Isyarat Ilmiah Bag. 1

muslimah edit

Muslimah Susilayati

Staf IAIN Surakarta

Setiap Muslim wajib mempelajari dan memahami Al-Qur’an. Seorang Muslim diperintah Al-Qur’an untuk tidak beriman secara membabi-buta (taqlid), tetapi dengan mempergunakan akal pikiran. Al-Qur’an mengajak umat manusia untuk terus berdialog dengannya di sepanjang masa. Semua kalangan dengan segala keragamannya diundang untuk mencicipi hidangannya, hingga wajar jika kesan yang diperoleh pun berbeda-beda. Ada yang terkesan dengan kisah-kisanya seperti as-Sa’labi dan al-Khazin; ada yang memerhatikan persoalan bahasa dan retorikanya seperti az-Zamakhsyari; atau hukum-hukum seperti al-Qurtubi. Masing mempunyai kesan yang berbeda sesuai kecenderungan dan suasana yang melingkupinya[1].

Kalaulah ayat-ayat hukum, muamalat, akhlak dan akidah merupakan ‘petunjuk’ bagi manusia untuk mengenal dan mencontoh perilaku Tuhan, bukankah ayat-ayat ilmiah juga petunjuk akan keagungan dan kekuasaan Tuhan di alam raya ini?[2]

Salah satu isyarat ilmiah pada Q.S Yunus ayat 5:

5

 

 

 

 

  1. Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak[669]. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.

[669] Maksudnya: Allah menjadikan semua yang disebutkan itu bukanlah dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah.

 

 Tafsir Jalalayn pada QS. Yunus ayat 5:

(Dialah yang menjadikan matahari bersinar) mempunyai sinar (dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya bagi bulan) dalam perjalanannya (manzilah-manzilah) selama dua puluh delapan malam untuk setiap bulan, setiap malam daripada dua puluh delapan malam itu memperoleh suatu manzilah, kemudian tidak tampak selama dua malam, jika jumlah hari bulan yang bersangkutan ada tiga puluh hari. Atau tidak tampak selama satu malam jika ternyata jumlah hari bulan yang bersangkutan ada dua puluh sembilan hari (supaya kalian mengetahui) melalui hal tersebut (bilangan tahun dan perhitungan waktu, Allah tidak menciptakan yang demikian itu) hal-hal yang telah disebutkan itu (melainkan dengan hak) bukannya main-main, Maha Suci Allah dari perbuatan tersebut (Dia menjelaskan) dapat dibaca yufashshilu dan nufashshilu, artinya Dia menerangkan atau Kami menerangkan (tanda-tanda kepada orang-orang yang mengetahui) yakni orang-orang yang mau berpikir[3].

 

Tafsir Quraish Shihab pada QS. Yunus ayat 5:

Tuhan kalianlah yang menciptakan langit dan bumi, yang menjadikan matahari memancarkan sinar dan bulan mengirimkan cahaya. Dialah yang menjadikan tempat-tempat beredarnya bulan, sehingga cahayanya berbeda-beda sesuai dengan tempat edarnya ini, dengan maksud agar kalian dapat mempergunakannya untuk memperkirakan waktu kalian dan dapat mengetahui bilangan tahun dan hisab(1). Allah tidak akan menciptakan itu semua kecuali dengan hikmah. Dialah yang menjelaskan bukti-bukti yang menunjukkan ketuhanan dan kesempurnaan kekuasaan-Nya di dalam kitab suci-Nya, agar kalian merenunginya dengan akal kalian dan memenuhi tuntutan ilmu pengetahuan. (1) Matahari adalah benda langit yang menyala dan memancarkan sinar dari dirinya sendiri serta sebagai sumber kekuatan bagi bumi, seperti sinar dan panasnya. Sedangkan bulan tidak memancarkan sinar dari dirinya sendiri, tetapi memantulkan atau mengembalikan sinar matahari yang jatuh di permukaannya, sehingga terlihat seolah tampak bercahaya. Tempat-tempat beredarnya bulan tidak sama jika dilihat dari bumi dan matahari. Hal inilah yang menghasilkan bentuk-bentuk bulan. Dari sini dimungkinkan untuk menentukan bulan-bulan kamariah, yaitu tanda-tanda angkasa yang jelas untuk menentukan bulan. Dalam mengelilingi bumi, bulan memakan waktu selama 29 hari, 12 jam, 44 menit, 2,8 persepuluh detik[4].

 

Tafsir Ilmi Kementerian Agama RI pada QS. Yunus ayat 5:

Frasa ‘adadus sinin terdiri dari dua kata: ‘ada dan sinin. Kata yang pertama merupakan bentuk masdar darikata kerja ‘addaya’uddu – ‘addan – ‘adadan, yang artinya menghitung. Dengan demikian, ‘adda berarti hitungan. Adapun yang kedua merupakan bentuk jamak (plural) dari sinn atau sanah, yang artinya tahun. Dengan makna etimologi yang seperti ini maka istilah ‘adadus sinin dapat diartikan “hitungan tahun-tahun”.

Tahun adalah satuan hitungan waktu yang biasa dipergunakan manusia untuk mengetahui perjalanan mada dalam kehidupan mereka. Dalam menghitung waktu ini mereka berpedoman pada matahari dan bulan. Penetapan ini didasarkan pada pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa keduanya merupakan benda langit yang bergerak dalam orbitnya secara pasti dan dalam kurun waktu yang tetap. Karena itu, menjadikan keduanya sebagai pedoman waktu merupakan ijtihad yang tepat dan disepakati secara umum. Sejak penetapan ini, sebagian besar manusia di planet bumi sepakat untuk menggunakannya sebagai hitungan waktu, yang disebut kalender, seperti yang ada saat ini.

Matahari oleh ayat ini disebut sebagai diya’, sesuatu yang bersinar, karena benda langit ini memiliki cahayanya sendiri. Adapun bulan disebut nur, karena bulan ini tidak memiliki sumber cahaya sendiri. Selanjutnya, Allah menegaskan pula bahwa bulan yang beredar mengelilingi bumi telah ditetapkan posisi-posisinya. Kedudukan-kedudukannya di angkasa selalu tetap dalam keadaannya mengelilingi bumi. Ketika bumi bergerak mengelilingi matahari, maka bulan juga bergerak mengelilingi bumi dan bersamaan dengan itu mengelilingi matahari.

Sementara itu, selain berotasi, bumi juga bergerak dalam garis edarnya berbentuk elips yang mengelilingi matahari. Perputaran berlangsung secara terus-menerus dan dalam garis edar yang tetap. Bahkan, semua benda langit yang meliputi bintang, bulan, dan planet-planet lain juga berputar pada orbitnya masing-masing yang tetap. Tidak ada satu pun yang menyimpang atau berubah dari keteraturan ini. Sebagai akibat tetapnya bumi dalam pergerakan pada orbitnya mengelilingi matahari, rentang waktu yang diperlukan juga selalu tetap. Berdasarkan pada fenomena inilah pergerakan matahari dapat dijadikan sebagai dasar bagi perhitungan waktu[5].

Diskusi Ilmiah QS. Yunus ayat 5:

Orang awam terkadang sulit membedakan sinar dan cahaya sehingga kurang tepat dalam penyebutannya, misalnya cahaya matahari, cahaya lampu, cahaya bulan. Dalam fisika terdapat perbedaan yang mendasar antara sinar dan cahaya. Sinar adalah suatu yang terpancar langsung dari benda yang terbakar serta bercahaya dengan sendirinya manakala sinar ini jatuh pada benda yang gelap maka sinar tersebut akan memantul. Sinar memancarkan radiasi elektromagnetik. Ada sinar yang dapat dilihat/kasat mata dan ada yang tidak. Berdasarkan panjang gelombangnya, sinar dapat dibedakan menjadi:  sinar inframerah (IR), sinar tampak (cahaya), sinar ultraviolet (UV), sinar X, sinar gamma (g). Matahari menghasilkan sinar yang dibedakan warnanya dalam spektrum sinar tampak dan sinar tidak tampak. Salah satu sinar tidak tampak adalah sinar ultraviolet yang berada pada spektrum warna violet.

Sinar tak tampak lainnya adalah Sinar-X, Sinar Gamma dan Sinar Kosmik, yang memiliki panjang gelombang lebih pendek daripada Sinar Ultraviolet dan bila tidak dikontrol sangat berbahaya bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya[6].

Komposisi Sinar Matahari Sumber: http://madurabiofir.weebly.com/sejarah-biofir.html
Komposisi Sinar Matahari

Cahaya adalah energi berbentuk gelombang elektromagnetik yang kasat mata dengan panjang gelombang sekitar 380 – 750 nm[7].

3

Sumber: https://id.wikipedia.org
Sumber: https://id.wikipedia.org

Sebenarnya sebagaian besar benda yang ada di sekeliling kita merupakan benda gelap=tidak dapat dilihat dan tidak berwaran. Namun ketika cahaya datang kepada benda gelap tersebut kemudian dipantulkan sesuai karakteristik masing-masing. Sehingga kita dapat melihat, meng
identifikasi dan membedakannya, termasuk dapat melihat bulan. Dengan adanya cahaya, kita dapat melihat menggunakan alat optik yang spektakuler bernama “mata”. “Andaikan kita tahu….Bagaimana Allah mengatur urusan hidup kita, pasti hati kita akan meleleh karena cinta kepada-Nya” (Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyyah )[8].

Wallahu a’lam bish-shawabi….

 

Catatan kaki:

[1] Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI, Tafsir Ilmi Manfaat Benda-Benda Langit dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Jakarta, 2012, hlm.xxi.

[2] Ibid, hlm. xxiv

[3] http://tafsirq.com/10-yunus/ayat-5, diakses pada kamis, 31 Maret 2016

[4] http://tafsirq.com/10-yunus/ayat-5#tafsir-quraish-shihab, diakses pada kamis, 31 Maret 2016

[5] Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI, op. Cit. hlm. 72 – 73.

[6] http://madurabiofir.weebly.com/sejarah-biofir.html, diakses pada, jum’at, 1 April 2016

[7] Karen E. Kalumuck (2000). Human body explorations: hands-on investigates of what makes us tick. Kendall Hunt. p. 74. ISBN 9780787261535.

[8] http://putriciasynthesa.tumblr.com/, diakses pada jum’at, 1 April 2016

 

Globalisasi dan Urgensi Pendidikan Karakter

sumber: fujiastuti26.wordpress.com

Berbicara tentang pendidikan merupakan satu terma yang tidak ada habisnya. Pendidikan merupakan suatu proses yang berjalan seumur hidup atau sering disebut long life education, proses yang terus berjalan dari mulai ayunan dan berakhir ketika masuk liang lahat. Setiap saat pendidikan selalu mengalami perubahan dan dinamikanya mengikuti perkembangan zaman, baik dari segi kurikulum, pendidik dan tenaga kependidikan, bahan ajar, pemanfaatan media, fasilitas, dan lainnya.

Pendidikan selalu menjadi tema sentral dalam berbagai forum, baik diskusi, seminar, workshop, dan lainnya. Hal ini sebagai bentuk ikhtiar semua elemen agar pendidikan benar-benar mampu beradaptasi dan mengikuti perkembangan zaman dan berdaya guna dalam membentuk generasi yang berkarakter dan bernilai.

Globalisasi; Pisau Bermata Dua

Apalagi di era globalisasi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan seakan berada dalam genggaman, satu kali tekan tombol maka kita dapat mengetahui apa yang terjadi di belahan dunia manapun. Melalui fasilitas internet yang dapat diakses dari komputer, laptop, tablet, dan smartphone menjadikan lengkap sudah kemudahan akses pengetahuan yang dapat dilakukan di manapun dan kapanpun secara cepat.

Hal ini tak urung membawa angin segar dalam dunia pendidikan Indonesia, sejuta fasilitas dan kemudahan ditawarkan. Dari mulai kemudahan mencari materi ajar, video pembelajaran, pembelajaran online, e-book, dan lainnya. Namun, yang perlu dipahami bahwa efek globalisasi ini diibaratkan seperti pisau bermata dua, positif dan negatifnya memiliki konsekuensi yang seimbang. Kompetisi, integrasi, dan kerjasama adalah contoh dampak positifnya, sedangkan dampak negatifnya antara lain lahirnya generasi instan, dekadensi moral, konsumerisme, bahkan permisifisme (Jamal Ma’mur Asmani, 2012). Selain itu dampak negatif lainnya adalah maraknya tindakan kekerasan, penyalahgunaan obat-obat terlarang, seks bebas, dan kriminalitas (Barnawi & M. Arifin, 2013).

Jika menilik UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pendidikan dimaknai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Untuk mencapai semua itu maka dibutuhkan kerjasama yang berkesinambungan semua pihak yaitu orang tua, lembaga pendidikan (sekolah), lingkungan, dan komponen lainnya. Sekolah melaksanakan pendidikan secara formal, sedangkan orang tua proaktif memberikan follow up ketika peserta didik di rumah dan memberikan pengawasan ketika bergaul dan terjun di masyarakat.

Terdapat 3 aspek penting yang dewasa ini menjadi konsen dunia atau lembaga pendidikan, yaitu adanya keseimbangan dan keterpaduan antara aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif. Aspek kognitif menekankan pada kemampuan mental (otak) untuk memahami serangkaian ilmu pengetahuan, aspek psikomotorik menekankan pada keterampilan (skill), aspek afektif menekankan pada sikap, nilai, perilaku. Namun kenyataan tak sebanding dengan harapan, sekolah-sekolah dewasa ini terlalu terpaku pada aspek kognitif semata, sebatas transfer of knowledge. Keberhasilan pembelajaran diukur dengan angka-angka yang sangat tidak merepresentasikan tujuan pendidikan, yaitu mencetak peserta didik yang memiliki kecerdasan dan berakhlak mulia. Sekolah ataukah memang sistem pendidikan yang telah sedemikian membelenggu?

Urgensi Pendidikan Karakter

Mengamati fenomena dan dampak globalisasi yang kian mengganas tersebut, maka diperlukan sebuah formula dalam rangka membentengi peserta didik. Diperlukan sebuah rekonstruksi agar pendidikan benar-benar mampu mencetak peserta didik yang berilmu dan berkarakter. Maka dalam hal ini diskursus tentang pendidikan karakter perlu untuk direkonseptualisasikan kembali. Melalui konsep pendidikan karakter ini peserta didik diarahkan untuk tidak hanya belajar tentang nilai-nilai, namun benar-benar meyakini dalam hati dan mempraktikkan nilai-nilai tersebut dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari. Misalnya tentang nilai religius, kejujuran, sopan santun, tanggung jawab, disiplin, dan lainnya.

Thomas Lickona (1991) menyatakan bahwa pendidikan karakter sangat urgen dikarenakan beberapa sebab di antaranya, pertama, merupakan kebutuhan yang mendesak dan nyata, hal ini mengingat perkembangan globalisasi di atas telah menyasar semua kalangan, termasuk dunia anak sebagai lahan empuk yang lebih mudah terjangkit aspek negatifnya. Kedua, bahwa nilai merupakan cara bekerjanya suatu peradaban, negara yang adil dan makmur tercipta melalui kader muda bangsa yang berilmu dan berkarakter. Ketiga, pentingnya sekolah sebagai lembaga moral bagai anak yang mengajarkan dan mempraktikkan tentang nilai-nilai, dikarenakan intensitas pendidikan moral yang sangat sedikit dari orang tua (keluarga). Orang tua sering kali telah lelah dan capek dengan rutinitas pekerjaan harian, sehingga absen dalam membentuk kepribadian dan karakter anak.

Implementasi pendidikan karakter yang akhir-akhir ini menjadi sorotan pakar, memang mendesak untuk diaplikasikan bersama. Hal ini penting mengingat perkembangan remaja dewasa ini yang kian tak terkendalikan. Melalui konsep ini diikhtiarkan mampu terbentuk generasi yang diharapkan bangsa sesuai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Semua lini hendaknya satu barisan satu tujuan, dari siswa, orang tua, guru, pengawas, pemerintah, dan masyarakat untuk bersama-sama menjadi patriot dan promotor, tidak sekadar mengajarkan nilai-nilai, tetapi bersama-sama saling memberikan contoh dan keteladanan dalam mewujudkan generasi yang berilmu dan berkarakter. Pendidikan karakter perlu terus dikampanyekan sebagai totalitas pendidikan yang bermutu dan bermartabat, demi terciptanya generasi bangsa Indonesia yang kuat, mantap, berilmu dan, berkarakter. Sehingga segala efek negatif globalisasi dapat diminimalisir melalui implementasi pendidikan karakter ini. Semoga.

Tantangan BIPA pada Era MEA

SINAR-Seiring dengan bergulirnya sistem perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), maka dalam bidang kebahasaan setidaknya Indonesia memiliki peluang besar dalam internasionalisasi bahasanya melalui program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Telah jamak diketahui bahwa bahasa dan kebudayaan negara kita mulai dipelajari oleh negara-negara tetangga, baik secara formal dalam beberapa jenjang pendidikan maupun nonformal melalui kursus kebahasaan. Berangkat dari kenyataan seperti itulah kemudian kebutuhan akan penutur asli (native speaker) sebagai pengajar Bahasa Indonesia pada negara-negara tersebut semakin besar.

Inilah yang kemudian melatarbelakangi diadakannya acara Sarasehan Praktisi BIPA Jogja pada kemarin Jumat, 26 Februari 2016 di Universitas Negeri Yogyakarta. Kebetulan saya ikut menghadiri acara tersebut dari awal sampai akhir, dan dari acara tersebut kemudian saya bisa mencatat bahwa terdapat tantangan yang perlu diperhatikan bersama.

Namun, sebelum lebih jauh kita membahas mengenai tantangan itu perlu diketahui bahwa Bahasa Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi bahasa ASEAN. Terbukti setidaknya secara berkala, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terus mengirim pengajar BIPA ke beberapa negara ASEAN, seperti Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos, Malaysia, Brunei, dan Filipina. Sedangkan di luar Asia Tenggara ada Australia, Amerika Serikat, Jepang, China, Tunisia, dan Maroko yang juga selalu mengajukan permintaan pengajar Bahasa Indonesia. Tentunya ini menjadi angin segar yang tak bisa kita lepas begitu saja.

Hal ini menandakan bahwa antusiasme masyarakat internasional untuk mempelajari bahasa dan budaya Indonesia cukup tinggi. Dan memang benar, peluang ini kemudian disambut riuh rendah oleh para akademisi kita. Setidaknya ini terlihat dari banyaknya peserta sarasehan pada acara yang saya hadiri itu. Didominasi oleh kalangan mahasiswa Yogyakarta dan sekitarnya, mereka begitu bersemangat untuk bisa ikut berperan aktif dalam kegiatan tersebut.

Peluang dan Tantangan

Jika kita melihat secara sekilas kondisi di atas, ini merupakan sebuah kesempatan emas. Ibarat pepatah, sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Di satu sisi, kita sudah turut menyukseskan internasionalisasi Bahasa Indonesia dan tidak menutup kemungkinan kesempatan untuk menjadi salah satu bahasa internasional semakin besar. Di sisi lain, bagi para pengajar yang dikirim pun semakin bertambah wawasannya.

Namun demikian, di balik peluang itu juga terdapat beberapa tantangan yang perlu diperhatikan. Pertama, dari segi kesiapan pengajar. Mayoritas dari kita mengira bahwa mengajarkan Bahasa Indonesia kepada penutur asing adalah sekadar mengajarkan untuk bisa fasih menyapa, menanyakan kabar, dan melakukan percakapan sehari-hari lainnya kepada lawan tutur. Padahal tidak demikian kenyataannya. Pembelajaran bahasa tak bisa dilepaskan dari budaya di mana bahasa itu berkembang. Dengan kata lain, bahasa dan budaya adalah dua unsur yang saling berkaitan dalam keberhasilan suatu pembelajaran bahasa.

Hal ini disebabkan, bahasa adalah produk budaya dan sebaliknya perkembangan budaya suatu daerah tak bisa dilepaskan dari peran bahasa. R Kunjana Rahardi menuliskan di dalam bukunya yang berjudul Dimensi-dimensi Kebahasaan, “Sosok bahasa diyakini selalu saling bertaut-tautan secara erat sekali dengan segala aspek indeksal dari masyarakat dan lingkungan budaya yang menjadi wadahnya. Maka, lantas diyakini pula bahwa belajar bahasa juga harus dikaiteratkan dengan pemahaman ihwal kelaziman, rupa-rupa tata adat, dan aneka aspek referensi serta kondisi sosio-kultural lainnya yang ada di dalam masyarakat dan wadah kebudayaan itu” (2006: 123).

Maka dari itu, tidak heran kemudian jika kita sering menemukan video dokumentasi masyarakat asing menyanyikan salah satu lagu nasional negara kita, bersandiwara dengan berbahasa Indonesia bahkan bahasa daerah, menggelar pentas tari tradisional Indonesia, hingga video proses memasak nasi kuning bak koki ternama. Semua itu mereka lakukan dalam rangka memahami bahasa dan budaya kita. Dengan perantara produk budaya itulah mereka semakin mudah memahami Bahasa Indonesia.

Permasalahan kedua, kita harus arif dan bijak menyikapi apa sebenarnya tujuan utama mereka berbondong-bondong mempelajari Bahasa Indonesia berikut budayanya. Perlu dipahami bahwa pada wilayah Asia Tenggara saja, semisal di Thailand pada beberapa perguruan tingginya telah membuka kelas Bahasa Indonesia. Kemudian di luar Asia Tenggara, semisal di Republik Rakyat Tiongkok (China) pada beberapa universitasnya juga telah dibuka Jurusan Bahasa Indonesia. Mereka secara berkala selalu mengajukan permintaan tenaga pengajar BIPA kepada Indonesia.

Jika semua itu merupakan bentuk apresiasi positif mereka terhadap bahasa persatuan kita, tak mengapa. Justru sangat berimbas positif terhadap proses internasionalisasi Bahasa Indonesia. Hanyasaja, terdapat juga kemungkinan lain di balik itu bahwa bisa saja pihak asing ingin menguasai bahasa kita untuk dijadikan perantara agar bisa memasuki pasar Indonesia dengan lebih mudah. Di mata mereka, Indonesia adalah pasar yang potensial. Negara kita adalah negara dengan populasi penduduk yang paling besar di Asia Tenggara, maka jika mereka dapat memasuki pasarnya otomatis secara ekonomi mereka telah menguasai tanah air kita. Lantas jika demikian, apa kemudian sikap kita?

Kuasai Bahasa Asing

Tidak ada pilihan lain dalam hal ini kita harus lebih membuka paradigma berpikir kita terhadap pentingnya mempelajari bahasa asing. Saat ini hampir semua jenjang pendidikan masih menganggap bahwa yang penting peserta didik menguasai salah satu bahasa internasional (biasanya bahasa Inggris atau Arab), itu sudah cukup. Kita luput memikirkan pentingnya menguasai bahasa negara tetangga, semisal Melayu, Vietnam, Laos, Thailand, dan sebagainya.

Padahal pada era MEA, penguasaan bahasa-bahasa tersebut menjadi sangat vital. Sebab, kendala bahasa sering menjadi kendala utama para pengusaha dalam melakukan ekspansi pasarnya ke mancanegara. Sehingga ketika kelak akan datang berbondong-bondong tenaga kerja atau produk negara tetangga memenuhi pasar dalam negeri, maka sebaliknya dalam waktu yang sama kita pun juga bisa memasuki pasar mereka dan berkompetisi di sana.

Terakhir, kembali lagi pada program BIPA yang kini menjadi “seksi” di mata para praktisi dan peminat di dunianya. Bahwa untuk menjadi pengajar BIPA, tidak diharuskan sarjana Bahasa Indonesia. Bahkan seorang Sarjana Syariah pun tetap memiliki peluang untuk bisa bergiat di sana. Hanya saja, mereka harus menguasai dasar-dasar ilmu linguistik dan kaidah bahasa baku terlebih dahulu. Jangan sampai kemudian ditemukan ada pengajar BIPA yang tak bisa membedakan makna antara penembak dan petembak.

Pernah di terbitkan pada Gagasan Solopos, Selasa (15/3/2016)

Membumikan Perpustakaan

Perpustakaan merupakan jantung lembaga pendidikan. Berawal dari perpustakaan kita akan di bukakan jendela dunia lewat buku-buku. Akan tetapi, kondisi perpustakaan saat ini sudah berbeda. Minat baca masyarakat yang semakin berkurang, lebih menyukai berselancar di dunia maya. Ini menjadi kegalauan bagi sebagian pelaku dalam dunia pendidikan. Perpustakaan daerah yang masih kurang dukungan dari pemerintah daerah setempat. Mulai dari lokasi yang kurang strategis dan jumlah koleksi buku yang tidak pernah bertambah dan tidak menyesuaikan dengan perkembangan dunia perbukuan.

Supaya perpustakaan mendapat hati di masyarakat dan bisa bertahan sehingga terus memiliki nilai kegunaan bagi masyarakat di sekitarnya, harus ada penanaman nilai-nilai fungsionalitas perpustakaan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengembalikan peran perpustakaan sebagai pusat belajar masyarakat seumur hidup (long life education).

Melalui kerja sama oleh pihak perpusda dengan pemkab dapat melakukan dengan cara menghimpun bahan-bahan bacaan yang bersifat untuk mendukung peran perpustakaan sebagai pusat dari pendidikan seumur hidup (life-long education atau life-long learning) bagi masyarakat. Misalnya dengan menghimpun bahan-bahan bacaan bersifat bimbingan ke arah penerapan teknologi tepat guna. Dengan demikian masyarakat dapat mengembangkan kemampuan (skill) serta pengetahuannya yang dapat dijadikan nilai tambah (added value) terhadap kualitas hidupnya.

Perpustakaan juga dapat berperan sebagai penghubung (liason) antara pakar teknologi tepat guna dengan masyarakat pengguna yang membutuhkan bimbingan teknis. Bentuk bimbingan tersebut bisa dalam bentuk kelompok belajar bersama atau adanya ruang konsultasi bagi pengguna yang membutuhkan informasi sehingga komunikasi dapat terjalin antara pakar, pustakawan dan masyarakat.

Apabila hal tersebut bisa ditanamkan dengan baik, kita akan menuai hasil yaitu kesadaran membaca dan kesadaran untuk terus belajar. Bukan hanya membaca buku atau pun koleksi pustaka saja, tapi juga membaca dalam arti luas yaitu membaca perubahan zaman, membaca perkembangan masyarakat dan lain-lain. Kesadaran belajar terus menerus akan menimbulkan pemahaman dan pengalaman baru. Dengan belajar memahami sesuatu, orang akan memiliki pengetahuan cukup untuk menjadi manusia seutuhnya.

Hadirnya gerakan literasi lokal cukup membantu memulihkan kesadaran masyarakat akan kebutuhan perpustakaan. Tidak perlu ada lagi jarak antara perpustakaan dengan masyarakat sehingga tidak diperlukan lagi ’jembatan’ untuk menghubungkannya.

Sebagaimana diketahui, pada dasarnya pendidikan adalah hak dan kewajiban seluruh warga negara. Dengan demikian, pemerintah harus menyediakan berbagai fasilitas pendukung untuk melaksanakan amanat tersebut. Partisipasi pihak swasta pun diperlukan untuk menimbulkan kepercayaan masyarakat. Selain itu juga, partisipasi pihak swasta dalam penyediaan fasilitas perpustakaan umum dan pemberdayaan masyarakat merupakan salah bentuk dari corporate social responsibility.

Keterlibatan media baik media cetak maupun elektronik diperlukan untuk memberikan wacana dan pemahaman terhadap pentingnya fungsi perpustakaan di tengah masyarakat. Media juga turut berperan dalam perkembangan taraf berpikir masyarakat. Faktanya, budaya dan minat baca masyarakat berkurang dengan hadirnya berbagai teknologi informasi, yakni munculnya budaya instan.

Untuk meningkatkan minat baca masyarakat tersebut, peran media sangat diharapkan terutama untuk merangsang audiensinya agar memiliki kesadaran dan pemahaman terhadap pentingnya perpustakaan. Apabila elemen perpustakaan usdah bisa menyatu dengan masyarakat sekitarnya, akan terbentuk masyarakat yang cerdas dan siap bersaing menghadapi tantangan global.

Pemberdayaan Pustaka

Kita tahu perpustakaan (perpustakaan umum) masih miskin fasilitas maupun bahan bacaan. Kalaupun ada, koleksinyapun sudah banyak yang kadaluwarsa sehingga kurang memenuhi kebutuhan pemakai. Jumlah perpustakaan juga belum memadai bila dibandingkan dengan penduduk Indonesia.

Data di Perpustakaan Nasional RI menunjukkan, di Indonesia terdapat 2.473 perpustakaan yang diperuntukkan bagi masyarakat umum. Jumlah itu terdiri 26 Perpustakaan Daerah Tingkat I, 1, 272 perpustakaan umum daerah tingkat II, 179 perpustakaan keliling, 167 perpustakaan umum tingkat kecamatan dan 1.829 perpustakaan umum tingkat desa.

Perpustakaan-perpustakaan tersebut melayani lebih dari 200 juta penduduk indonesia yang tersebar di seluruh indonesia (kira-kira 1 perpustakaan untuk 2 kabupaten/kota atau 1 perpustakaan untuk 22 kecamatan atau 1 perpustakaan untuk setiap 36 desa). Dari angka tersebut dapat kita simpulkan bahwa perpustakaan kita masih sangat sedikit untuk dapat melayani masyarakat. Selain jumlahnya yang belum memadai, sarana dan prasarana dari perpustakaan yang ada masih sangat miskin, khususnya dari aspek koleksinya.

Salah satu cara yang harus dilakukan untuk membuat perpustakaan tidak kesepian adalah dengan melakukan pembinaan fasililtas dan koleksi perpustakaan. Buku-buku yang menjadi koleksi perpustakaan harus diusahakan selalu baru. Penataan ruangan dibuat semenarik mungkin. Kalau perlu meniru penataan ruangan di toko-toko swalayan.

Kebiasaan orang Indonesia adalah membaca dengan suasana santai, karena itu penataan ruang baca juga harus dibuat sesantai mungkin dengan kursi dan meja yang juga memberikan kesan santai. Hindari bentuk meja dan kursi yang berkesan formal seperti persegi panjang dengan penempatan yang berjajar lurus. Petugas perpustakaan juga harus tampil rapih dan bersih dengan senyum yang menandakan siap melayani pengguna.

Perpustakaan umum di Singapora bahkan sering mengadakan pementasan berbagai jenis musik (life music). Barangkali dengan penataan dan acara-acara yang diadakan oleh perpustkaan akan mengundang para remaja untuk “nongkrong” di perpustakaan, tidak lagi di mal-mal atau swalayan. Bila perlu di perpustakaan umum dibuat seksi penyewaan film vidio, laser disc, compact disc audio, Vidio CD dan DVD, serta kaset lagu-lagu dan sebagainya. Tentu koleksi yang disewakan harus lolos sensor. Selain itu perpustakaan harus gencar melakukan promosi perpustakaan. Bahkan kalau perlu setiap periode tertentu, misalnya seminggu sekali, mengadakan pemutaran film gratis.

Dengan penataan dan program demikian saya yakin perpustakaan tidak akan kesepian lagi. Barangkali justru akan dijadikan tempat alternatif untuk rileks dan mencari bahan-bahan untuk hiburan. Bukankah salah satu fungsi perpustakaan adalah sebagai tempat untuk mencari hiburan. Semoga saja!

Sumber: Harian Joglo Semar

Aset Desa Sebagai Basis Desa Membangun

Visi Presiden Joko Widodo untuk membangun Indonesia dari pinggiran sambil memperkuat daerah dan memberdayakan desa tidak mudah. Salah satu tantangan yang dihadapi masih carut marutnya penataaan aset desa. UU Desa Pasal 116 (4) secara gamblang sebetulnya mewajibkan inventarisasi aset desa paling lambat dua tahun sejak disahkannya UU Desa pada 15 Januari 2014. Artinya, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa (Pemdes) harusnya sudah mulai melakukan kegiatan inventarisasi aset dan sudah selesai sebelum 15 Januari 2016.

Faktanya, sebagai contoh kecil, ketika saya bertanya soal penataan aset desa kepada seorang Sekretaris Desa (Sekdes) di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Dia menjelaskan masih belum banyak hal yang dilakukan terkait penataan aset desa, padahal desanya punya aset yang melimpah. Sebagai gambaran aset yang melimpah adalah aset tanah, perkebunan, sawah, air, pasir (kategori aset sumber daya alam), tenaga kerja terampil, buruh tani, buruh kebun (aset sumber daya manusian), arisan, anjangsana, paguyuban (aset sosial-budaya), pasar desa (aset fisik) hingga alokasi dana desa dan dana desa (aset finansial). Sayangnya, inventarisasi atau pendokumentasian terhadap kekayaan aset belum berjalan optimal. Saya terkejut ketika Pak Sekdes ini menyodorkan buku besar tentang data tanah desa yang sudah berusia sekitar 31 tahun!. Buku yang sudah lusuh dan kertasnya banyak yang sudah tidak beraturan itu berisi tentang data tanah desa dan tanah warga.

Cerita di atas menjadi bukti nyata betapa identifikasi aset dan tata cara mendokumentasikan aset berjalan stagnan alias tidak kemana-mana. Kesadaran tentang kekayaan aset tidak berbanding lurus dengan ikhtiar nyata untuk menginventarisasi dan membukukannya dengan baik dan mudah diakses publik.

Dari sisi regulasi, Permendagri 114/2014 Pasal 13 (2) yang memberi pandu arah melakukan identifikasi aset desa untuk nantinya dituliskan ke dalam laporan data desa sayangnya tidak berjalan dengan optimal. Hal ini mengindikasikan betapa kontrol dan fasilitasi pemerintah pusat terhadap persoalan penataan aset desa masih kurang. Pemerintah kedodoran dalam soal pengelolaan aset desa.

Alasan lain kenapa aspek penataan desa belum banyak menjadi perhatian bisa jadi karena kurang populer dibandingkan isu dana desa. Dalam berbagai kesempatan diskusi maupun forum pelatihan bersama dengan warga maupun aparatur desa, antusiasme selalu terlihat ketika membahas soal dana desa, terutama soal besaran dan pemanfaatannya. Hal berbeda ketika memperbincangkan aset desa. Mayoritas jawaban dari desa mereka punya banyak aset tetapi kurang jelas posisi dan kepemilikannya.

Lalu, mengapa aset desa menjadi tantangan serius dalam kerangka pembangunan desa dengan perspektif pembangunan berkelanjutan? Banyak desa yang sebetulnya kaya aset secara kasat mata tetapi belum terinventarisir dengan baik. Merujuk pada UU No 6/2014 tentang Desa Pasal 4 (d), salah satu poin pengaturan desa bertujuan untuk mendorong prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama. Regulasi ini memberi pesan yang jelas bahwa aset desa adalah modal untuk memperoleh kesejahteraan bersama. Karena itu, upaya menemukenali dan mengidentifikasi aset desa adalah hal yang mutlak untuk dilakukan agar aset desa bisa didayagunakan dan bermanfaat sebagai basis pembangunan desa.

Dengan kata lain, aset desa yang melimpah di desa idealnya dikuasai oleh desa untuk dimanfaatkan dan didistribusikan ulang untuk kesejahteraan bersama. Jika aset desa dimiliki oleh individu atau pihak lain di luar desa, maka agak mustahil warga desa bisa menikmati kesejahteraan secara bersama-sama.

Menemukenali dan Mengelola Aset Desa

Memang tidak mudah bagi desa untuk menginventarisasi aset desa setelah sekian lama terbengkalai dan tidak jelas kepemilikannya. Salah satu Kepala Desa di Kabupaten Tuban, Jawa Timur pernah bercerita kepada saya tentang penolakan warga terhadap pendataan tanah milik desa, padahal warga sendiri sebetulnya tahu bahwa tanah tersebut memang milik desa, tetapi warga menolak kalau tanah yang selama ini digunakan akan diinventarisasi oleh desa.

Penolakan warga tersebut sejatinya adalah cermin kekhawatiran bahwa ketika tanah atau sawah yang selama ini digarap akan diambil alih oleh desa dan mereka tidak diperbolehkan untuk menggarapnya lagi. Padahal, menurut cerita Pak Kepala Desa tersebut, pihak desa sebetulnya hanya ingin mendata dan memastikan bahwa status tanah atau sawah tersebut adalah milik desa. Sementara warga tetap diperbolehkan untuk memanfaatkan tanah atau sawah tetapi bukan dengan status hak milik melainkan hak pakai saja. Hal ini untuk menghindari adanya warga yang dikhawatirkan menjual tanah atau sawah kepada pihak ketiga atau pihak luar desa. Disinilah diperlukan adanya musyawarah bersama antara desa dan warga untuk menyamakan persepsi tentang bagaimana sebaiknya aset desa diinventarisir dan dimanfaatkan.

UU Desa Pasal 26 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Kepala Desa adalah memegang kekuasaan dan mengelola aset desa. Berpijak pada regulasi ini, Kepala Desa dan jajarannya sebetulnya tidak perlu ragu untuk mengelola aset desa sepanjang dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama. Agar bisa menjadi sarana bagi kesejahteraan publik, maka langkah pertama yaitu mengetahui aset desa.

Secara konkrit, upaya menemukenali aset desa bisa dilakukan dengan merujuk pada desain laporan data desa sebagaimana diperkenalkan Permendagri 114/2014 Pasal 13 (2). Dalam regulasi tersebut, data desa dijabarkan ke dalam empat jenis aset. Pertama, aset sumber daya alam. Kedua, aset sumber daya manusia. Ketiga, aset sumber daya pembangunan. Keempat, aset sumber daya sosial budaya.

Jika ditelisik lebih mendalam, UU Desa tidak hanya memberi kekuasaan tanpa kontrol. Melalui asas rekognisi (pengakuan) dan subsidiaritas (kewenangan) yang didukung dengan dana desa, kepala desa dan jajarannya memiliki otoritas untuk mengatur desa sesuai dengan kewenangan yang dimiliki termasuk mengelola hal-hal strategis di desa. Salah satu aspek strategis tersebut adalah melakukan inventarisasi, mengelola dan memanfaatkan aset desa. Sebagai aspek strategis di desa, penambahan atau pelepasan aset desa tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh kepala desa. Desa yang memiliki aset yang kaya ditambah dengan watak Kepala Desa yang semena-mena bisa menghasilkan pelepasan aset kepada pihak lain yang tidak berkepentingan dan menyalahi prosedur, yang muaranya merugikan desa. Bagaimana mengawasi dan mengendalikan aspek kekuasaan kepala desa?

UU Desa dengan gamblang telah menyediakan fungsi kontrol atau pengawasan terhadap aset desa kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) melalui forum yang disebut dengan musyawarah desa (musdes). Musdes difasilitasi oleh BPD dan melibatkan Pemdes, warga desa, serta kelompok-kelompok masyarakat yang ada di desa. Kasus tukar guling aset desa berupa tanah, misalnya, harus dibicarakan dalam forum musdes yang melibatkan semua pihak di desa.

Aset Desa Sebagai Basis Sumber Penghidupan

Adanya identifikasi dan kontrol ini untuk memastikan bahwa aset desa sebagai kekayaan desa tidak disalahgunakan pemanfaatannya. Untuk mencapai kesejahteraan bersama, maka aset desa perlu diletakkan sebagai basis sumber penghidupan bersama. Dalam kerangka demikian, maka aset desa harus dimanfaatkan dan didayagunakan untuk memastikan bahwa semua warga desa bisa menggunakan aset desa sebagai sumber penghidupan berkelanjutan.

Perspektif sumber penghidupan terhadap aset desa ini akan memudahkan desa dalam meraih kesejahteraan bersama warga dan pemerintah desa. Pemanfaatan aset desa juga sebaiknya memprioritaskan warga desa sebagai pengguna utama. Dalam konteks yang demikian, pelibatan warga dalam proses identifikasi dan pemanfaatan aset menjadi tidak bisa ditawara lagi. Kebijakan desa terkait penggunaan aset desa harus melibatkan warga agar tidak ada dominasi satu kelompok dan meminggirkan kelompok atau warga yang lemah. Sebagai contoh, tanah milik desa yang disewakan harus mendahulukan warga desa daripada pihak di luar desa. Dengan begitu, maka pihak desa juga berkontribusi untuk menyediakan lapangan kerja bagi warga desanya.

Ikhtiar Pemerintahan saat ini untuk membangun Indonesia dengan cara memperkuat desa sebagaimana ditulis dalam dokumen Nawa Cita adalah momentum yang tepat bagi pemerintah pemerintah desa untuk menata, mendata, dan mendokumentasi semua aset yang dimiliki.

Ketika aset desa sudah diketahui, maka kebijakan pembangunan bisa berpijak dan mengacu pada aset yang dimiliki desa. Tanpa aset, maka desa terancam tidak berdaya. Ketidakjelasan aset akan membuat desa terus meraba-raba tentang kekayaan apa saja yang dimiliki.

Saatnya desa dan kabupaten dengan fasilitasi dan supervisi pemerintah pusat bahu-membahu mengidentifikasi atau menemukenali serta mendokumentasi aset desa. Hal ini menjadi lebih kuat dengan adanya momentum dua tahun UU Desa dimana salah satu mandat utamanya adalah penataan aset desa.  Ditambah dengan komitmen politik Nawa Cita khususnya soal membangun dari desa. Sudah saatnya Presiden mengingatkan dan memastikan para pejabat di Kementerian untuk memperhatikan soal penataan aset desa agar menjadi basis dalam memperkuat desa. Membangun dan memberdayakan desa sebagaimana keinginan Nawa Cita akan lebih mudah ketika mampu mengenali aset yang dimiliki.

[alert-announce]Sumber Tulisan[/alert-announce]

http://suarakebebasan.org/id/analisis/item/555-aset-desa-sebagai-basis-desa-membangun

Buah Simalakama Berwujud PILKADA

Filsuf Denmark, Soren Kierkegarrd (1813-1855), menengarai hidup ini sebagai pilihan. Kalau tidak memilih “ini” ya memilih “itu” (either/or). Tidak memilih juga sebagai pilihan. Spektrum objek pilihan itu bisa dimulai dari yang paling mudah sehingga mudah pula menentukan pilihan, sampai yang sulit sehingga sangat sulit mau memilih yang mana. Pilihan paling sulit dalam khazanah kearifan Nusantara digambarkan ketika ketika kita dihadapkan pada buah simalakama, kalau dimakan sang ayah akan mati jika tidak dimakan sang ibu yang akan mati.

Diantara pilihan paling sulit bagi sebagian rakyat Indonesia baru-baru ini adalah saat harus mencoblos surat suara di pemilihan kepala daerah (pilkada). Mengapa ini disebut pilihan paling sulit?. Pilkada secara ideal dimaksudkan untuk berburu kepala daerah yang betul-betul mau menyerap aspirasi rakyat diteritorial kekuasaan mereka dan membawa rakyat mereka kepada penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam kehidupan, diantaranya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Seringkali realitas berbicara berbanding terbalik dari idealitas. Seorang kepala daerah yang das solen-nya mestinya berupaya keras menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya, secara das sein justru acapkali menjadi “pemberi harapan palsu” (PHP) mengenai kesejahtraan rakyat ketika gegap gempita kampanye. Tidak jarang calon kepala daerah setelah terpilih justru melakonkan apa yang disebut filsuf Inggris Thomas Hobbes (1588-1679) sebagai “homo homini lupus” (manusia sebagai srigala/pemangsa yang lain).

Banyak kepala daerah yang kemudian menghuni “hotel prodeo” karena terlibat kasus korupsi merupakan salah satu penanda (qarinah) bagaimana pemimpin yang seharusnya menghidangkan makanan untuk rakyatnya justru menjadi pemangsa yang rakus yang menghabiskan hidangan makanan itu untuk diri, kroni, dan keluarganya.

Kritik Sarkastik

Tidak mengherankan jika kemudian di media sosial banyak kritik kepada para pejabat, kepala daerah, dan wakil rakyat pada umumnya. Kritik itu ada yang bernada halus, ada yang sangat sarkastik. Kritik yang bernada halus, misalnya yang mengomparasikan antara pilkada dan pilkabe (aslinya:pil KB). Yang kedua itu kalau lupa malah jadi. Sedangkan yang pertama kalau jadi malah lupa.

Kritik yang bernada sarkastik, misalnya muncul istilah “Pancagila” atau “lima kegilaan”. Pancagila sejatinya merupakan kritik atas antiklimaks head to head dari pelaksanaan Pancasila di negeri ini. Sila pertama yang seharusnya “Ketuhanan Yang Maha Esa” berubah menjadi “Keuangan yang maha kuasa”. Sila kedua yang mestinya “Kemanusiaan yang adil dan beradab” menjadi “Korupsi yang adil dan merata”. Sila ketiga yang idealnya “Persatuan Indonesia” bermetamorfosis menjadi “persatuan mafia hukum Indonesia”. Sila keempat yang seharusnya “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” berganti rupa menjadi “Kekuasaan yang dipimpin oleh nafsu kebejatan dalam persekongkolan dan kepura-puraan”. Sila terakhir, kelima, yang mestinya “Keadilan, social bagi seluruh rakyat Indonesia” berubah menjadi “Kenyamanan social bagi seluruh keluarga pejabat dan wakil rakyat”. Dengan demikian, Pancasila yang mencakup kata kunci “keuangan, korupsi, mafia, kekuasaan, dan kenyamanan pejabat/wakil rakyat” sudah menjadi “counter culture” bagi Pancasila di negeri ini.

Jika meminjam kacamata kelirumologinya Jaya Suprana, Pancagila merupakan bentuk kritik yang bagi mereka yang punya sensitivitas tinggi, sangat sarkastis, menghujam dalam serta mengena.

Meskipun sudah sering muncul kritik pedas kepada para wakil rakyat, pejabat, atau, memakai khazanah kearifan Jawa, “bungen-tuwa”, mlebu tengen, metu kiwa: masuk telinga kanan, keluar lewat telinga kiri, alias tidak berefek.

Drama “Papa minta saham” yang akhir-akhir ini menjadi fenomenal karena konotasi penyoratifnya hanyalah salah satu bagaimana mereka yang mendapat titipan suara rakyat (vox populi) justru mengamalkan Pancagila. “papa minta saham” dalam wujud lain sudah banyak presedennya dan mungkin masih akan berekor panjang antesedennya. Jika sudah demikian, pilkada sebagai upaya menitipkan suara, bagi sebagian rakyat Indonesia di banyak daerah, masih menjadi pilihan sangat sulit.

Rakyat dihadapkan pada buah simalakama: jika tidak mencoblos berarti menegasikan hak diri; jika mencoblos, sering justru menjadi jalan lain untuk “bunuh diri” karena “ngopeni macan luwe” (memelihara harimau lapar) yang justru “memangsa” pemberi suara degan beragam rupa cara.

Pendidikan Multikultural di Sekolah

Iklim demokrasi tengah bersemi di bumi nusantara Indonesia. Publik dunia pun sangat mengakui bahwa bangsa Indonesia telah berhasil membangun sistem demokrasi terbesar di dunia setelah tumbangnya rezim Orde Baru tahun 1998. Namun iklim demokrasi yang baru bersemi di bumi nusantara ini baru sebatas dalam konteks politik saja. Oleh karena itu, agenda terberat bagi bangsa ini adalah, bagaimana menerapkan sistem demokrasi itu ke dalam aspek-aspek kehidupan berbangsa ?

Dalam hal ini, demokrasi dalam konteks pendidikan belum sepenuhnya terwujud. Bahkan, bisa dikatakan bahwa pendidikan belum mencerminkan atas kekuasaan rakyat semesta. Jika kita sepakat bahwa sistem demokrasi itu bermuara pada seluruh kepentingan rakyat, maka penyelenggaraan pendidikan nasional harus benar-benar mencerminkan kebutuhan rakyat itu. Namun, kenyataannya sekarang, pendidikan bukan lagi menjadi kepentingan rakyat.

Pada era demokrasi, penyelenggaraan pendidikan harus berorientasi pada kepentingan kehidupan rakyat. Realitas kehidupan rakyat Indonesia sangat heterogen, baik dalam aspek kemampuan diri, kehidupan ekonomi, ras, agama, suku, dan sebagainya. Oleh karena itu, pendidikan di era demokrasi saat ini harus mengandung wawasan kebhinekaan atau multikulturalisme.

Memahami Pendidikan Multikultural

Akar pendidikan multikultural, berasal dari perhatian seorang pakar pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall (18-3-1890) yang secara intensif menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang peserta didik, baik ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi munculnya pendidikan multikultural.

Menurut Musa Asy’arie (2005), Pendidikan Multikultural merupakan proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Jadi dengan adanya pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak. Sedangkan menurut Mu’arif (2008), paradigma pendidikan yang berwawasan multikultural sebenarnya berangkat dari suatu kesadaran, bahwa setiap manusia potensi-potensi yang berbeda. Berarti setiap manusia memiliki perbedaan potensi (kemampuan), maka proses pendidikan wajib dilaksanakan dengan prinsip kearifan. Jangan sampai setiap potensi yang dimiliki peserta didik diabaikan begitu saja. Sebab yang demikian akan menimbulkan model penindasan baru dalam lembaga pendidikan.

Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia.

Maraknya para pakar dan praktisi pendidikan yang mulai melirik paradigma multikultural mengindikasikan bahwa selama ini wajah pendidikan kita kurang mengakomodir perbedaan-perbedaan kultur yang dibawa oleh para peserta didik. Malah terkesan jika model-model yang digunakan dalam pembelajaran cenderung mengabaikan potensi-potensi peserta didik.

Revitalisasi

Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan kegiatan kepramukaan merupakan salah satu pondasi untuk membangun cara hidup multikultural yang bertujuan untuk memperkuat wawasan kebangsaan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Kepramukaan tidak realitas terhadap perubahan-perubahan sosial masyarakat yang saat ini dalam tekanan budaya global yang lebih cenderung materialistik dan hedonistik.

Berdasarkan hal diatas maka perlu adanya sebuah revitalisasi dalam setiap mata pelajaran untuk selalu menyesuaikan dengan kondisi yang saat ini berkembang. Sebab sebuah ilmu pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari realitas, baik ilmu sebagai produk, proses, maupun masyarakat. Maka saat teori itu diajarkan, sebenarnya realitas telah berubah. Apalagi dalam rentang waktu panjang saat anak didik menyelesaikan pendidikannya.

Bagaimanapun juga pendidikan kita harus diubah menjadi realitas. Pendidikan harus menyerap realitas dan menjadi jawaban atas realitas. Karena itu, pendidikan merupakan dunia perubahan yang terus menerus, yang tidak hanya sekedar menghafal teori-teori saja. Akan tetapi, berterori sesuai dengan realitas yang terjadi saat ini.

Pendidikan bagaimanapun juga harus dapat menawarkan konsep ilmu yang aktual. Proses pembelajaran keilmuan tidak boleh dilepaskan dari realitas kehidupan aktual yang harus dikritisi secara rasional.

Artikel ini pernah dimuat di Harian Umum Joglosemar (4/11)

Pendidikan Literasi di Sekolah

Beberapa akhir ini saya berkumpul dengan teman-teman pegiat Komunitas Literasi. Apa yang dibicarakan tidak jauh dari buku, nulis dan baca. Hal ini tentunya sangat menarik sekali khususnya bagi saya selaku guru di salah satu sekolah dasar. Mengingat budaya literasi di negara kita saat ini sungguh rendah sekali. Bahkan kita tertinggal jauh dengan beberapa negara seperti Negara Vietnam, setiap tahunnya mampu menghasilkan 15.000 buku pertahun. Sedangkan negara Indonesia hanya mampu menghasilkan 8.000 buku pertahun. Begitu minimnya minat masyarakat Indonesia terhadap budaya literasi khususnya menulis. Lalu, seperti apakah kondisi perbukuan dan minat baca anak di Indonesia?

Buku dan Budaya Baca Anak

Buku bacaan anak masih menjadi primadona bagi dunia penerbitan. Mayoritas buku-buku cerita fiksi maupun nonfiksi bergambarlah yang mencuri hati. Menurut Ikapi sampai saat ini, bahkan hanya buku bacaan anaklah yang konsisten di peta perbukuan dunia. Dunia mengakui buku anaklah yang paling digemari, sampai ada pameran khususnya bertajuk Blogna Children’s Book Fair (BCBF) yang rutin dilaksanakan di Italia tiap tahun. Pameran buku yang sudah dilaksanakan untuk ke-51 kalinya pada 2015 ini merupakan bukti kekuatan pangsa buku bergenre anak di dunia. Di Indonesia pun, kekuatan penjualan buku anak yang mencapai angka puluhan ribu membuat tren genre ini kian kuat.

Penjualan yang setiap tahunnya konstan di angka 10 sampai 11 juta membuat buku anak bak primadona bagi para penerbit dan penulis. Indonesia yang untuk pertama kalinya diundang sebagai peserta dalam BCBF Maret lalu sampai membawa 231 judul buku bacaan anak.

Buku cerita dengan judul legendaris, seperti Putri Salju, Pinokio, hingga yang berasal dari dalam negeri semisal cerita Si Kancil dan para sahabatnya begitu melekat di benak penggemar dongeng dan fabel. Masa-masa bacaan dongeng maupun fabel dibacakan sebelum tidur oleh para orang tua kepada anaknya pernah sangat meluas. Lantas, saat ini buku cerita masihkah tetap menghiasi rak-rak buku kamar setiap anak untuk dibacakan kepada mereka setiap malamnya?.

Buku –buku dengan konten dongeng, fiksi, maupun fantasi selalu memiliki basis penggemar tersendiri. Buku-buku yang bertemakan bacaan dongeng tak akan pernah lekang oleh siapa pun. Terlebih, soal kesadaran atau minat baca dari anak-anak itu sendiri. Khususnya di perkotaan, anak usia SD itu minat bacanya akan selalu tumbuh. Dewasa ini tidak ada tren jenis bacaan anak yang mendominasi kepopuleran kancah perbukuan. Hampir seluruh jenis buku anak baik itu dongeng maupun bacaan pendidikan sama-sama difavoritkan. Beberapa tren buku bacaan umumnya dipengaruhi oleh ketertarikan anak kepada hal-hal yang mereka anggap baru. Seperti munculnya karakter atau tokoh yang sebelumnya sudah populer di dunia film dan game anak. Contohnya, buku berjudul Deputy Mater,. Tokoh utama dalam buku ini, Mater, sudah dikenal anak terlebih dulu melalui dua film animasi populer, Cars dan Cars 2. Buku bacaan anak tidak akan pernah kehilangan pembacanya. Hal itu, terindikasi dari sejumlah penerbit yang setia mengikuti perkembangan zaman dari kecenderungan dan kegemaran anak.

Anak Generasi Digital

Generasi anak masa kini yang sudah dekat dengan dunia digital pun terus diikuti oleh para penerbit. Tak heran, para penerbit mulai masuk pada penganekaragaman produk dengan pilihan-pilhan digital. Kecenderungan anak saat yang tak bisa lepas dari sentuhan teknologi membuat penerbit bahkan para penulis memainkan kreativitas pada konten digital. Disnilah terkadang tren bacaan anak akan ditentukan, apakah masih didominasi dongeng, ilmu pengetahuan, bahkan rupa-rupa satra. Soal muatan, saat ini buku-buku berisi gambar penuh warna masih sangat digemari oleh anak-anak usia 3-11 tahun. Baik itu buku luar negeri yang diterjemahkan maupun cerita lokal dalam negeri, adanya gambar telah menjadi syarat utama untuk buku anak. Efeknya, banyak penulis yang berlomba-lomba menulis buku anak sekreatif mungkin. Ini membuat pilihan anak dalam membaca kian banyak dan semakin menarik untuk dibaca.

Prospek terbesar dari pasar buku anak yang saat ini sangat diperhitungkan oleh para penerbit dan penulis adalah bacaan religi Islam. Di Indonesia, buku-buku bertema agama Islam masuk dalam jajaran bacaan terfavorit anak-anak di generasi yang lahir pada 2000-an. Buku-buku cerita yang berfondasikan pada fakta akan jauh lebih mendidik bagi anak. Poin tersebut tersaji dalam buku-buku bertema Islam yang dimuat dalam kisah para Rasul. Buku bertema sirah Nabi dan para sahabat selalu menjadi favorit setiap zaman. Dengan begitu, saat ini para penerbit dan penulis tengah getol mengembangkan buku religi dengan pendekatan modern. Seperti menyisipkan cerita dan gambar menarik dalam Juz Amma dan buku-buku doa. Pengembangan dari ide-ide penulisan buku tersebut pun kadang dirangkai dalam konsep penjualan yang kreatif. Seperti menyisipkan CD berisi tayangan yang berhubungan dengan isi buku. Tentunya tayangan-tayangan dalam CD tersebut menajdi daya tarik sendiri karena faktor gambar yang bergerak. Buku religi Islam memiliki tempatnya dan kreativitas penulis akan selalu terasa untuk membuat buku bertema religi tampak berbeda.

Peran Guru Bahasa

Melihat kondisi tersebut saya teringat sebuah mata pelajaran yang berhubungan dengan dunia literasi yakni Bahasa dan Sastra Indonesia. Kita tahu bahwa pelajaran Sastra & Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang diikutkan dalam ujian nasional. Jika dibandingkan dengan negara-negara maju, seperti di Amerika, Belanda dan Perancis. Setiap siswa dalam mengikuti pelajaran Bahasa dan Sastra diwajibkan untuk membaca kurang lebih 30 buku sastra. Demikian pula, seperti negara-negara Asia; Jepang para siswa diwajibkan membaca 15 buku sastra, Brunai Darussalam setiap siswa diwajibkan membaca 7 buku sastra dan Singapura 6 buku sastra. Lalu, bagaimana dengan sekolah kita?

Melihat kualitas beberapa negara tersebut, saya berharap guru pengampu mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ada sebuah upaya untuk meningkatkan budaya membaca, menulis, berbicara dan mendengarkan bagi para siswanya. Perlu kita ketahui bahwa bahasa memiliki peranan sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional siswa. Selain itu juga sebagai penunjang keberhasilan siswa dalam mempelajari semua bidang studi.

Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia diharapkan lebih dapat membantu siswa untuk mengenal dirinya, budayanya, dan lingkungannya. Secara jujur harus diakui, bahwa pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah belum berlangsung seperti yang diharapkan.

Masih banyak ditemukan guru yang menggunakan teknik ceramah untuk membelajarkan siswa belajar berbahasa dan bersastra. Guru cenderung menggunakan teknik pembelajaran yang bercorak teoritis dan hafalan. Sehingga kegiatan pembelajarn berlangsung kaku, monoton dan membosankan. Akibatnya, mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia belum mampu menjadi mata pelajaran yang disenangi dan dirindukan oleh siswa. Imbas lebih jauh dari kondisi ini yakni kegagalan siswa dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan berbahasa, serta sikap positif terhadap Bahasa dan Sastra Indonesia. Padahal guru Bahasa Indonesia bukan harus mengajarkan bahasa atau sastra. Tetapi membuat siswa belajar menggunakan bahasa dan sastra dalam konteks kehidupannya.

Selain itu, Pengembangan daya imajinasi dan menghasilkan karya belum menjadi fokus dalam proses pembelajaran sastra. Kegiatan membaca belum dijadikan sumber inspirasi utama. Pengembangan daya imajinasi siswa masih banyak digali dari pengalaman pribadi siswa sehingga karya yang siswa hasilkan belum berkembang. Hal ini dikarenakan strategi pembelajaran tidak dimulai dari karya-karya yang sudah ada.

Mengembangkan ide dari karya yang sudah ada memerlukan daya baca karya yang lebih banyak. Pengalaman intelektual dan pengalaman batin siswa tidak hanya menjelajah pengalaman dirinya sendiri. Melainkan juga menjelajah pengalaman yang sudah dilalui orang lain. Dari hal ini, diharapkan siswa dapat memiliki pengalaman berharga dalam berbahasa di dunia nyata, bukan dunia sekolah. Semoga saja!

Artikel ini pernah dimuat di harian Joglosemar Edisi 30 September 2015.