Webinar Mengenang 195 Tahun Perang Diponegoro dalam Semangat Kebangsaan

SINAR– Mengenang 195 Tahun Perang Diponegoro dalam semangat kebangsaan, Pusat Studi Pancasila dan Kebangsaan (PSPK) IAIN Surakarta menyelenggarakan Webinar pada Rabu, (15/7).

Diikuti lebih kurang 100 peserta dari berbagai wilayah webinar ini menghadirkan dua pembicara yakni Roger Alan Kembuan, M.A., dosen Sejarah Universitas Sam Ratulangi Manado dan Moh. Ashif Fuadi, M.Hum., dosen Sejarah IAIN Surakarta.

Dalam webinar ini pemantik menjelaskan bahwa  semangat kebangsaan para pahlawan sudah banyak dilupakan, perlu diingat bahwa Pasca Perang Diponegoro  1830, banyak santri dan kiai pengikut Diponegoro yang dijadikan tawanan, kemudian mereka membentuk sebuah masyarakat, seperti yang terjadi di Tondano Manado. Setiap rumah yang di depannya terdapat pohon sawo, itu tanda yang menunjukkan bahwa penghuni rumah tersebut merupakan pengikut Pangeran Diponegoro. Keberadaan santri Diponegoro di daerah tawanan tersebut membawa percampuran tradisi dan kebudayaan yang luar biasa, seperti tradisi Syawalan, Kupatan, Asyuro, Rebu Wekasan dan lain-lain. Semangat kebangsaan terus berlangsung di balik sisi perang, sehingga Perang Diponegoro merupakan benih spirit kebangsaan di Indonesia.

Pembicara pertama, Roger Alan Kembuan menjelaskan bahwa semangat kebangsaan pada masa perang Diponegoro belum muncul.  Perubahan terjadi pasca perang, misalnya beberapa pengasingan yang terjadi pada beberapa tokoh pergerakan, seperti pengasingan di degul, ende, dan beberapa tempat lainnya. Hal tersebut  membentuk founding father negara dan bangsa. Jika pada abad 19 perjuangan terjadi secara parsial dan berada di beberapa daerah yang terpisah, hal itu menjadi solid ketika perjuangan bergerak menjadi satu, yaitu semangat kebangsaan yang lahir dar relasi ulama, santri, dan lain-lainnya.

Itu bisa kita lihat dari pertukaran strategi, ide, dan konsep kebangsaan, pasca perang Jawa, terjadi perubahan signifikan di Jawa, terutama munculnya semangat kebangsaan, terangnya.

Sementara itu Moh Ashif Fuadi menjelaskan, Perang Jawa (1825-1830) memberi pengaruh yang signifikan terhadap rangkaian perlawanan lanjutan umat Islam terhadap kolonialisme. Dengan semangat perang sabil (perang suci), sebuah perang di jalan tuhan untuk melawan kezaliman orang kafir. Perang tersebut menyebabkan kerugian finansial yang sangat besar bagi pihak Belanda. Pasca Perang Jawa berakhir 1830 setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, untuk mengimbangi taktik benteng stelsel, para kyai-ulama yang menjadi perwira tinggi dalam kesatuan tempur dalam perang tersebut melakukan langkah diaspora menyebar diri lalu membuka lahan baru (mbabat alas) dan menempati desa-desa yang miskin nilai agama, umumnya dengan mendirikan masjid dan pesantren. Sebagian besar para ulama dan santri ini mengganti nama dan identitasnya untuk menghindari kejaran intelijen Belanda yang terus menerus memantau pergerakan sisa-sisa Laskar Diponegoro.

Lebih lanjut Ia menjelaskan bagaimana proses terbentuknya jejaring Laskar Diponegoro di pesantren dan juga peran sertanya dalam menjaga semangat perlawanan terhadap Belanda di berbagai tempat yang mereka singgahi. Bukan hanya itu, dalam suasana kolonialisme para anggota laskar yang didominasi kyai-santri masih konsisten tradisinya seperti ngaji tûrast (kitab kuning) dan membawa ajaran tarekat syattariyah, serta mewarisi corak dakwah kultural yang moderat.

Perang Jawa membawa benih semangat kebangsaan karena Pangeran Diponegoro sebagai pemimpin dapat menyatukan berbagai kelompok, yang dapat menyatukan berbagai elemen yang ada di masyarakat Jawa, mulai dari kalangan santri, bangsawan, maupun abangan. Pada masa sebelumnya terdapat “kuasa ramalan” yang menjelaskan bahwa  Pangeran Diponegoro merupakan “pembela leluhur, meski tidak lama untuk menghilangkan segala bentuk penindasan”. Pangeran Diponegoro sebagai sosok yang menghargai tradisi dan budaya, memiliki prinsip keislaman dan kejawaan. Di satu sisi Pangeran Diponegoro adalah sosok santri yang taat memegang teguh agamanya tanpa kehilangan identitas lokalnya meskipun status kebangsawanan seolah lebih dominan. (Gus/Humas Publikasi)