunaan narkoba, terjerumusnya pelajar pada praktek prostitusi, tawuran, dan tindakan kriminalitas lainnya. Tidak dapat kita pungkiri banyak pihak yang berspekulasi bahwa ini merupakan bentuk “kegagalan pendidikan”. Sontak publik pun dibuat bertanya-bertanya benarkah pendidikan “telah gagal”?

Dalam UU Sisdiknas telah ditegaskan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan individu yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan. Kesemuanya merupakan bekal yang diperlukan individu untuk mampu hidup di masyarakat, bangsa, dan negara. Melalui pendidikan diikhtiarkan mampu tercipta tatanan masyarakat yang aman dan tenteram.

Sungguh naif bila pendidikan dikambinghitamkan dalam konteks munculnya berbagi tindakan amoral pelajar. Semua telah mafhum bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah mengajarkan kebaikan dan kemaslahatan, apabila tujuan luhur pendidikan belum mampu tercapai, maka evaluasi yang mendalam perlu dilaksanakan untuk membuat solusi aplikatif. Sehingga semua pihak hendaknya berbenah menangani berbagai problem pendidikan tersebut.

Kita ketahui bersama bahwa pendidikan kita masih melulu pada transfer of knowledge semata. Penulis sebagai seorang pendidik di sebuah sekolah menyadari betul bahwa polah tingkah anak sekarang, jauh berbeda dengan anak-anak dahulu. Hal ini dikarenakan pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi dan komunikasi yang pesat mengakibatkan dunia seakan tanpa sekat. Maka pengejawantahan aplikasi tentang keseimbangan aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif perlu ditinjau kembali.

Adalah aspek afektif atau sering disebut sebagai aspek berkenaan nilai, norma, moral, tingkah laku, tata krama atau istilah lainnya perlu mendapat perhatian serius. Jadi sekolah tidak hanya memberikan pengetahuan-pengetahuan semata, namun juga membekali siswa dengan nilai-nilai yang menjadi bekal siswa hidup di masyarakat. Sekolah, utamanya melalui peran guru perlu menjadi contoh dan teladan dalam mempraktikkan nilai-nila karakter bangsa, seperti religius, jujur, disiplin, bersih, etos kerja, kesetiakawanan, dan lainnya.

Namun pada praktiknya, kesibukan guru dalam mengejar selesainya materi pelajaran, terkadang mengesampingkan pentingnya pendidikan nilai ini (baca: pendidikan karakter). Padahal guru memiliki tanggungjawab untuk mengajarkan dan memberikan keteladanan tentang praktik pembentukan karakter positif yang terintegrasi dan terkoneksi pada semua mata pelajaran, tidak hanya agama dan PKn semata. Pendidikan karakter ini diharapkan mampu membentengi siswa secara personal dari berbagai pengaruh negatif globalisasi.

Akhirnya melalui momen Hardiknas 2 Mei 2015 yang jatuh esok hari, mari kita jadikan spirit untuk semakin berbenah memaknai dan menata ulang bangunan indah pendidikan. Kita pahami bersama bahwa pendidikan adalah untuk mewujudkan insan kamil. Sehingga pada akhirnya tercipta kader muda bangsa yang tidak hanya berilmu, namun juga berkarakter. Mampu menjalankan tanggung jawabnya secara individual maupun sosial. Semoga.

[divider]

Artikel ini dimuat pada :

http://edukasi.kompasiana.com/2015/05/02/memaknai-kembali-pendidikan-715457.html

Memimpikan Sekolah Ramah Anak

Dalam beberapa hari terakhir ini media massa, baik media cetak maupun elektronik gencar memberitakan tentang kekerasan yang terjadi disekolah, khususnya bullying (kekerasan) yang dilakukan oleh siswa maupun guru. Kekerasan yang dilakukan tersebut telah keluar dari nilai-nilai kemanusian dan mencoreng tujuan mulia pendidikan. Tragedi kekerasan yang berujung pada penahanan pelaku bullying telah mencoreng dunia pendidikan Indonesia. Betapa tidak, sekolah yang seharusnya dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan nilai-nilai akhlakul karimah (pendidikan budi pekerti) dan juga untuk menanamkan nilai-nilai karakter, telah dinodai oleh perbuatan-perbuatan yang tidak bertangungjawab dan tidak memahami arti dari sebuah proses pendidikan. Dalam hal ini bukan hanya sekolah sebagai istitusi pendidikan yang namanya akan tercemar, kepala sekolah, guru, siswa bahkan orang tua pelaku juga akan menjadi jelek di mata masyarakat. Kekerasan disekolah atas nama apapun seharusnya tidak terjadi.

Kekerasan pada dasarnya dapat digolongkan dalam dua bentuk ; Pertama, kekerasan dalam bentuk sederhana atau bersifat spontanitas, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, seperti menempeleng atau meninju seseorang secara spontan akibat marah atau emosi yang tidak terkendali; dan Kedua, kekerasan yang terkoordinir atau terencana, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antarmasyarakat) dan terorisme (Bashori, 2010: 69-70). Beberapa penelitian menyebutkan di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta sebagai kota yang sering terjadi tindak kekerasan di lingkup sekolah. Akhir-akhir ini yang sering disoroti oleh media tindak kekerasan yang terjadi di beberapa sekolah/madrasah yang ada di kota Solo. Kalau kita ketahui data dari hasil penelitian LSM perlindungan anak menyebutkan bahwasannya kekerasan terhadap anak paling tinggi dilakukan dalam lembaga pendidikan. Menurut ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Arist Merdeka Sirait menyatakan kasus kekerasan seksual terhadap anak marak terjadi di sekolah. “Persentasenya nomor dua setelah rumah,” Kesimpulan tersebut ia dapat dari data kasus aduan kekerasan terhadap anak selama 2012. Dari 2.637 aduan yang masuk, sekitar 60 persennya merupakan kasus kekerasan seksual (Tempo, Senin, 4 Maret 2013).

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat tahun 2012 kemarin terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap anak di sekolah hingga lebih dari 10 persen. Wakil Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Apong Herlina mengatakan kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah terjadi dalam berbagai jenis baik itu dilakukan oleh guru maupun antar siswa. Kasus kekerasan itu juga terjadi merata hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Catatan ini didasarkan pada hasil survey KPAI di 9 provinsi terhadap lebih dari 1000 orang siswa siswi. Baik dari tingkat Sekolah Dasar/MI, SMP/mts, maupun SMA/ma. Survey ini menunjukan 87,6% siswa mengaku mengalami tindak kekerasan. Baik kekerasan fisik maupun psikis, seperti dijewer, dipukul, dibentak, dihina, diberi stigma negatif hingga dilukai dengan benda tajam. Dan sebaliknya 78,3 persen anak juga mengaku pernah melakukan tindak kekerasan dari bentuk yang ringan sampai yang berat (komnaspa.or.id). Sungguh ironis sekali ternyata lembaga pendidikan kita masih belum meminimalisir terjadinya kekerasan di sekolah?

Kebijakan Sekolah Ramah Anak

Merujuk pada hasil riset dari KPAI tersebut menunjukkan bahwa sekolah hingga detik ini belum bisa menjadi tempat yang ramah bagi anak (siswa). Karena, meskipun disebut sebagai lembaga pendidikan, akan tetapi kekerasan justru sering lahir dari tempat ini. Hal tersebut tentu sangat kontraproduktif dengan makna sekolah itu sendiri, yaitu sebagai tempat untuk belajar, bukan tempat untuk melakukan kekerasan. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang begitu menyenangkan bagi anak, karena dilembaga pendidikan inilah anak-anak akan di didik untuk saling mengenal, menyayangi satu dengan yang lain bukan untuk bermusuhan atau saling menindas. Dalam hal ini siswa senior harus dapat membimbing dan mengarahkan juniornya menjadi lebih baik. Sebaliknya siswa junior juga harus bisa menghargai dan menghormati seniornya. Disinilah peran guru sangat menentukan dalam menciptakan keharmonisan hubungan antar siswa. Dengan melihat kondisi itu pemerintah diharapkan agar segera menerbitkan kebijakan sekolah ramah anak diseluruh sekolah yang ada di Indonesia. Sehingga kedepan sekolah tidak hanya menjadi lembaga yang berorientasi pada pencapaian target kurikulum tapi penyelenggaraannya juga menghormati HAM dan prinsip perlindungan anak.

Menurut penulis tindakan kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya karena kondisi sekolah yang kurang nyaman dan juga kurikulum sekolah. Untuk mewujudkan hal tersebut, banyak hal yang harus dipenuhi di antaranya selalu mengajak anak berpartisipasi dalam memutuskan setiap kebijakan sekolah misalnya dalam hal penyusunan tata tertib sekolah atau jenis hukuman bila mereka melanggar. Selain itu, sarana dan prasarana yang ada di sekolahpun harus dipenuhi. Pendidik juga mempunyai peran yang sangat signifikan, mereka harus mampu menjadi pendidik yang ramah terhadap anak dan mampu menjadi fasilitator yang baik bagi anak didiknya. Sementara anakpun harus dinilai sikap dan perilakunya ketika mereka berinteraksi dengan temannya pada saat istirahat.

PAI sebagai alternatif Pendidikan Ramah Anak

Berbagai fakta di atas, mengindikasikan bahwa pendidikan belum mempunyai peran signifikan dalam proses membangun kepribadian generasi bangsa yang berjiwa demokratis dan berwatak humanis. Pendidikan yang seharusnya menanamkan nilai-nilai kemanusiaan justru melunturkan maknanya itu sendiri. Pendidikan yang semestinya menanamkan sikap toleransi, kepedulian terhadap sesama, kesadaran tentang perbedaan, adanya kesamaan hak serta kewajiban, kebebasan berpendapat dan sebagainya, justru mengebiri makna kebebasan dan mengasung kemerdekaan peserta didik. Akibatnya, Mereka menjadi robot zaman yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan ( Haryanto Alfandi,2011:203). Dalam hal ini dibutuhkan sekali peran Guru Pendidikan Agama Islam karena pendidikan agama Islam merupakan alternative solusi untuk membentuk karakter peserta didik yang beriman dan bertaqwa. Persoalannya adalah bagaimana melaksanakan pembelajaran yang benar-benar dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dikalangan peserta didik?

Pembinaan akhlak tidak cukup hanya dilakukan oleh guru Pendidikan Agama Islam melalui mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah yang hanya dilaksanakan 2 jam perminggunya. Akan tetapi diperlukan integrasi antara nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dengan mata pelajaran lainnya, atau yang kemudian disebut dengan mata pelajaran umum. Proses ini secara psikologis akan memperkaya dan memperdalam bahan ajar. Persoalannya terletak pada strategi mana yang hendak dipergunakan guru dalam mengintergrasikan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan dalam mata pelajaran yang diampunya. Dengan adanya integrasi nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan dalam mata pelajaran umum, maka pembinaan tanggung jawab akhlak peserta didik adalah tanggung jawab semua guru mata pelajaran, bukan hanya tanggung jawab guru Pendidikan Agama Islam. Proses integrasi ini pun harus berjalan secara alamiah, tidak melalui proses yang mengada-ada. Proses integrasi bukan berarti setiap pokok bahasan harus dilegalkan dengan ayat-ayat al-Qur’an, melainkan dari setiap pokok bahasan tersebut diambil hikmah yang dapat diambil peserta didik bagi kehidupannya. Melalui integrasi materi pembelajaran akan tercipta karakter yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari unsur agama Islam yang pada gilirannya akan melahirkan budi pekerti.

Kartini Dulu & Kini

http://mbleg25.deviantart.com/art/R-A-Kartini-in-wpap-366305631

Ketika datang tanggal 21 April, masyarakat Indonesia selalu menyibukkan diri untuk mengenang dan memperingati hari lahir Raden Ajeng Kartini. Pakaian adat Jawa pun tidak ketinggalan untuk disandang sebagai ciri kejawaannya. Dengan ber-sanggul dan ber-blangkon ria, anak-anak TK, SD dan yang lain gembira menyambutnya.

http://mbleg25.deviantart.com/art/R-A-Kartini-in-wpap-366305631Sungguh menarik perhatian ketika si buah hati memakai pakaian adat jawa nampak ayu dan tampan, bak Ratu dan Raja. Ini semua menggambarkan “Ajineng Raga Sangka Busana”. Dia dihormati di sambut kedatangannya ketika memakai pakaian adat jawa yang apik. Katon Njawani, karena ada istilah “Wong Jowo ora Njawani”. (pepatah jawa-red.)

Raden Ajeng Kartini dikenal masyarakat sebagai Putri Jawa yang hebat, tokoh emansipasi wanita, dan penulis karya “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Yang menjadi pertanyaan mengapa Kartini bisa seperti itu?. Menurut informasi yang penulis ketahui, masa remaja Kartini adalah tekun beribadah, dia seorang santri dari KH. Sholeh Darat yang tekun mengikuti pengajian tafsir Al-Qur’an di rumah pamannya. Dari petunjuk Al-Karim tersebut, apa yang selama ini menjadi kegelisahan hati pudar karenanya. Jika hati telah terbimbing dengan Al-Qur’an maka pikiran pun jadi lancar. Ide dan kreativitas muncul, maka Kartini pun menulis:

Jika Iman telah kuat tertancap di dada seseorang, maka akhlakul karimah akan menjadi perilakunya, bagaimana cara berbusana, bagaimana cara berbicara, dan berpesan.

Diibaratkan Kartini adalah seorang wanita di zaman dulu, maka bagaimana Kartini di zaman saat ini? Apa perbedaan Kartini dulu dengan sekarang?.

Sebagai gambaran sekilas: Raden Ajeng Kartini di masa remajanya rajin mengaji, bahkan tamat mengikuti Tafsir Surat Al-Fatihah dengan KH. Sholeh Darat Semarang (majalah Aula). Raden Ajeng Kartini selalu rapi dan sopan dalam berbusana dan bergaul, Kartini selalu menulis dan memikirkan bagaimana nasib pendidikan wanita di masanya sampai Kartini meminta dengan sangat agar KH. Sholeh menerjemahkan Al-Quran dengan bahasa Jawa, dengan harapan wanita atau orang Jawa yang lain bisa mendapatkan pelajaran sebagaimana ia dapatkan. Selanjutnya, Bagaimana kartini di masa kini?. Pertanyaan ini tidak membutuhkan jawaban, tetapi butuh direnungkan khususnya para Kartini masa kini. Wallahu a’lam bi shawab..