Aksara dan Kebermaknaannya

Oleh : Triningsih
(Pustakawan Muda UIN RM Said Surakarta)


Indonesia harus memberantas buta aksara. Permasalahan buta aksara masih diderita jutaan orang di dunia. Hal tersebut bukan permasalahan yang sempit. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa buta aksara yaitu ketidakmampuan individu atau warga dalam hal membaca atau menulis huruf maupun kata-kata.

Sejatinya orang yang buta aksara adalah ketidakmampuan masyarakat untuk memahami, menganalisis, dan memecahkan permasalahan kehidupan. Kemampuan membaca menulis yang benar bukan merupakan kemampuan mekanis. Namun berhubungan dengan kemampuan intelektual yang dapat digunakan untuk memperluas pengetahuan, mengembangkan nilai-nilai dan sikap, mengembangkan keterampilan serta perilaku.

Diharapkan dari kegiatan membaca bukan sekedar kegiatan verbalistik belaka. Dimana kegiatan membaca tanpa memahami makna yang terkandung didalamnya. Karena membaca verbalistik tersebut tidak memiliki dampak bagi perubahan atau pengembangan pemikiran, sikap, nilai-nilai dan perilaku.

Bukan Terpisah

Membaca suatu kata-kata (buku teks) sebenarnya bukan terpisah dari pemahaman tentang realita kehidupan. Sebab kata-kata yang ditulis oleh manusia bukan kata-kata yang kosong, yang terlepas dari permasalahan, pemikiran, cita-cita, atau harapan yang berkembang dalam pikirannya. Kata-kata (words) adalah merupakan simbol-simbol pemahaman dan pemikiran manusia tentang realita (dunia) yang ada disekitar dan kata-kata juga merupakan cerminan keinginan untuk melakukan tindakan. (Sodiq A. Kuntoro, 2007:23).

Umat manusia perlu berterimakasih kepada nenek moyang kita dahulu. Bahwa Bangsa Sumeria menemukan huruf pertama kali dengan medium lempengan tanah liat pada tahun 4.000 SM. Kemudian Pi Sheng (China) melakukan pencetakan buku pertama kali setelah beliau menemukan mesin cetak sederhana pada tahun 1041. Perkembangan pesat terjadi karena Johannes Guttenberg  (1456) menggunakan mesin cetak metal sehingga lahirlah barang cetakan. Adanya mesin cetak tersebut telah memungkinkan produksi massal bahan bacaan sehingga melahirkan kebutuhan kemampuan membaca dan menulis.

Adanya perkembangan ilmu teknologi komunikasi dan informasi menjadikan permasalahan baru. Kehidupan umat manusia di dunia akan tergantung pada ilmu tersebut. Banyak contoh kegiatan masyarakat yang tadinya dilakukan secara manual,kini bisa dibantu oleh mesin. Sebut saja yang dulu mengambil uang di teller pada jam kerja kantor, kini bisa sewaktu-waktu mengambil melalui ATM (Anjungan Tunai Mandiri).

Disisi lain, ada media massa yang juga tumbuh pesat. Kita bisa cek stasiun televisi yang mengudara di Indonesia ada banyak sekali. Belum lagi radio yang sudah menembus ke pelosok desa. Apalagi sekarang sosial media tidak kalah meriahnya. Ada WhatsApp, Facebook, Instagram, TikTok, Youtube dan lain sebagainya. Jika masyarakat menelan mentah-mentah semua aksara dan informasi yang berlalu lalang tersebut tanpa adanya kontrol, bisa dibayangkan apa jadinya generasi ini.

Perubahan Kehidupan

Kembali ke awal pembahasan, bahwa kemampuan membaca aksara bukan sekedar membaca secara verbalistik. Melainkan harus memahaminya, sehingga tercipta perubahan kehidupan yang baik. Seperti pernah dikatakan Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015 Prof Dr Din Syamsuddin : Makna yang didapat lewat membaca dapat dijadikan faedah bagi manusia untuk berbuat baik, dan memberikan ‘cahaya’ jalan kebaikan kepada orang lain.

Di Hari Aksara Sedunia (International Literacy Day) 8 September ini, marilah kita menjadi pribadi yang cerdas dalam memahami aksara. Kita telaah baik-baik aksara tersebut, sehingga tercipta makna yang mendalam agar makna tersebut memberikan kebaikan kepada orang lain. Selamat Hari Aksara Sedunia…

  • Artikel Opini ini telah dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, edisi Selasa Legi 7 September 2021 hal.11