Paradigma Keilmuan IAIN Surakarta: Suatu Proposal

mudofir-ed

Oleh: Mudhofir Abdullah
(Rektor IAIN Surakarta Periode 2015-2019)

Merumuskan paradigma keilmuan bukanlah pekerjaan mudah. Diperlukan pikiran mendalam, berkeringat, bekerjasama, dan sharing ideas. Juga perlu melihat secara cermat, membaca ulang, dan membandingkan wawasan-wawasan yang tersedia dalam berbagai literatur, sejarah, dan fakta. Setelah semua itu didapat, masih diperlukan pekerjaan lain yaitu mengaitkannya dengan kenyataan-kenyataan modernitas, dunia praksis, globalitas, dan lokalitas. Mengapa hal ini perlu dilakukan? Menurut saya setidak-tidaknya ada lima alasan. Pertama, sebuah paradigma disusun untuk menjadi “pikiran dan tindakan bersama” atau dengan istilah lain way of life yang bersifat holistik, jangka panjang, dan mengikat. Kedua, paradigma harus menggambarkan tujuan bersama yang hendak diwujudkan di masa kini dan masa depan. Ketiga, paradigma mengandung visi dan misi sebuah komunitas atau organisasi. Keempat, paradigma harus mudah dipahami, diingat, dan menyederhanakan tingkat abstraksi pikiran ke dalam sebuah simbol, dan kelima, paradigma mewakili cita-cita bersama dengan tujuan-tujuan tertentu. Pembaca bisa menambahkan yang lainnya.

Dalam konteks IAIN Surakarta, paradigma harus mengartikulasikan gambaran menyeluruh tentang sumber dasar, visi-misi keilmuan, mandat, kehendak kuat, skala-skala prioritas, distingsi, ekselensi, dan ekspektasi-ekspektasi.[1] Berbeda dengan mandat keilmuan di perguruan tinggi non-PTKIN yang secara relatif “duniawiah/worldly”, PTKIN termasuk IAIN Surakarta harus memikul mandat dunia dan akhirat. Dunia dan akhirat adalah tugas yang maha luar biasa berat dilihat dari sudut ilmu pengetahuan modern. Ukuran-ukurannya pun relatif berbeda. Menilai keberhasilan PTKIN tidak cukup hanya dengan parameter-parameter BAN-PT, tetapi perlu ukuran-ukuran lain sehingga dapat menilai keberhasilan dalam makna akhirat. Inilah yang membuat paradigma-paradigma yang dikembangkan di PTKIN belum menunjukkan korelasinya dengan fakta-fakta, produktivitas, dan kontribusinya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Saya berpendapat bahwa paradigma keilmuan IAIN Surakarta harus meliputi tiga hubungan suci: Allah, kosmos, dan manusia. Fazlur Rahman dalam bukunya Major Themes of the Qur’an yang terbit tahun 1980 mengelaborasi tentang tiga tema besar yang merupakan tema pokok pembahasan al-Qur’an.[2] Sachiko Murata dalam bukunya the Tao of Islam juga menyebut tiga garis sudut di mana di titik puncak melukiskan Tuhan, dan dua sisinya melukiskan kosmos dan manusia.[3] Ibn Arabi menyebut Tuhan sebagai makrokosmos al ‘alam al kabir dan kosmos-manusia disebutnya sebagai al ‘alam al-shaghir atau mikrokosmos. Konsep “trilogi” seperti disebut di atas, menurut saya, mengartikulasikan sebuah “takdir” tentang tiga relasi otentik yang tidak boleh saling putus. Sumber-sumber sufi juga banyak membahas relasi Tuhan, kosmos, dan manusia sebagaimana didedahkan oleh Ibn ‘Arabi, Mulla Shadra, Ibn Shina, Jalaludin Rumi, dan lain-lainnya.[4]

Pendapat Tu Wei Ming juga perlu ditambahkan di sini. Dia menyatakan bahwa rusaknya lingkungan karena manusia telah memisahkan alam dari hubungan sakralnya dengan manusia dan Tuhan. Tu Wei Ming punya istilah sangat bagus yang ia sebut sebagai theo-antropokosmos.[5] Jadi, baik Fazlur Rahman, Sachiko Murata, Tu Wei Ming, dan para penulis sufi klasik seperti Ibn ‘Arabi, Mulla Shadra, dan lain-lain “bertemu” di titik tegas ide sakral tentang relasi trilogi suci. Perlu ditambahkan juga, dalam Islam dikenal trilogi lain, yakni: Allah, Abdullah, dan khalifatullah. Tiga konsep ini menyimbolkan suatu hubungan akrab dan berani yang satu sama lain harus terpelihara dengan baik. Secara teoritis dan konseptual, trilogi suci tersebut dapat diaplikasikan ke tataran praksis dengan cara menjabaroperasionalkan ke dalam bentuk yang lebih teknis. Baik melalui lembaga-lembaga pendidikan maupun melalui bentuk aktivitas sosial.

Dalam konteks sosial masyarakat kita, trilogi di atas bisa dijelaskan dengan cara mendeskripsikan varian-varian dari masing-masing entitas trilogi itu. Entitas Allah dapat diartikulasikan secara simbolik dengan fakultas atau program studi agama. Entitas kosmos direfleksikan oleh fakultas atau program studi sains atau natural sciences—yang di dalam wadah IAIN belum memperoleh bentuk. Sementara entitas manusia dilambangkan dengan fakultas atau prodi-prodi humaniora dan atau social sciences.Atau meminjam kategorisasi al-Ghazali, dia membagi ilmu yang bersumber insaniyyah dan sumber rabbaniyyah untuk membedakan yang prodi-prodi umum dan prodi-prodi agama.[6]Kategorisasi ini bukan dimaknai secara dikotomik yang memisahkan tiap entitas itu secara tegas, tapi dimaknai secara distingtif. Kata kuncinya bukan dikotomi tapi distingsi. Tapi harus diakui bahwa integrasi semua entitas itu tidak selamanya tepat. Misalnya natural sciences yang meliputi biologi, kimia, sains, dan fisika tidak selamanya tepat diintegrasikan dengan ilmu-ilmu agama. Hal ini demikian karena kebenaran sains yang ditemukan manusia bersifat relatif, sementara syari’ah bersifat total dan mutlak. Istilah yang tepat untuk ini adalah konsep interkoneksi—meminjam istilah Amin Abdullah. Kita hanya bisa menyusun interkoneksi antara ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu sosial, dan ilmu-ilmu humaniora.[7] Memang betul bahwa di dalam al-Qur’an banyak bicara soal sains, tetapi masih berupa konsep belum berupa ilmu pengetahuan. Karena itu, hal ini dapat disebut sebagai konsep al-Qur’an tentang sains.

Abdul Karim Soroush punya kategorisasi agama dan ilmu agama. Maksudnya, agama bersifat mutlak dalam arti syari’ah. Tapi ilmu agama bersifat relatif. Tafsir-tafsir agama sangat beragam, terus berubah, dan terus berlangsung secara terus-menerus sehingga sangat mungkin berbeda satu sama lain. Takdir ilmu adalah kedinamisan dan perubahan tiada henti. Dengan nada sama, Bernard Lewis punya tiga kategori untuk Islam. Dia membagi Islam ke dalam tiga dimensi: Islam sebagai agama, Islam yang telah ditafsirkan dari keduanya, dan Islam sebagaimana ada dalam bentuk peradaban. Yang disebut pertama bersifat murni dan mutlak. Yang disebut kedua merupakan tafsir-tafsir dari al-Qur’an dan hadist yang bentuknya ilmu fikih, kalam, filsafat, tasawuf, akhlak, dan lain-lain. Sementara yang disebut ketiga mengejawantah dalam bentuk sejarah, antropologi, seni, sosiologi, dan lain-lain. Kategorisasi Soroush dan Bernard Lewis dapat menjelaskan perlunya distingsi antara agama yang mutlak dan ilmu agama yang relatif. Islam dalam bentuk peradaban, misalnya, menunjukkan bahwa ia berasal dari akumulasi berbagai disiplin yang telah diproduksi umat manusia sepanjang sejarahnya. Dalam prosesnya, peradaban adalah hasil interaksi antar berbagai elemen melalui take and give.

Berbicara soal peradaban adalah berbicara soal bahan baku yang melahirkan dan yang menopang peradaban itu. Mengapa peradaban itu lahir, tumbuh, dan runtuh? Dengan cara apa peradaban dapat bertahan dalam desakan keras perubahan-perubahan? Ini harus menilik aspek-aspeknya secara lebih jauh. Secara historis dan arkeologis, sebuah bangsa dapat dibentuk oleh nilai-nilai agama. Hinduisme membentuk karakter bangsa India dan menentukan pola dasar pikiran dan tindakan warganya dalam sejarah panjangnya. Islam membentuk bangsa Arab dan menyemai arkeologi sejarah dan nilai-nilai sosialnya. Kristen dan warisan helenisme membentuk manusia Eropa dan Amerika. Selain itu, konfusiasme dan Taoisme membentuk watak dan etos kerja bangsa China, Korea, dan Jepang. Juga lima agama yang hidup di Nusantara membentuk struktur watak dan karakter manusia Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Apa artinya? Artinya adalah bahwa nilai-nilai agama, tradisi, dan norma-norma hukum dapat membentuk warna sebuah peradaban. Dan maju mundurnya suatu peradaban dapat ditentukan oleh jenis lembaga-lembaga pendidikan, sistem kepercayaan, serta tradisi panjang yang menjadi way of life-nya. Karena itu, dapat dikatakan bahwa kebangkitan dan keruntuhan suatu peradaban dapat dilihat dari hal-hal yang paling remeh. Misalnya ditandai oleh kualitas tidaknya sistem pengajaran, bentuk sekolah, cara berfikir, dan cara bertindak.

Patut dikutip pendapat Mohamed Abed al-Jabiri. Dia menyatakan bahwa sistem berfikir Arab yang dicirikan oleh tiga jenis yaitu: ‘irfani, bayani, dan burhani tidak lagi memadai  untuk menopang peradaban modern. Peradaban modern[8] memerlukan kecakapan-kecakapan teknis dan ini dilakukan dengan cara riset induktif, eksperimen, dan memakai tradisi ilmiah yang harus terus diuji. Peradaban Arab yang oleh Nashir Hamid Abu Zaid disebut sebagai “hadharat al-nash”—peradaban teks—sekarang tidak lagi efektif untuk menandingi riset-riset ilmiah sebagaimana ditemukan oleh manusia modern dengan temuan-temuan ilmiah yang sangat mengagumkan sejak abad modern lahir. Itulah sebabnya, sejumlah intelektual Arab mengorek kembali dasar-dasar pemikiran mereka sendiri guna menemukan kembali spirit peradaban.

Marshall G. Hudgson dalam bukunya the Venture of Islam dengan tepat menyatakan bahwa abad modern adalah abad teknik.[9] Ia dicirikan oleh kecakapan-kecakapan teknik yang membentuk teknikalisme. Ditemukannya metalurgi (ilmu tentang besi), mesin uap, jam mekanik, pesawat terbang, komputer, dan senjata-senjata militer modern telah mengubah wajah dunia—nyaris seluruhnya. Bahkan telah merambah ke luar angkasa yang sedikit banyak telah menguak rahasia-rahasia kosmos. Para penemunya yang sebagian besar dari Barat kemudian menjadi aset bangsa itu dalam merombak tatanan sosial dan budaya. Dari sinilah muncul industrialisai dengan temuan-temuan baru yang semuanya itu menjadi elemen penting bagi lahirnya modernisasi di abad ke-18. Modernisasi tidak lahir oleh dunia Muslim—meski umat Islam selama berabad-abad menguasai pemikiran dan ilmu pengetahuan, tapi oleh Barat Kristen. Ini, tentu saja, sebuah keterkejutan mengapa Islam mundur dan yang lainnya maju. Persis pernyataan Amir Syakib Arselan dengan pertanyaan pilu limadza ta’akhkharal muslimun, wataqaddamal akhar. Dengan modernisasi yang digelindingkan Barat Kristen, maka semua produk teknik menguasai pasar-pasar dunia dan mempercepat revolusi peradaban Barat di bidang-bidang sosial, ekonomi, perdagangan, pendidikan, dan teknologi.

Temuan teknik memang dapat memicu temuan-temuan lain dan mengubah wajah sosio-budaya dunia. Ditemukannya jam mekanik, misalnya, melepaskan manusia dari matahari dan bulan. Juga memungkinkan manusia menata hari, menghitung ulang jam, mendefinisikan upah dalam suatu waktu tertentu, dan lain-lain. Sebelumnya, waktu tidak terukur dalam parameter-parameter yang tegas. Kedatangan dan kepergian tidak bisa diprediksi secara tepat. Ini baru temuan jam mekanik. Belum lagi temuan pesawat terbang, telpon, internet, kedokteran, teknologi nano, dan lain-lain ternyata telah menjadi alat hegemoni suatu bangsa atas bangsa yang lain. Kini industri, militer, dan lembaga-lembaga pendidikan telah bekerjasama dalam menemukan inovasi-inovasi baru demi tujuan-tujuan ekonomi, pembangunan, dan dalam batas-batas tertentu penguasaan atas sumber daya alam serta manusia di dunia lain yang lebih lemah. Institusi-institusi pendidikan didesain untuk menghadapi tantangan-tantangan baru dengan seluruh peluang dan ancamannya. Institusi-institusi pendidikan telah dianggap sebagai proyek peradaban yang tidak boleh diabaikan dan ditelantarkan. Investasi besar-besaran ditanam untuk membiayai riset-riset, pengembangan sumber-sumber daya manusia, dan peningkatan kualitas hidup. Jadi, pembangunan peradaban hanya mungkin dimulai dengan peningkatan kualitas lembaga-lembaga pendidikannya.

Bagaimana dengan dunia pendidikan Islam? Pendidikan dunia Islam kurang efektif dan tidak didesain untuk pembangunan peradaban dunia secara andal.[10] Sebagian besarnya masih bersifat deduktif: mempelajari hadis dan Qur’an dengan metode menghafal; tidak mendorong nalar kritis; dikotomik; tidak efektif dan efisien; tidak mendorong riset-riset; kurang memerhatikan skala-skala prioritas berdasarkan kebutuhan-kebutuhan modern dan holistik; bersifat konservatif dan sering hanya memelihara “cagar budaya” ajaran-ajarn Islam; kurang berpihak ke sains dan teknologi; mudah menyerah; mudah curiga pada yang lain; dilanda konflik antar mazhab; secara politik tidak stabil; lemah secara ekonomi; lebih mementingkan akhirat; dan lain-lainnya.

Dengan struktur karakter semacam di atas, maka pendidikan Islam lebih menekankan proteksi dan konservasi, tapi kurang menekankan dimensi pembangunan. Padahal seharusnya peradaban Islam harus dibangun dengan, sekurang-kurangnya, tiga dimensi, yakni: protection, conservation, dan development. Ajaran-ajaran Islam tidak cukup hanya diproteksi dan dikonservasi. Tapi yang lebih penting adalah dikembangkan dengan cara-cara baru yang lebih metodologis, canggih, dan berkelanjutan. Pendidikan Islam juga tidak hanya merupakan artikulasi dari respons-respons atas gejala-gejala baru dunia, tetapi juga harus menciptakan masa depan dengan spiritual, sains, dan teknologi. Jika pendidikan Islam dikelola hanya untuk merespons dan merupakan reaksi-reaksi, maka ia akan terombang-ambing tanpa pernah tegak berdiri dengan kekuatannya sendiri.

Karena itu, pilihan-pilihan cerdas harus diambil. Visi srategis peradaban harus dibuat. Misalnya, merumuskan kembali pendidikan tinggi Islam yang mengacu pada nilai-nilai lama dan modern. Buka program-program studi yang memiliki relevansi pembangunan dan kecenderungan-kecenderungan global. Perbanyak prodi-prodi yang menciptakan profil demografi umat kearah teknik, sains, kedokteran, pertanian, industri, otomotif, teknologi pangan, dan semacamnya. Kemudian perkuat prodi-prodi itu dengan Islamic studies, sehingga pada jangka panjang akan membuat profil keahlian warganya ke tujuan yang mendukung peradaban. Profil lulusan akan menentukan angkatan kerja dan menentukan profil keahlian secara demografi. Jika profil demokrafi umat Islam hanya pada sebagian besar Islamic studies dan humaniora, maka tidak cukup mampu menopang peradaban modern yang ditandai oleh kecakapan teknik dan sains.

Kontribusi pendidikan Islam, termasuk pendidikan tingginya, dinilai sangat rendah terhadap pembangunan bangsa. Dengan anggaran yang besar ternyata belum bisa menyumbangkan peran-peran yang nyata dalam produktivitas bangsa. Misalnya dalam sumbangannya kepada human development index yang dicirikan oleh kualitas kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, dan pendapatan. Secara nasional output dan outcome pendidikan Islam belum menunjukkan kinerja yang memuaskan. Penilaian ini sangat masuk akal, tapi tidak adil. Tidak adil karena alat ukurnya adalah universitas-universitas yang memiliki prodi-prodi umum dan sangat dibutuhkan masyarakat serta pembangunan. Jika pendidikan adalah investasi ekonomi dan pembangunan fisik, maka kontribusi pendidikan Islam tidak atau kurang ada. Pendidikan Islam hanya menyumbang di bidang pembangunan mental dan spiritual. Pendidikan Islam belum dirasakan hadir kontribusinya karena tidak memiliki prodi-prodi “teknis” dan strategis bagi pembangunan bangsa dalam pengertian ekonomi.

Karena itu, untuk melejitkan kontribusi pendidikan Islam hanya mungkin dilakukan dengan menguniversitaskan STAIN dan IAIN. Lembaga universitas bisa memperbesar kapasitas peran dan mandat PTKIN dalam pembangunan bangsa. Namun, tantangannya tidak mudah dan sangat sulit untuk dipecahkan dalam hitungan dasawarsa. Perlu kekuatan politik untuk mengubah sejumlah Undang-Undang terkait pendidikan, politik anggaran, aturan-aturan hukum, dan lain-lainnya. Karena itu, transformasi IAIN ke UIN sebagaimana terjadi pada IAIN Jakarta, IAIN Yogyakarta, dan STAIN Malang menunjukkan nalar kritis menatap jaman modern ini. Kini ditunggu kiprah dan kontribusi nyata UIN-UIN itu kepada bangsa. Pemerintah pun harus adil dalam memberikan prodi-prodi umum kepada UIN-UIN termasuk di sisi anggarannya.

Sejauh ini, saya sangat memercayai tesis-tesis di atas. Jika tesis-tesis di atas dijalankan dengan secara konsisten, saya dengan penuh percaya diri dapat memprediksi bahwa masa depan peradaban Islam akan lebih terencana dan unggul.Saatnya dunia Islam berfikir strategis dan memberikan keteladanan bagi bangsa-bangsa Muslim yang berada di pinggir seperti Indonesia untuk lebih maju dan progresif merajut masa depannya secara lebuh berkualitas. Islam harus membuktikan diri mampu membentuk pola pikir dan etos kerja umat Islam Indonesia, sebagaimana Konfusiasme dan Taoisme mampu menopang peradaban China, Korea, dan Jepang. Juga Greco-Roman yang mampu melejitkan bangsa-bangsa Eropa dan Amerika menggenggam dunia ini.

Selanjutnya, PTKIN termasuk IAIN Surakarta harus dikembangkan dengan tujuan-tujuan pembangunan bangsa, di samping tujuan-tujuan pengembangan dakwah dan akademik. Jika prodi-prodi IAIN dibuka, maka harus pula memikirkan bagaimana para lulusannya kelak berkontribusi pada pembangunan bangsa. Kata kuncinya, prodi-prodi itu tidak hanya sekadar untuk pemenuhan pengajaran ajaran Islam, tapi juga untuk pemenuhan fungsi-fungsi pembangunan dan fungsi-fungsi produktivitas bangsa.

Penyelenggaraan pendidikan Islam sekali lagi bukan sekadar merawat “cagar budaya” ajaran-ajaran Islam, tapi yang lebih penting menciptakan daya saing lulusannya di hadapan bangsa, ASEAN, internasional, dan pasar-pasar kerja eksternal. Daya saing adalah istilah untuk menunjuk angkatan kerja andal, unggul, dan profesional di bidangnya. Ini berarti, pendidikan Islam tidak membuat ukuran-ukuran tersendiri yang terpisah dari kebutuhan-kebutuhan masyarakat bangsa. Meskipun tujuan pendidikan Islam untuk mencari kebahagiaan di dunia dan di akhirat, rumusannya harus tetap mengikuti tren perkembangan masyarakat pendidikan di tambah ukuran-ukuran Islam dalam konteks masyarakat modern.

Seringkali, pendidikan Islam diarahkan untuk memproduksi tradisi dan dogmatisme Islam dalam pengertian pan-Islamisme. Dalam arti mengarahkannya persis seperti pengajaran di Timur Tengah tanpa mengkontekskan dengan situasi-situasi lokalitas, yakni masyarakat Indonesia. Di atas telah dikemukakan kelemahan-kelemahan akar pikiran Arab oleh Mohamed Abed al-Jabiri dalam menopang peradaban Islam. Di sisi lain, Adonis atau Mohammed Said Ali juga menambahkan sejumlah kelemahan arkeologis nalar Arab dalam melihat masa depan. Adonis menganggap bahwa bagi bangsa Arab, masa lalu lebih otentik dibanding masa depan. Adonis menyebutnya dengan istilah tsubut—yang mapan dalam arti masa Nabi lebih utama dan menjadi ukuran yang menentukan kebaikan. Sementara yang tahawwul—yang berubah dan inovatif dianggap penyimpangan dari tsubut, karena itu tidak menjadi jalan yang harus ditempuh.[11] Dalam pemahaman saya, kritik nalar Arab oleh orang Arab sendiri menunjukkan bahwa umat Islam Indonesia harus memiliki arkeologi pemikiran sendiri dengan modifikasi-modifikasi yang perlu—tanpa harus membebek pada arkeologi pemikiran orang Arab.

Nah, dalam kerangka pemikiran di atas dapat ditegaskan bahwa ada tiga relasi fungsi dan tujuan paradigm keilmuan IAIN Surakarta, yakni: Islam-bangsa-dunia. IAIN Surakarta  dikembangkan atau diselenggarakan untuk selain mengabdi kepada Allah juga mengabdi untuk kepentingan pembangunan bangsa. Setelah itu, beralih ke sumbangan bagi dunia baik di bidang kemanusian, perdamaian, dialog peradaban, dan aksi-aksi pemihakan kepada pencegahan krisis lingkungan. Tapi titik tekannya pertama-tama diabdikan untuk kepentingan pembangunan bangsa. Dalam hal ini, prodi-prodi yang dibangun di IAIN Surakarta harus memerhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang Nasional. Ini perlu ditegaskan berulang-ulang bahwa IAIN Surakarta yang dibiayai oleh APBN bukan untuk mengabdi kepada Pan-Islamisme, tapi untuk membantu pembangunan bangsa Indonesia.

Selain itu, PTKIN dan pendidikan Islam pada umumnya harus juga berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini perlu ditegaskan agar penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi di PTKIN diarahkan untuk cinta Tanah Air, membela kepentingan nasional baik di bidang sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Karena itu, mengenali kesejarahan, kondisi-kondisi masyarakat, budaya-budaya, agama-agama yang beragam, dan bahkan kepedulian pada sumber-sumber daya manusia dan sumber-sumber alamnya sangat perlu dimasukkan ke dalam kurikulum.

Apa dasar pemikirannya? Telah diketahui umum bahwa bangsa Indonesia adalah negara yang sangat kaya sumber daya alam dan sumber daya manusianya. Namun justru banyak dieksploitasi oleh negara-negara kuat seperti Amerika, Jepang, China, Singapura, dan Korea. Tambang, minyak, emas, hutan, dan laut telah dikuras bukan untuk kesejahteraan rakyat tapi untuk menyumbang kemewahan negara-negara kaya melalui konsesi-konsesi yang tidak adil. Kita menjadi pasar bagi negara-negara lain yang justru tidak banyak memiliki sumber-sumber daya sekaya bangsa kita. Jika, sistem pendidikan nasional termasuk PTKIN tidak memberikan kesadaran tentang ini maka ke depan bangsa kita yang mayoritas Islam akan menjadi beban dunia. Perlahan tapi pasti, bangsa kita akan berjalan kearah kenistaan. Satu contoh gamblang adalah bahwa sebagai negara maritim, kita mengimpor garam dari luar.[12] Juga beras dan bahan-bahan baku lain seperti daging. Ironisnya lagi, mayoritas pencaharian bangsa Indonesia adalah petani, tapi lebih dari 60 persennya penerima raskin (beras untuk orang miskin).[13] Bukankah ini pertanda kurang berhasilnya sistem pendidikan kita dalam mengatasi problem-problem ril? Jika PTKIN tidak ingin melakukan dikotomi dalam pengembangan keilmuannya, maka problem-problem ril masyarakat adalah ujian yang sesungguhnya. Apa dampak dari integrasi dan interkoneksi ilmu bagi pembangunan bangsa? Ini pertanyaan bodoh tapi faktual.

PTKIN, termasuk IAIN Surakarta harus mengambil peran di bidang tersebut. IAIN Surakarta dengan bekerjasama dengan pihak-pihak terkait harus mengambil inisiatif untuk menyadarkan makna penting kurikulum yang berbasis pada kondisi-kondisi lokal, di samping tentu saja basis-basis Syari’ah. Mulai dari radikalisme agama, kerusakan lingkungan, ketidakadilan, diskriminasi SARA, dan lain-lain.

Setelah sejumlah argumen dikemukakan di atas dan ditambah telaah atas naskah-naskah yang dibuat oleh sejumlah intelektual tentang paradigma keilmuan—termasuk yang ditulis oleh intelektual IAIN Surakarta sendiri seperti Prof Usman Abubakar, Prof Nashruddin Baidan, Prof Rohmat, Nurisman, Zainul Abas, Toto Suharto, Ismail Yahya, dan lain-lainnya kini tiba untuk merumuskan paradigm keilmuan dalam bentuk simbol. Bagi saya simbol itu penting, meski banyak orang menganggap tidak penting. Leslie White, pernah menyatakan bahwa banyak orang rela mati atau berkorban hanya sebuah simbol. Peperangan di masa lalu juga banyak dipengaruhi oleh simbol-simbol yang dilecehkan. Simbol yang membentuk ideologi bahkan bekerja lebih nyata dan dalam banyak hal menjadi instumen perjuangan. Dalam Islam sendiri juga banyak simbol-simbol yang mengikat keyakinan-keyakinan umat. Rene Guenon intelektual berkebangsaan Prancis, misalnya, secara khusus mempelajari ilmu tentang simbol, terutama simbol-simbol dalam tradisi tasawuf dan sains. Tulisannya dibukukan dalam judul Symbol of Sacred Science.[14]

Simbol atau lambang paradigma keilmuan IAIN Surakarta berikut saya namai Relasi Trilogi Suci, yakni: tiga relasi suci antara Allah, kosmos, dan manusia yang menjadi dasar seluruh penyelenggaraan dan pengembangan Tridharma IAIN Surakarta.

gambar.1

Keterangan gambar:

  1. Lingkaran menunjukkan visi tawhid, rahmatan lil-alamin, dan holistik
  2. Tiga logos: Allah, Alam, dan Manusia menggambarkan tiga relasi suci (Relasi Trilogi Suci). Merupakan tema pokok al-Qur’an, relasi yang menjadi kajian semua ilmu. Allah berada di puncak melambangkan Sang Khaliq. Di sisi kiri kosmos yang merupakan wahana makluk hidup dan non-hidup berada. Di sisi kanan menggambarkan manusia sebagai Abdullah dan Khalifatullah.
  3. Buku terbuka ke atas melambangkan al-Qur’an, hadis, ilmu pengetahuan. Terbuka ke atas juga berarti bersifat dinamis, terus mengalir, dan tumbuh berkembang.
  4. Lingkaran putih bulat melambangkan integrasi dan interkoneksi. Semua ilmu pda dasarnya dari Allah. Dikaji melalui obyek kosmos dan manusia.
  5. Garis lengkung putih di bawah buku melambangkan “dedikasi’, amal shaleh, pengabdian, dan tindakan. Baik melalui penalaran deduktif maupun induktif. Melalui riset, pendidikan, dan pengabdian (Tridharma Perguruan Tinggi).
  6. Garis lengkung warna hijau daun menggambarkan kesejahteraan umat manusia dan lingkungan. Semua ilmu, pada dasarnya, harus berujung pada kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia dan lingkungan. Ilmu yang tidak mengabdi pada kesejahteraan umat manusia dan lingkungan dapat dianggap tidak berguna.
  7. Warna hijau pada tiap lingkaran menunjukkan kehidupan, pembangunan, kreativitas, dan keberlanjutan.

Lambang di atas, tentu saja, masih perlu disempurnakan. Secara ide dan intisari, tak ada beda dengan paradigm-paradigma keilmuan yang sudah ada. Bedanya terletak pada penegasan bahwa IAIN/UIN Surakarta mengembangkan ilmu-ilmu yang berfungsi penegasan kembali Relasi Trilogi Suci. Seyyed Hossein Nasr dan Tu Wei Ming menyebutnya theo-antropo-kosmis. Yakni, relasi Allah, kosmos, dan manusia. Dalam tesis argumen ini, merusak alam sama dengan inkar pada Allah dan manusia; Juga merusak manusia berarti pula merusak relasi Allah dan kosmos. Dengan demikian ada tiga visi yang hendak ditegakkan di muka bumi, yaitu: visi keislaman, visi kebangsaan/kemanusiaan, dan visi ekologis.