Perempuan Datang Atas Nama Cinta

irwan-edIrwan Rohardiyanto, S.S., M.Hum.
(Dosen FITK IAIN Surakarta)

Satu masa telah terlewati, benci dan rindu merasuk di kalbu… Obat anti demensia itupun rilis kembali. Milly pun merasa kalau dia yang paling lugu, sering lola (loading lama), tetapi dia tetap woles tanpa menunjukkan rasa emosi. Alya yang berjiwa labil tahu apa yang dirasakan teman-temannya saat dia mencoba mengakhiri hayatnya. Pun Cinta (tokoh utama, protagonis, bulat, berkembang, dan tipikal) mengerti saat dia di-php (pemberi harapan palsu) oleh Rangga, meskipun Borne sudah memberikan pha (pemberi harapan asli). Hmmm, sudah kuduga! Cerminan realita remaja era milenium kedua tersebut  terangkum begitu emosional dalam film ‘What’s up with love?’ (AADC) yang mulai digarap Rudi Sudjarwo mulai tahun 2000 dan rilis 2002 silam.

Di atas bumi ini ku berpijak, pada jiwa yang tenang dihariku, tak pernah ada duka yang terlintas, ku bahagia… Obat anti amnesia itupun rilis kembali. Suka cita seperti inilah yang dirasakan geng Cinta saat berkemeja abu-abu. Kisah persahabatan klasik tersebut mengilhami banyak remaja era milenium untuk bebas berekspresi. Pikiran yang belum ranum, mengantarkan mereka untuk lebih mengenal artinya persahabatan. Bila temanku sakit, maka aku sakit. Bila temanku senang, akupun ikut riang. Tetapi mereka harus menyadari, bahwa mereka dapat hidup langgas berkreasi dan berimajinasi seperti itu berkat sosok pahlawan emansipasi yang harum namanya dan baru saja diperingati segenap kaum hawa bangsa ini sepekan silam.

Emansipasi, Remaja Milenium, dan Bulan Edukasi

Terbesit dalam pikiran, betapa emansipasi ini berdampak pada remaja era milenium. Geng Cinta bisa bergerak jauh lebih leluasa seperti pada film yang sempat menjadi kontroversi oleh MUI karena sangat menyimpang dari ajaran Islam dan budaya timur saat salah satu adegan ciuman di muka khalayak. Mereka sesuka hati menuntut ilmu sampai tingkat lanjutan atas, bermain olahraga basket dengan kaum adam, bisa menyalurkan gagasan-gagasan brilian dalam mading sekolah, bisa bermain gitar saat di kafe, bisa berjalan-jalan bebas di pusat perbelanjaan, pusat buku, bandar udara, yang intinya berkesempatan sejajar dengan kaum adam. Mereka tak kenal istilah dipingit, mereka pun sudah terlepas dari belenggu tradisi pada sektor pemasakan dan pemacakan. Oleh karena itu, seyogyanya ucapan syukur terima kasih kepada pahlawan emansipasi jangan dinodai dengan kegiatan yang non ilmiah, tetapi harus mengedepankan spiritualitas, intelektualitas serta kreativitas.

Rintik gerimis mengundang kekasih di malam ini, kita menari dalam rindu yang indah, sepi kurasa hatiku saat ini oh sayangku, jika kau disini aku tenang. Obat anti alzheimer itupun rilis kembali. Tak terasa sudah satu dasawarsa plus setengah windu, film penggebrak dan pembangkit perfilman Indonesia itu dibuat seri keduanya. Hal ini membuat antusias remaja milenium semakin penasaran untuk menanti kelanjutan kisah percintaan Cinta dan Rangga. Mereka juga merindukan tokoh Memet, Borne, Maura, Almarhum Mang Diman dan lain sebagainya. Satu hal yang sangat membanggakan dalam film itu, selain sebagai pelopor film berkualitas setelah sebelumnya ada Kuldesak, Pasir Berbisik dan Daun di Atas Bantal yaitu mengangkat budaya literasi bangsa Indonesia lewat beberapa adegan yang bersentuhan dengan buku. Sebut saja, adegan saat sepasang kekasih, Cinta dan Rangga sedang di pusat buku Kwitang daerah Senen Jakarta Pusat. Sekecil apapun adegan disana, membuat para remaja milenium terpanggil jiwanya untuk tetap menjaga tradisi budaya literasi mereka yang tercermin dari ajakan di film itu untuk suka terhadap buku dan mengunjungi tempat-tempat yang ‘berbau’ buku. Betapa senangnya almarhum Raden Mas Soewardi Soerjaningrat apabila tahu saat tanggal lahirnya tidak hanya diperingati sebagai Hardiknas dan atau bulan edukasi saja, tapi esensinya diperingati sebagai momentum optimalisasi budaya literasi.

Wahai pujangga cinta biar membelai indah, teladani kalbuku, jujurlah pada hatimu. Obat anti depresi itupun rilis kembali. Banyak hal ilmiah yang diajarkan dalam film itu, terutama saat mengangkat buku berjudul Aku, Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar tulisan Sjuman Djaya. Memang diakui, bahwa puisi menjadi salah satu hal yang tak terlupakan, seperti pecahkan saja gelasnya biar ramai, biar mengaduh sampai gaduh… Tampaknya AADC 2 ini juga mengangkat kekuatan bait-bait puisi terindah. Terlepas dari itu semua, tidak hanya remaja putri saja yang diharapkan untuk memegang buku, tetapi para Kartono (remaja putra) juga harus melihat Rangga ketika kemanapun selalu ada adegan membaca buku minimal sedang memegang buku. Tentu saja, sisi negatif film itu ada, terutama adegan perpisahan di bandara, tetapi misi pengangkatan budaya literasi lebih menonjol disana. Hal ini sejalan dengan program unggulan Badan Bahasa Republik Indonesia yaitu Gerakan Literasi Bangsa (GLB) yang bertujuan menumbuhkan budi pekerti siswa melalui budaya literasi (membaca dan menulis). Selain itu, pengkajian linguistik sastrawi juga akan bersinggungan dengan budi pekerti yang sangat mendukung GLB ini. Mengenang memori sensori, jangka pendek dan jangka panjang melalui karya (film) klasik merupakan obat yang paling mujarab untuk gangguan-gangguan penurunan fungsi otak tersebut di atas. Sugeng mangayu bagyo ‘Wonten Punapa Kaliyan Tresno ingkang kaping kalih’ (AADC 2)! Jadikan budaya literasi sebagai awal pencipta edukasi berkarakter (akhlaqul karimah). Semoga.