Puskohis UIN Raden Mas Said Surakarta Adakan Seminar Nasional Bertajuk Hakikat Qurban

SINAR-Kamis (15/7), Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam UIN Raden Mas Said Surakarta (Puskohis) mengadakan seminar nasional via daring berjudul “Hakikat dan Hikmah Qurban menurut Ahli Tafsir, Hadist dan Fiqih Perbandingan Madzhab ”. Selain menghadirkan empat pakar disiplin ilmu berbeda dari tiga Universitas Islam terkemuka di Indonesia kegiatan ini juga mengundang para ahli hukum, advokat, akademisi, dosen, politisi, mahasiswa, praktisi dan masyarakat umum dari seluruh Indonesia.

Dihadiri 350 peserta, Dr. Zainul Abas, S.Ag., M.Ag., selaku keynote speaker mengatakan bahwa Syariat qurban Nabi Ibrahim kemudian diteruskan Nabi Muhammad SAW memiliki hikmah dari lima tinjauan aspek, adapun dalam aspek biologis (kalam) hikmahnya adalah  meneguhkan keyakinan terhadap Allah, wujud kepatuhan terhadap Allah serta keyakinan/keimanan terhadap hari akhir. Dalam aspek tasawwuf hikmah diadakannya qurban adalah bagian dari upaya mendekatkan diri kepada Allah, qurban sebagai ekspresi rasa syukur sesuai dengan yang terdapat dalam surah Al Kautsar dan qurban sebagai ekspresi keikhlasan. Dalam aspek sosial, hikmah qurban adalah adanya simpati kepada fakir miskin, bentuknya kedermawanan (bentuk dari kepedulian) dan menciptakan atau membagi kebahagiaan (berbagi imun sosial), dalam aspek ekonomi hikmah qurban adalah peternak bisa menjual hewan ternaknya dan meningkatakan perekonomian rakyat.

Selanjutnya, seminar nasional dilanjutkan dengan pemaparan dari Eko Zulfikar, S.Thi., S.Ag., M.Ag., Dosen Ilmu Tafsir UIN Raden Fatah Palembang yang juga Alumnus Pondok Pesantren Tegal Arum Lirboyo Kediri ini memaparkan Konsep Ibadah Qurban dalam Bingkai Tafsir al-Qur’an. “Qurban adalah nama dari sesuatu yang dipersembahkan baik yang dipotong, maupun ibadah shalat atau sedekah yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah. Hikmah utama yang bisa diambil dari qurban itu sendiri adalah sikap demokratis dan bijaksana Nabi Ibrahim AS. Beliau adalah sosok yang taat kepada Allah dengan ketaatan paripurna.”

“Misalnya ketika Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya Nabi Ismail, maka Nabi Ibrahim tidak serta merta menyembelih putranya. Tapi Nabi Ibrahim memanggil putra dan istrinya Siti Hajar, mengajak musyawarah keluarga atas perintah Allah ini.”, terangnya.

Ia menambahkan bahwasannya qurban juga refleksi pentingnya kita taat kepada Allah tanpa ada tawar menawar, hal ini bisa kita lihat ketika Nabi Ismail mendengar perintah Allah tersebut, Nabi Ismail tidak banyak pertimbangan. Beliau meminta dengan sopan kepada Bapaknya untuk mentaati perintah Allah tersebut. Dalam perspektif ilmu tafsir menurutnya hakikat qurban merupakan ibadah sunnah yang mengharuskan ketulusan hati kepada Allah, qurban bertujuan agar menghindari sifat materialistis dan qurban untuk mengenang ketaatan dan ketakwaan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail kepada Allah.

Sementara itu Miski Mudin, S. Thi, M. Ag., pakar ilmu hadist dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang ini mengatakan bahwa hadist tentang qurban tersebar dihampir semua kitab hadist misalnya Abd Al-Razzaq, Malik, Al-Bukhari, Muslim, Al-Darimi, Al-Tirmizi, Abu Dawud, Al- Nasa’i, Ibn Majah. Dalam penjelasannya, Miski mengatakan bahwa ilmu Hadist dalam memandang Qurban sangat dinamis, bahwa memandang qurban hendaknya tidak hanya sekedar dari fiqih saja tapi harus dilihat dari aspek lain, misalnya konsep ketauhidan ketika qurban harus niat hanya karena Allah, Konsep Kepedulian hal ini yang harus kita tekankan dalam memahami hakikat qurban. Makanya qurban itu esensi utamanya adalah mempersembahkan yang terbaik, dengan cara yang sempurna, disaat yang tepat, namun tidak mengabaikan eksistensi diri sebagai manusia, yaitu menjadi manusia yang sempurna sebagai hamba dan sebagai bagian alam semesta, tuturnya.

Terakhir, R. Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, S.H., M.H., Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta yang fokus mengkaji Ilmu Hukum dan Fiqih Perbandingan Mazhab ini menjelaskan fiqih qurban dari tinjauan 4 Mazhab bahkan dia juga menjelaskan Qur’an diluar Mazdahibul Arbaah. Seperti pendapat Imam Auza’I, Imam Nakho’i, Ikrimah, Imam Daud Az-Zohiri dan Mazhab lainnya

Ada satu pernyataan yang menarik dan menjadi diskusi panjang dalam Seminar Nasional ini, Pembicara ketiga mengatakan bahwa Menjual daging, kulit dan anggota yang lain (tampar, tali bahkan lonceng yang ada disapi) dari binatang qurban tidak diperbolehkan, walaupun demikian Imam Haromain menyatakan bahwa Shohibuttaqrib (orang yang mengarang kitab Taqrib) memperbolehkan menjual kulit qurban kemudian mengalokasikan uang hasil penjualan pada yang berhak. Argumentasi ini bisa dilihat di Kitab Majmu’ Syarah Muhadzab juz 2 hal 419, Kitab Syarah Bahjah Wardiyah juz 5 hal 159 dan Kitab Mughni Mughtaj Juz 4 hal 291.

Sedangkan diluar Madhab Imam Syafii. Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa menjual kulit kurban kemudian dibelikan sebuah benda yang dapat digunakan atau digunakan untuk perabot rumah dan sesuatu yang dapat bertahan lama hukumnya diperbolehkan. Sedangkan Hanabilah Terdapat beberapa pendapat dalam hal ini. Sebagian menyatakan bahwa menjual kulit hewan kurban diizinkan dengan catatan uang hasil penjualan harus disodaqohkan atau digunakan untuk membeli perabot rumah menurut versi lain. 

Terkait menjadikan upah atas kulit atau bagian qurban maka seluruh mazhab tidak boleh kecuali menurut pendapat Imam Hasan al-Bashri dan Imam Abdullah bin Ubaid bin ‘Umair.  Akan tetapi pendapat ini dibantah Imam Nawawi karena bertentangan dengan Hadist Shahih. Argumentasi ini bisa dilihat di Kitab Fathul Qodir juz 22 hal 111, Kitab Syarah Zarkasi juz 3 hal 283, Kitab Al Insof juz 4 hal 67, Kitab Misykatul Masobih juz 9 Hal 480, Kitab Majmu’ Syarah Muhazab juz 8 hal 420, pungkasnya.

Sumber:
Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam UIN Raden Mas Said Surakarta