Kontemplasi Peringatan Maulid Nabi SAW bagi Keberlangsungan Umat Islam Indonesia

Oleh: Dwi Kurniasih
(Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia 2015/ Mahasantri Pondok Pesantren Mahasiswa Darussalam Kartasura)

#banggaIAINSurakarta

#suksesAPT-A

 

Sudah tak asing lagi perihal kapan Rasul dilahirkan. Semua, khususnya umat Islam paham Rasulullah SAW lahir pada 12 Rabiul Awal, tahun Gajah bertepatan dengan 20 April 571 M. Dinamakan tahun Gajah karena pada waktu itu bala tentara Abrahah dari Yaman menyerang Ka’bah dengan maksud akan meruntuhkannya dan mereka datang dengan mengendarai Gajah (Wirayuda, 2015). Kelahiran Rasulullah memberikan syafaat melalui nur yang membawa kedamaian bagi seluruh alam, sebab Muhammad SAW seorang nabi dan rasul terakhir bagi umat Muslim (QS Al Ahzab:40). Muhammad memulai penyebaran ajaran Islam untuk seluruh umat manusia dan mewariskan pemerintahan tunggal Islam. Muhammad sama-sama menegakkan ajaran tauhid untuk mengesakan Allah sebagaimana yang dibawa nabi dan rasul sebelumnya (QS Al Anbiya:25).

Kelahiran Rasulullah kerap dijadikan momentum refleksi bagi umat Islam. Peristiwa tersebut akrab disebut dengan perayaan maulid Nabi Muhammad SAW. Perayaan Maulid Nabi pertama kali diperkenalkan oleh Shalahuddin al Ayyubi pada abad ke XII sebagai upaya membangkitkan semangat umat Islam yang melemah ketika itu. Sumber yang lain menyebutkan bahwa Maulid pertama kali dalam sejarah Islam diselenggarakan oleh penguasa Dinasti Fatimiyah di Mesir, yaitu Mu’iz Li Dinillah (341 H/953 M – 365 H/975 M) (Munadi, 2015). Bentuk-bentuk peringatan maulid tersebut dapat dijadikan sebagai bentuk muhasabah keberlangsungan dengan menjadikan rasul sebagai tauladan umat.

Salah satu upaya dalam meningkatkan kapasitas diri dalam hal beragama adalah dengan menjadikan hari kelahiran Rasul sebagai bentuk kontemplasi. Keteladanan, akhlak, budi pekerti luhur yang ada pada Rasul sudah sepatutnya diterapkan dalam keberlangsungan umat Islam. Kedamaian yang dipancarkan oleh manusia pilihan sebagai utusan ilahi menunjukkan bahwa Islam benar-benar sebagai agama yang merahmati seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Karakter Rasulullah SAW yang tercermin dalam etikanya akan menyatakan bahwa Rasulullah SAW menempatkan segala sesuatunya pada posisi yang tepat dan memastikan kembalinya semua hak kepada pemilik mereka yang sesungguhnya agar umat manusia dapat hidup damai dan harmonis dengan saling menghargai dan menghormati sesama manusia (Rabi, 2014).

Maulid Nabi Muhammad SAW dapat dijadikan momentum untuk membangkitkan kembali kesadaraan persatuan umat dan juga semangat keagamaan serta membakar ghirah semangat Islam bagi kaum muslimin (Safitri, 2017).  Jika kita menengok keadaan dan keberlangsungan umat Islam khususnya di Indonesia, jelas bahwa banyak sekali permasalah yang muncul di kalangan Islam secara internal. Antar Islam saling menyalahkan, antar pemuka agama saling adu pendapat, bahkan sesama Islam saling mengafirkan penganut Islam yang dianggap tak sepaham. Bentuk-bentuk ujaran kebencian tersebar di kalangan umat beragama khusunya Islam. Dengan demikian, timbullah kegaduhan yang tak berkeseduhan pada umat Islam secara internal.

Kesadaran akan kegaduhan di antara umat Islam mungkin perlu dibentuk. Hal tersebut bertujuan agar permasalahan yang muncul dapat dikendalikan bahkan dihilangkan. Kegaduhan yang terus-menerus didiamkan dapat berakibat pada perpecahan yang fatal atau bahkan akan berttambah dengan isu-isu baru yang semakin memperkeruh suasana. Hal ini dapat menyamarkan atau menghilangkan definisi Islam rahmatan lil ‘alamin. Seperti yang disampaikan oleh salah satu ulama Mesir kontemporer yang menyatakan bahwa al islamu mahjubun bil muslimin (kebaikan Islam tertutupi oleh umat Islam itu sendiri) (Shirazy, 2016). Maka, Islam yang seharusnya mendamaikan, menyejukkan, menyamankan tersamarkan oleh perilaku umat Islam itu sendiri.

Umat Islam perlu berkontemplasi bagaimana saat itu Rasulullah SAW mampu menyatukan berbagai macam suku, ras, dan juga agama. Bahkan agama Islam, Nasrani, dan Yahudi hidup berdampingan dengan damai di bawah naungan Islam. Dari hal ini, kita dapat belajar bahwa menumbuhkan kenyamanan dalam keberlangsungan umat beragama itu perlu. Belajar dari Rasulullah sebagai suri tauladan yang seharusnya dijadikan rujukan oleh umat Islam bagaimana seharusnya berkehidupan. Berkaca dari keteladanan rasul untuk umat Islam Indonesia sebagai bentuk kontemplasi dari peringatan Maulid. Maka, peringatan Maulid tidak melulu dihubungkan dengan kegiatan bid’ah, sebab peringatan Maulid misalnya dengan membacakan simtuduror, al-Barzanjiy, burdah, diba’, dapat membawa kita berkontemplasi bagaimana nabi menjalani episode-episode kehidupan sehingga Islam sampai di bumi Indonesia, dan sampai pada kita.

Sebenarnya, rahmat Allah melalui Rasulullah SAW telah mencakup semua orang dari beragam keyakinan dan ras. Metodenya bersifat moderat dan sopan, dan kemurahan hati serta suka menolong merupakan sifat alaminya. Masyarakat akan dapat hidup tegak berdiri jika instrumen dalam masyarakat tersebut dapat berinteraksi dengan harmonis, tanpa adanya ketimpangan-ketimpangan sosial yang dapat menyuburkan benih-benih pertikaian (Munadi, 2015). Dengan demikian, tidak ada lagi ruang untuk bersikap sombong, merasa paling unggul, dan bersikap cabul atau tak senonoh. Rasulullah SAW bersabda: “Allah telah menyatakan kepadaku bahwa kalian harus bersikap rendah hati, agar kalian tidak saling menindas dan menyombongkan diri”. Beliau membenci jika sahabatnya saling membicarakan satu sama lain. Beliau mengatakan “saya ingin bertemu dengan setiap dari kalian dengan hati yang bersih.” Rasulullah SAW menjalani hidup dengan cara yang indah, selalu bahagia kepada orang lain.