Ulasan Rektor IAIN Surakarta, Rakor Kementerian Agama “Sinergi Reformasi Birokrasi”

Oleh: Prof. Dr. H. Mudofir, M.Pd – Rektor IAIN Surakarta

Rakor Kementerian Agama dengan tema “Sinergi Reformasi Birokrasi”
29-31 Juli 2019 di Bogor dibuka oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (LHS). Dihadiri pejabat eselon I, II, para Rektor, dan Kakanwil seluruh Indonesia.

Pidato pembukaan Menag sangat menarik dan efektif. Beliau mengurai makna sinergi dalam konteks Reformasi Birokrasi. Menurutnya, Reformasi Birokrasi (RB) bukanlah kerja individual yang terlepas dari konteks manajemen kelembagaan. Sehebat apapun prestasi individual, ia kurang bermakna jika terlepas dari konteks proses keseluruhan. Beliau dengan sangat tepat menghubungkan makna sinergi dengan mantra integrasi data dan kebersamaan—tema Rakornas bulan Februari kemarin. Dalam sinergi harus ada kebersamaan atau kerjasama.

Saya menemukan tiga kata kunci dalam pesan pidato Menag kemarin, yakni: sinergi, kerjasama, dan integrasi data. Tiga kata tersebut punya makna yang sama dan dapat dipadatkan dengan istilah simfoni. Kata simfoni menggambarkan harmoni dalam keseluruhan yang berasal dari bunyi nada berlainan. Simfoni adalah keseluruhan dari kepingan-kepingan. Sinergi dan kerjasama tidak akan terjadi jika tak ada kemampuan untuk mengendalikan kepentingan-kepentingan pribadi dalam sebuah simfoni.

Selanjutnya, Menag LHS menyebut kata cinta dalam Reformasi Birokrasi. “Jika kita melakukan pekerjaan dengan cinta”, kata Menag LHS, “maka hasilnya akan luar biasa karena ada kekuatan ekstra”. Menag hendak menekankan bahwa pelaksanaan Reformasi Birokrasi yang terdiri dari 8 area perubahan mulai dari penataan organisasi, penataan tata laksana, peraturan perundangan, pengawasan zona integritas, pengawasan akuntabilitas, SDM, dan lain-lain bukanlah pekerjaan individual dan business as casual. RB adalah pekerjaan besar yang menuntut sinergi, kerjasama, integrasi, cinta, dan komitmen.

Secara teoritik, pesan Menag di atas dapat topangan ilmiah. Daniel H. Pink dalam A Whole New Mind, menyebut nilai-nilai seperti kerjasama, sinergi, empati, cinta, makna, dan simfoni sebagai sebuah kecerdasan konsep tinggi dan sentuhan tinggi (the intellegent of high concept and high touch). ‘Konsep tinggi’ ditandai oleh kecakapan mendeteksi pola dan peluang dalam kepingan-kepingan rumit dan menempatkannya dalam simfoni. Sementara ‘sentuhan tinggi’ (high touch) ditandai oleh kemampuan bersikap empati, kehangatan dalam cinta pribadi dan orang lain, serta kemampuan dipercaya dan memercayai. Robert Putnam menyebut nilai-nilai tersebut sebaga social capital.

Berikutnya, Menag LHS juga menyebut kata ‘makna’ dalam Reformasi Birokrasi. Makna seorang pemimpin diukur dari peran sosialnya dalam pengertian bersinergi dan kerjasama untuk sehabis-habisnya pemenuhan tujuan organisasi. Itulah sebabnya Menag tidak setuju prestasi individu yang tidak punya dampak bagi kemajuan lembaga. Secara tersirat, Menag menganjurkan agar para pemimpin di lingkungan Kemenag didorong untuk mencari ‘makna’ dalam hidup mereka untuk lembaga. Anjuran ini sebenarnya sudah ada secara purba dalam DNA manusia sebagaimana disebut oleh Victor Frankl dalam Men’s Search of Meaning. Menurut teori ini, gerakan hidup manusia sebenarnya didorong oleh pencarian makna hidup secara terus-menerus. Nah, sebagai ‘core of the core’ (intinya inti), Menag berharap para pemimpin yang hadir dalam Rakor ini menjadi para aktor Reformasi Birokrasi di lingkungan Kemenag sebagai manifestasi dari makna seorang pemimpin.