Nilai Gowes Becak

Okta Nurul Hidayati

Okta Nurul Hidayati 
Mahasiswa Bidikmisi 2015 Jurusan Pendidikan Agama Islam

 

Masih ingat becak? Di Solo, kita dapat temui moda transportasi ini di setiap sudut kota. Cari saja di dekat tempat pemberhentian bus atau di gang-gang kecil kampung, Di Jogja, kita akan melihat banyak becak di Malioboro. Apakah becak masih akan terus bertahan? Bertahan atau tidak tergantung dari nilai gowes tukang becak.

Sebagai penumpang, Anda pasti pernah melakukan proses tawar-menawar dengan pengemudi becak. Tawar-menawar itu laiknya sebuah tradisi yang tidak bisa dilepaskan masyarakat Jawa. Shared-poverty, kata Clifford Geertz. Tentu hal ini berlaku pula dalam jual beli barang. Perilaku ini dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun.

Bagi orang Jawa, naik becak tak lengkap jika tidak ada proses tawar menawar. Tawar menawar ini biasanya dilakukan dengan guyon-nan atau hanya bersifat santai. Tetapi karena ciri orang Jawa yang besar rasa tepa salira-nya, candaan itu pun tetap akan membuahkan hasil.

Hal itu yang membedakan becak dengan ojek di zaman sekarang. Ojek sudah menggunakan yang sistem online.Dengan ojek penumpang bisa pergi kemanapun yang dituju jauh lebih cepat dan fleksibel daripada becak. Namun, karena sistem online itu juga tarif ojek sudah ditetapkan. Penumpang mau tidak mau harus membayar berapapun tarif tanpa tawar menawar.

Bagi penumpang tawar menawar itulah yang menarik. Mereka beranggapan bahwa tarif becak bisa disesuaikan dengan kemauannya sendiri karena bisa ditawar. Dengan kata lain becak dianggap jauh lebih murah. Walaupun memang penumpang harus mengorbankan waktunya lebih lama jika naik becak.

Sistem online justru memberikan manfaat bagi para pengemudi becak. Penumpang yang tidak mau naik ojek online akan beralih ke becak. Apalagi jika penumpang mempunyai waktu yang lebih longgar.  Mereka akan memilih naik becak karena adanya fasilitas tawar menawar. Di satu sisi ojek online akan menambah saingan para pengemudi becak, karena jumlahnya yang semakin meningkat. Tapi di sisi lain justru bisa memberi peluang bagi pengemudi becak.

Sebenarnya proses tawar menawar ini berlangsung secara sederhana, tetapi juga bermakna dalam. Kita sering menjumpai pengemudi becak yang mayoritas sudah tua bahkan lanjut usia. Wajahnya dipenuhi dengan keriput dan terlihat wajah-wajah lelah. Jika kita perhatikan lebih lama,muncul rasa terenyuh, kasihan dan juga kagum dalam hati kita.

Itulah sifat sabar dan nrima dari sosok seorang tukang becak. Franz Magnis-Suseno, dalam Etika Jawa, mengartikan kata nrima dengan ungkapan menerima dengan ikhlas. Apapun yang telah diberikan kepada kita dari siapapun itu, dengan kelapangan hati, tanpa mengharapkan sesuatu yang lebih.

Sebagian penumpang yang tinggi rasa sosialnya juga akan nrima begitu saja berapapun tarif yang ditentukan pengayuh becak. Memang tak ada yang menyebutkan tentang tarif dasar becak yang resmi dan tetap.Kebanyakan dari mereka hanya melakukan musyawarah kecil antar sesama pembecak untuk menentukan berapa patokan harga.

Tujuannya hanya sebatas mencegah kecemburuan sosial antar sesama pembecak. Sebenarnya jika pengemudi becak mau mematok harga yang lebih tinggi itu sangat bisa dilakukan, toh yang lain tidak akan akan tahu. Ini bisa menjadi urusan masing-masing.

Di balik proses tawar-menawar yang sederhana itu timbul makna mendalam. Seorang tukang becak bekerja hanya bermodalkan tenaga dan kemauannya. Pekerjaan ini jika dipikir-pikir adalah pekerjaan yang mudah dan murah.

Kebanyakan mereka dahulunya adalah para pengangguran sebelum memutuskan menjadi pembecak. Semakin besar angka pengangguran di Indonesia kemungkinan jumlah pembecak juga akan bertambah, kecuali jika nantinya turun peraturan pemerintah yang berisi larangan becak beroperasi seperti yang telah diterapkan di kota padat penduduk seperti Jakarta.

Tantangan menjadi seorang tukang becak harus bisa bersaing dengan pembecak yang lain untuk mendapat uang. Contohnya, ketika seorang pembecak mendapatkan penumpang, lalu yang dilakukan selanjutnya adalah menanyakan tempat tujuan calon penumpangnya. Bisa jadi penumpang akan bertanya di awal berapa tarif yang yang dikenakan untuk pergi ke tempat tujuannya.

Tapi tidak semua penumpang seperti itu. Ada juga penumpang yang membayar di akhir, ketika sudah sampai tempat tujuan. Pada saat pembecak mengatakan tarif itulah, kemungkinan akan terjadi proses tawar-menawar. Jika penumpang merasa keberatan dengan tarif yang diberikan, bisa jagi calon penumpang akan menurunkan tarif sesuai dengan keinginannya.

Tawar menawar seakan-akan menjadi keunggulan becak. Ini yang membuat becak masih bertahan sampai sekarang. Namun proses tawar menawar itu ternyata bukan sesuatu yang mudah. Penumpang ternyata juga cermat dalam menawar.Jika dirasa cocok karena negosiasi berhasil penumpang akan langsung menaiki becak. Tetapi jika pengemudi becak tetap mempertahankan tarifnya bisa jadi calon penumpang akan mengatakan, “Ah… tidak jadi Pak, saya naik becak lain saja, tarif Bapak terlalu mahal”.

Disaat itulah seorang pembecak dituntut untuk berpikir cepat menentukan nasibnya. Mau tidak mau ia dia paksa untuk mengorbankan tenaganya untuk meg-gowes becak sampai tempat tujuan. Ia juga akan memikirkan jika ia membiarkan begitu saja, penumpangnya akan menjadi jatah pembecak yang lain. Padahal ia sudah menunggu penumpang cukup lama. Kebingungan itu akan bertambah jika kondisi ekonomi pembecak sulit dan sedang darurat membutuhkan uang.

Hal tersebut juga diceritakan oleh Heddy Shri Ahimsa Putra dalam Kisah Kehidupan Keluarga Sudipawiro Seorang Pengemudi Becak ketika mata seorang isteri tukang becak tertusuk “sotil” waktu di dapur. Istrinya tidak dapat disembuhkan lagi meskipun berkali-kali diobati, dan Pak Sudi terpaksa berusaha lebih keras mengayuh becaknya untuk mencari biaya guna mengobati mata isterinya. Pada saat-saat itu Pak Sudi merasakan masa yang sangat sulit, dan perjuangan yang berat selama hidupnya.

 Disaat seperti itulah seorang tukang becak akan lebih termotivasi untuk mendapat pelanggan. Bahkan ia akan merelakan lebih besar tenaganya terkuras yang penting bisa dapat uang untuk makan dan bisa menghidupi keluarganya. Di situlah  makna yang dalam itu terbentuk seorang tukang becak mendapat penghasilan dari seberapa besar sifat nrimanya untuk menyumbangkan tenaganya. Hanya bermodalkan kamauannya meng-gowes saja.