Puisi Menyerukan Palestina

Ach. Fitri
Mahasiswa Jurusan Ilmu Aqidah IAIN Surakarta angkatan 2012

Di Jakarta, pada 6 sampai 7 Maret 2016 Joko Widodo dan pemimpin negara lainnya yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI) mendesak Israel untuk mengakhiri pendudukan di Palestina. Mereka menghendaki terwujudnya Palestina merdeka dalam rangka solusi dua negara. OKI bekeinginan Palestina yang merdeka secara penuh dan bisa hidup berdampingan dengan Israel. OKI juga mendesak Dewan Keamanan PBB menyelesaikan isu permukiman ilegal oleh Israel (Republika, 8 Maret 2016).

Desakan dari pemimpin negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI tersebut mengingatkan kita bahwa Islam tidak melulu urusan antara manusia dengan Tuhan, melaikan ada tanggung jawab yang harus dijalankan ketika kita hidup di dunia (sebagai khalifah), baik untuk sesama manusia, untuk hewan, tumbuhan atau hubungan antara satu agama dengan lainnya dan satu negara dengan negara lainnya. Kita pun turut mengerti bahwa Indonesia tidak hanya mempunyai solidaritas religius tapi solidaritas kemanusiaan. Kita sama-sama mempunyai kehendak agar Palestina dengan Israel segera berdamai dan melupakan permusuhan.

Maka kisah dan semangat kemerdekaan Palestina juga bersemi di dalam sajak-sajak gubahan para penyair Indonesia. Penyair Indonesia turut mengisahkan Palestina dengan cara yang lebih estetis, puitis dan menggema di Indonesia dan dunia. Puisi bisa kita temukan dalam buku Catatan Seorang Pejalan Dari Hadrami garapana Zeffry J. Alkatiri (2004) yang berjudul Palestina-Libanon 1972-1975. Zeffry menulis, Poster Layla Khaled memeluk A K/ terpampang di ruang tamu, kamar tidur,/ Dan di kamp pengungsi orang Palestina./ Di sudut kota/ orang Druze, Phalangis-Moranit dan Hizbullah berebut lahan pasar gelap./ Di Tel Aviv anak-anak tertawa di depan pesawat tv/ menonton kartun Tikus Micky.

Narasi liris bertemakan sejarah dalam puisi Ziffy mengingatkan kita pada sejarah panjang Palestina, ada kegetiran dan juga harapan, ada ketidakberdayaan dan ketidakadilan. Perempuan bernama Layla Khaled sengaja dihadirkan agar menjadi ingatan bahwa pejuang di Palestina tidak hanya urusan kaum laki-laki, tapi melibatkan anak-anak dan perempuan. Kemerdekaan menjadi harapan dan tanggung jawab bersama.

Puisi mengisahkan Palestina sebagai “korban.” Palestina disigkirkan dari rumah yang dulu menjadi tanah kelahirannya, tempat bercengkarama bersama keluarga. Bahkan tidak hanya sampai disitu, di tempat pengungsian, mereka masih megalami ketidak adilan. Berebut kuasa walau hanya untuk bertahan hidup. Kita bisa membayangkan, betapa hidup mereka jauh dari keriangan walau sekadar untuk menonton kartun di televisi. Televisi yang bagi sebuah negara yang berperadaban maju menjadi hiburan paling murah dan tak berpajak, kecuali televisi kabel.

Joko Pinurbo dalam buku Tonggak Antropologi Puisi Modern 4 (1987) mengisahkan “janji-janji” perdamaian dan kemerdekaan Palestina. Joko Pinorbo menulis, berikan padaku sebuah ilusi/ ingin kupetik bersama kecapi/ dan pada tangkai bulan di pucuk sepi/ getarkan beribu mimpi./ seseorang kembali datang/ dengan pistol dan belati/ padamu aku sembahyang/ dalam asap dan api.

Sajak Joko Pinorbo merekam Palestina sebagai negara yang “terdholimi”, yang mengimpikan perdamaian tapi tak pernah tercapai. Berbagai macam cara dan upaya dilakukan, namun berbagai konflik yang terjadi di antara kedua belah pihak tidak kunjung usai dan terselesaikan. Tapi pengharapan masyarakat Palestina tetap bersemi lewat do’a-do’a, meskipun mereka sadar yang dihadapi itu pistol, belati, bom, asap dan api.

Lebih lanjut Joko Pinorbo merekam Palestina yang semakin “terlempar”. Joko Pinorbo menulis, di Yordan aku tahu/ berapa lama hidupku/ semusim lagi mungkin kita bertemu/ kita nikmati bulan madu./ dalam hatiku masih ada rumah dan jendela/ ada lembah dan taman bunga. Konflik memang selalu melahirkan keterasingan, dari yang dulunya hidup bermesraan di rumah, kini harus berpindah akibat konflik.

Kita pun mengerti bahwa kisah Pelestina tidak melulu berada di tanah Palestina, tapi menyebar keberbagai penjuru dunia. Dalam puisi ini Joko Pinorbo mengisahkan Palestina di Yordan. Mereka mengenang tentang rumah, jendela, lembah, taman bunga yang dulu mereka miliki, kini hanya tinggal kenangan, entah sampai kapan mereka bisa melihat dan menikmati kembali: itula tanahku: Palestina negeri terindah berpagar luka.

Taufiq Ismail turut membuktian kepedulian Indonesia terhadap Palestina melalui puisi. Puisi itu dibacakan pada pembukaan OKI pada, 6 Maret 2016. Kita simak petikan puisi tersebut, Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu/ Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer/ dengan suara gemuruh menderu/ serasa pasir dan batu bata dinding kamartidurku bertebaran di pekaranganku/ meneteskan peluh merah dan mengepulkan debu yang berdarah.

Palestina yang didera derita berkepanjangan. Suara perang yang meruntuhkan dinding rumah, menghancurkan tubuh, terabadikan dalam puisi. Mereka berumah di antara deru bom dan senapan, reruntuhan puing-puing, gedung, rumah, dan debu. Kita bisa merasakan bagaimana kemarahan dan penderitaan Palestina melalui puisi.

Puisi-puisi memang sengaja dihadirkan, agar turut menjadi bukti solidaritas, kepedulian, dan urun gagasan kemerdekaan Palestina dari Indonesia. Agar masyarakat Indonesia dan di dunia mengerti perasaan, harapan, dan teriakan mereka lewat puisi-puisi. Puisi itu telah mengisahkan Palestina yang marah, kecewa: mereka yang mengalami ketidakadilan dan penindasan, dan yang bersembunyi pada hukum-hukum kemunafikan.

Maka, seperti puisi yang mencipta keheningan dan renungan yang membebaskan, Palestina membutuhkan kemerdekaan yang memanusiakan warga Palestina, terlepas dari apa pun agama mereka.